Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Ponorogo : Menikmati Senja di Balik Jendela

Dari Stasiun Madiun, gerimis mengajak saya bertemu dengan keluarga sahabat saya, Nurul Djanah – yang datang menjemput. Di boncengan sepeda motor Putri, gadis muda yang begitu ramah dan menyenangkan untuk saya tanya-tanyai ini, saya menikmati aroma tanah basah dan suasana perjalanan Madiun – Ponorogo. Terbersit rasa, betapa saya yang sudah lebih besar ini, nggak seberani Putri dalam menyikapi hidup. Di usianya yang sebelia itu, dia siap untuk mencari pekerjaan selepas sekolah. Sementara saya, apa? Lulus sekolah dulu, langsung berpikir mau kuliah ini di jurusan itu dan di kampus sana. Bahkan, saya semakin sadar, kalau pilihan hidup setiap orang berbeda, jadi ... buat apa banyak bicara tentang ‘yang seharusnya’ kan? Cukup dengar dan mengerti saja.


Setibanya di Ponorogo, matahari bersinar terik. Saya melewati waktu siang sambil berkenalan lagi dengan dua ponakan menggemaskannya Nurul Djanah, Keysha dan Fais. Ah, saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dua bocah ini. Fais yang aktif dan Keysha yang menyenangkan. Dua bocah cerdas ini cepat sekali dekat dengan saya. Bicara dengan mereka, seolah menemukan sebuah taman rahasia yang dipenuhi banyak imajinasi. Hmm ... inilah salah satu hal yang membuat saya senang bicara dengan anak-anak. Ada dunia lain yang penuh warna, dunia yang bebas, dunia yang penuh semangat belajar. Keduanya menemani saya menunggu senja cantik di balik jendela.


Menikmati Senja di Balik Jendela Bersama Nurul, Fais, dan Keysha

Saya memang pencinta hiburan langit. Hmm ... maksud saya, langit ciptaan Allah SWT memang sering membuat saya terhenyak karena cantiknya. Menemukan langit senja pertama saya di Ponorogo sore itu, saya seolah menemukan sebuah tempat baru lagi untuk saya sebut ‘rumah’. Suara kodok di sawah yang mulai ribut bersahutan, di antara suara merdu muadzin dari masjid. Ah, diam diam saya kembali mengagumi Nurul Djanah, sahabat saya. Kesederhanaannya, persahabatan kami, walaupun begitu jarang kami jalan bareng, bertemu, ngobrol, tetapi saya selalu menemukan kualitas tersendiri pada waktu kami bisa sekedar duduk diam dan mengocehkan banyak hal.

Di Ponorogo, saya dibuat terkejut senja itu. Ketika memutuskan untuk ikut menjalankan shalat maghrib berjamaah di masjid, Nurul bercerita tentang “Ini masjid Muhammadiyah dan di sana ada masjid NU. Setiap orang akan datang ke masjidnya masing-masing.” dan seketika pikiran saya memunculkan begitu banyak tanda tanya, berseliweran sampai malam datang.

Ya ... masjid itu kan tempat ibadah umat muslim, kenapa sampai harus dibedakan seperti itu? Saya sering nggak mengerti, kenapa sampai harus betah tenggelam dalam dunia perbedaan lalu saling lantang beradu argumen tanpa membuka sedikit celah untuk mendengarkan, padahal sebenarnya kita sama ... sama-sama beragama Islam bukan? Seketika kata ‘kebersamaan’ yang selama ini sering saya ocehkan, menguap begitu saja. Semakin besar kini saya semakin tau, bahwa saling menghargai dan hidup dalam perbedaan itu mengajarkan banyak hal yang sebenarnya sulit dicerna, diterima, tetapi memang begitulah adanya.

Saya teringat cerita Maam Amber Ramah, guru saya saat mengambil kelas di salah satu tempat kursus bahasa asing, bahwa perbedaan suku bangsa dan budaya itu seperti bertemu dengan gunung es di samudra yang luas. Saya ... bahkan kamu – kita – bisa mempelajari bahasanya, kebiasaannya, cara berpakaiannya, selera makanannya, its mean ... segala hal yang bisa tampak dan dicoba oleh kita. Tetapi kalau sudah menyelam ke bawah laut dan menemukan betapa besarnya bongkahan es yang menetap di dasar samudra, mungkin kita akan terperangah. What the hell, hello? Pola pikir dan sudut pandang yang berbeda itu akan sulit sekali diikuti, apalagi kita juga sudah dibesarkan pada keluarga yang berbeda dengan cara dan aturan yang berbeda pula. So ... kunci agar segala sesuatunya bisa berjalan damai ya ... komunikasi dan saling mengerti.

