Awalnya,
saya hanya ingin menuliskan tentang arsitektur minimalis dari masjid yang
berada tepat di pertigaan Pangandaran ini, di depan Tugu Pangandaran yang
berlambang tiga ikan melompat tinggi dari laut. Juga tentang saya yang
tiba-tiba saja ingin memiliki sebuah rumah dengan pintu yang menyerupai pintu
masjid ini. Ditambah ketertarikan saya pada taman yang dibangun di sekeliling
masjid. Hmm ... tergoda saja dengan suasananya yang biasa namun menenangkan
bagi saya.
|
Pintu Impian |
Tetapi,
setelah saya menjadikan salah satu pose saya di depan masjid ini sebagai
profile picture di whatsapp, datanglah pertanyaan sekaligus cerita yang dulu
hanya saya dengar sepotong-sepotong saja dari Papa, sepulangnya beliau dari
Pangandaran di tahun 2006.
Papa
saya, seorang peneliti, kalau boleh saya memberi beliau label spesial bagi
profesinya yang mengabdi pada pendidikan Indonesia. Di tahun 2006, Papa yang
sedang melakukan penelitian mengenai budaya Hajat Laut di daerah Pangandaran,
menjadi salah satu korban yang selamat dari bencana tsunami Pangandaran. Papa
saya yang pulang ke rumah kami di Bogor dengan hanya berbekal sandal jepit dan
sebuah jaket yang diberikan seorang Bapak di Pangandaran sana saat mengungsi
bersama-sama, membuat Mama, saya dan juga adik-adik, bersyukur, alhamdulillah
Papa bisa tetap berkumpul bersama keluarga kecilnya hingga kini.
|
Masjid Besar Al-Istiqomah Pangandaran |
|
Bedug Masjid Al-Istiqomah |
“Dulu
di masjid itu, banyak disemayamkan jenazah korban tsunami. Entah orang-orang
dari mana saja yang meninggal. Penginapan Papa saja sampai rata dengan tanah.”
Celoteh Papa saya tanpa diminta.
“Terus
Papa juga mengungsi di masjid itu?” saya mulai bertingkah persis jurnalis.
“Nggak.
Papa cuma istirahat sebentar, shalat, pimpin tahlil. Menjelang malam, Papa lari
lagi ke atas bukit.”
Imajinasi
saya mulai bandel, membayangkan bagaimana Papa saya berlari entah dari titik
mana – menurut beliau, dari rumah seorang Kepala Desa – lalu melihat banyak
sekali warga yang turut berlarian panik.
“Cai,
cai, cai ... teriak orang di sana, dulu.Papa lihat ibu-ibu kasihan sekali,
nangis-nangis karena motornya dihantam gelombang, terus kakinya berdarah, lari
sambil histeris, mungkin panik juga cari keluarganya.” Lagi-lagi saya teringat
cerita Papa.
|
Taman Belakang |
|
Bagian Samping |
|
Tanaman di Pelataran 1 |
|
Tanaman di Pelataran 2 |
Tetapi
sudah lama sekali bencana itu terjadi. Pangandaran yang saya lihat kemarin,
sudah menggeliat persis tempat wisata pantai ala desa. Sudah berkembang pesat,
bahkan sepertinya akan dibangun sebuah perumahan modern di dekat terminal,
walaupun bagi saya, sayang sekali kalo daerah Pantai Barat Pangandaran jadi
padat oleh bangunan. Dan Masjid Al-Istiqomah yang tampak cantik di tengah
kehidupan warganya yang sederhana, masih saja menggoda saya agar suatu waktu
nanti memiliki rumah dengan pintu yang serupa.
By the
way, di Pangandaran ini, saya menemukan banyak bangunan masjid yang sederhana
tapi indah. Sayangnya saya hanya sempat mampir di Masjid Al-Istiqomah, setelah
mengembalikan motor yang saya dan Nurul Djanah sewa untuk mengunjungi
Batu Hiu.
Saya pikir, mungkin selain wisata alam, bolehlah kalau datang ke Pangandaran sesekali
mampir di beberapa masjid sederhana di sini ya.
Mantab ceritanya, jadi terharu soal papanya yg pimpin tahlil utk para arwah yg menjadi korban tsunami :-)
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung ya Mas.
HapusWah .... pingin main ke sini juga buat liat masid-masjidnya. :)
BalasHapusBoleh banget Mba.
Hapussaya pernah foto depan intu masjid kayak gitu di masjid agung surabaya ^^
BalasHapusEmang model pintu masjidnya udah banyak dimana mana. Hehehe.
HapusMeskipun sudah jadi korban, sykurnya bisa selamat dari bencana besar itu ya Cha. Gue turut berduka atas musibah yang maha dahsyat dulu. Tapi bener juga kalo tempat sesyahdu gitu. Dibuat bangunan yang ramai penduduk. Mungkin ketenangan daerah itu sulit didapat kembali. Semoga daerhnya terus maju ekoniminya. Biar semua yang di sana dapat bangkit.
BalasHapusAamiin ya rabbal alamin. Gue harap, kearifan lokal dan suasana pedesaan di sana nggak hilang dan berganti jadi hingar bingar dan wisata hura hura. Kan jadi nggak seru lagi ya.
HapusWah mbak, saya malah baru tahu kalau sempat ada kejadian tsunami di tahun 2006. Langsung googling beritanya. Paling ingat itu tsunami di Aceh, 2004 ya kalau tidak salah. Alhamdulillah ya mbak, Papanya selamat dari bencana tsunami itu :))
BalasHapusAlhamdulillah. Iya, tsunami pangandaran memang dampaknya nggak separah Aceh makanya nggak terlalu heboh beritanya.
Hapuswah, jurnalis dadakan. bokap nya jadi saksi sejarah tuh..
BalasHapusentah apa yang akan gue lakukan kalau kena tsunami.
Iya nih, tapi gue bersyukur bokap gue masih punya umur panjang. Walah, gue juga Jev, tau deh bakalan gimana kalo kena tsunami.
HapusCaption: Pintu impian :v
BalasHapusBisa gitu banget yaaa. Punya sejarah yang gak banyak diketahui orang.
Itu syukur banget papanya selamat. Orang tua emang gitu. Seneng banget bercerita. Yah, buat inspirasi gapapa, lah.
Ibu-ibu yang ada dicerita itu kasian banget yaaa. Gimana sama korban-korban yang lain yaak?
Semoga Masjid ini tetep berdiri dan bisa menolong banyak orang.
Aamiin. Aku juga harap begitu Bli Dimas.
Hapus*eh, kamu boleh kupanggil Bli kan ya?
Wah kalo korban lain dulu gimana, aku kurang paham deh. Cuma selama aku di sana, aku nemu banyak orang orang yang (maaf) sakit jiwa dalam artian gila, di sepanjang jalan, bahkan di Pantai Batu Hiu juga ada.
Wisata masjid nih. Jarang-jarang yang membahas hal seperti ini. :D
BalasHapusTerima kasih Key. Terima kasih juga sudah berkunjung.
Hapus