Jadilah, apa yang saya lihat dan temukan senja itu, nggak perlu repot saya perdebatkan bukan? Setiap jiwa bebas saja memilih, ingin kemana dan menjadi apa. Toh sehomogen apapun suatu pola masyarakat di suatu tempat, akan selalu ada yang berbeda dari setiap keluarga yang tergabung di dalamnya, bukan? Inilah salah satu alasan saya, mengapa traveling selalu memberikan makna tersendiri, pelajaran yang lain, kemudian membuat saya semakin jatuh cinta dan ingin mengunjungi lebih banyak tempat lagi.


Senja pertama saya di Ponorogo, di Kota Reog, mengajarkan saya bahwa nggak ada perbedaan yang bisa dihindari, tetapi dinikmati dan coba dimengerti dengan saling bicara. Terima kasih untuk sahabat saya, Nurul Djanah, juga Keysha dan Fais serta adek Putri yang mengajarkan ... bahwa hidup hanya perlu dinikmati dengan syukur dan senang

Komentar

  1. setuju, gak ada perbedaan yang harus dihindari. perbedaan harus saling dihargai heheu

    eh, saya juga suka dengan anak-anak. mereka begitu menggemaskan dan masih punya dunia yang benar-benar indah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget Rizky.

      Iya banget juga kalo soal anak-anak. Selama si anak termasuk anak yang berhasil diajari mama papanya untuk bertata krama yang baik ya.
      *rada curhat

      Hapus
  2. Ah, saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dua bocah ini, eheeem.......kwkwwk..becanda
    oh iya, saya juga seneng loh ngelihat langit lembayun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi ... duh Attar ... wkwkwkwk.

      Wahhhh kita sama sama penyuka langit dong *tosss

      Hapus
  3. Wah habis dari Ponorogo. Jalan-jalan mulu nih, asik ya..

    Suasana senja kayak gitu sudah jarang banget ya ditemui di kota besar. Senja diiringi merdunya adzan maghrib, suara kodok. Kesannya syahdu gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah aku punya kesempatan dan rejeki untuk jalan jalan.

      Iya banget. Kalo di kota biasanya senja gitu ya macet.
      *Jakarta banget euy hihihi

      Hapus
  4. BENER ! kita ini semua berbeda dan harus tetap bersatu , sesuai dengan "BHINEKA TUNGGAL IKA".Jadi untuk apa perbedaan dipermasalhkan ?

    BTW sampaikan salam saya untuk kota ponorogo ya ? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduw cara nyampein salam ke Kota Ponorogo gimana caranya ya? Hihihi

      Nah iya. Ga perlu banyak dimasalahin. Cukup ngertiin aja. Emang saking banyaknya budaya di Indonesia ... yaaa itulah serunya.:)

      Hapus
  5. Ah senja dan langit memang sangat memikat. Klo gue lebih suka langit malam. Amazing!

    Ngomong soal perbedaan. Gue jadi heran, ya sama2 heran yang bersikukuh dengan pandangan yg paling benar. Padahalkan yang paling benar itu sang pencipta, Allah. Tapi kita dengan sombong mengatakan kita paling benar tanpa mempelajari dulu atau langsung menuduh dia salah. Ah... Gak akan ada ujungnya perdebatan jika tidak ada hati untuk saling menerima perbedaan. Kita ini satu agama, ISLAM!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuaaaa Nyol, kamu suka bintang bintang ya?? Wuaaa idem *tosss

      Hihihi makanya uniknya ya itu. Kita jadi belajar untuk saling menghargai :)

      Hapus
  6. Senja selalu mempunyai cerita yang indah bagi penikmatnya :-)

    BalasHapus
  7. Ternyata kunci postinganmu kali ini ada di awal paragraf ya cha, aku baru sadar pas baca sampai akhir paragrag kalau postinganmu ini tentang perbedaan.

    Indonesia itu negara dengan keragaman suku dan agama. Yang kamu jelaskan bisa dibilang salah 1 keberagaman di negeri kita dari 1 agama yang sama. Di era saat ini, keberagamaan Indonesia yang harusnya indah, malah jadi bahan percekcokan karena sifat ingin unggul dari agama/suku yang lain. Kewajiban kita untuk taat dan menjalanlan perintah Tuhan, namun Tuhan pun tak mengajarkan (dalam agamanya) untuk bermusuhan karena terlalu fanatik pada agama, Tuhan mengajarkan kasih sayang dalam perbedaan, dan Indonesia harusnya seperti itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senengggg banget aku kalau pesannya sampe ya Pit. :)

      Iya, begitulah. Sebab saling menghargai itu rasa rasanya indah.

      Hapus
  8. perbedaan itu indah dan manusiawi, dan sejatinya kita harus bisa menerimanya dengan hati yang lapang ya :)

    BalasHapus
  9. Wih, indah banget kalo udah ngeliat senja, kagum, bawaannya pengen bilang subhanallah aja.

    Kalo ngomongin perbedaan, kita semua pasti beda, tapi jangan menganggap berbedaan itu adalah suatu patokan, makanya bener tuh saya setuju, perbedaan itu gak bisa dihindarkan tapi cobalah dinikmati, atau disyukuri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget. Dalam hati pengen banget bilang Masya Allah.

      Makasih udah ikut setuju ya Yogi :)

      Hapus
  10. Nah, kadang yang pembedaan masjid itu yang bikin pecah kerukunan antar warga. Meski aku kalo shalat juga di dua masjid, nggak peduli dengan pandangan orang, karena masjid adalah milik Allah, entah itu masjid Nu, Muhammadiyah, dan yang lainnya. Masih banyak lagi kan jenis lain, cediiihhhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget Mba. Aku netral aja kalo urusan begitu. Sama sama hamba Allah yang wajib beribadah sebaik baiknya. Lagian belajar mengerti akan perbedaan rasanya udah cukup banget.

      Hapus
  11. dan seharusnya perbedaan itu menyatukan kita yah Mba Acha :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget Mba Ira :) dengan saling mengerti akan adanya perbedaan itu.

      Hapus
  12. Iya bener, paling benci sama mengkotak-kotakan diri hanya karena suku atau agama. Hello, anda hidup di tahun 2016, masa jalan pikiran kaya jaman batu.

    Capee deehhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi iya Riza. Kita semua emang perlu banyak belajar biar bisa saling mengerti

      Hapus
  13. Perbedaan itu sebenarnya indah dan membuat kita satu sama lain lebih erat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika dihiasi dengan saling mengerti dan menghargai. Iya kan Vita? :)

      Hapus
  14. Daleeem banget deh Cha, pesannya.
    Hidup emang harus banyak bersyukur dan jg kita harus menikmati hidup ini ya, selagi kita masih bisa merasakan segala yg diberikanNYA kepada kita ya Cha :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak Mba Diah atas apresiasinya.

      Iya Mba. Alhamdulillah ya Mba. :)

      Hapus
  15. ngomong-ngomong saya belum pernah ke ponorogo, smeoga someday bisa ke sana, aamiin. senjanya bikin merinding, cakeppp

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya rabbal alamin. Semoga bisa segera berkunjung ke Ponorogo ya Mba Ev. :)

      Hapus
  16. Seringkali jalan-jalan menambah pemahaman dan pengetahuan untuk diri kita, salah satunya jadi makin mengenal dan menghormati perbedaan spt ini ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba Nita. Traveling sometimes nambah pengalaman buat jiwa kita ya Mba.

      Hapus
  17. makin sadar bahwa traveling bukan hanya tentang tempat. Tapi tentang kehidupan masyarakat di suatu tempat :)

    BalasHapus
  18. Gak enak emang kalo pas mau ke masjid kemudian diberitahuan kalau ini masjid A, itu masjid B. Tapi bagaimanapun itulah konsekuensi jika kita bersosial. Jangankan di tengah masyarakat, dalam keluarga pun kadang terdapat perbedaan :)

    Ceritanya cantik, secantik langit di kala senja.

    BalasHapus
  19. Balasan
    1. Semoga kapan kapan bisa ke sana ya Mba Milda. Aamiin.

      Hapus
  20. Perjalanan dan sahabat adalah rasa yang berkelana bersama senja*eh ga nyambung rasanya :D

    Anyway, salam kenal, Mbak Cha^^

    BalasHapus

Posting Komentar