Novel Fantasi Majava : Sebuah Dunia Berlatar Lokal Sunda

Trenggalek : Tentang Dua Perempuan Muda yang Bercengkrama di Pantai Parigi

Semoga saja, cerita perjalanan saya yang ini belum masuk dalam hitungan cerita yang kadaluarsa ya.  Sudah lama sekali kisah ini ingin saya tuliskan, namun … rasanya selalu saja kurang, jika saya belum menemukan jawaban dari pilihan yang pernah menyembul di pikiran saya, ketika duduk duduk berdua di tepi Pantai Parigi bersama Nurul Djanah. Kalau kamu masih ingat perjalanan saya ke Ponorogo dan Trenggalek di waktu yang cukup lama itu, maka inilah lanjutan dari kisahnya.


Jangan segera tanyakan, mengapa baru sekarang saya tergerak untuk menuliskan kisah lanjutan dari rentetan perjalanan saya selama menikmati daerah Jawa Timur, ya … di Ponorogo dan Trenggalek. Sebab ternyata, perjalanan inilah yang mau nggak mau, membawa saya pada pilihan hidup saya saat ini.

Senja di Pantai Parigi


Akhir Desember 2015. Sore itu, mobil yang saya dan Nurul Djanah sewa, memasuki pintu masuk Pantai Parigi. Setelah terparkir, seluruh penumpang yang didominasi anak anak – jelas saja, kami liburan mengajak serta sebagian keluarga terdekat Nurul Djanah, sebab temanya saat itu memang menemani Nurul pulang ke kampung halamannya – turun, dan memisahkan diri dari dua gadis pencari suasana liburan macam saya dan Nurul Djanah. Ah, biarkanlah waktu untuk keluarga memang perlu dihabiskan dengan keriangan anak-anak ya.

Pantai Parigi Pantai untuk Keluarga

Saya dan Nurul Djanah berjalan ke arah terbenamnya matahari. Menyusuri pasir abu abu yang nggak terlalu lembut. Menikmati suara deburan ombak dari Pantai Parigi yang cukup tenang. Hmm, wajar jika Pantai Parigi ini dijadikan sebagai destinasi wisata keluarga, sebab ombaknya yang nggak terlalu ganas, juga pantainya yang cukup landai, sehingga bisa lah keluarga-keluarga yang merasa butuh vitamin sea bermain-main menikmati waktu liburan di sini. Sayangnya, saya dan Nurul Djanah menyengaja untuk berjalan menjauhi kerumunan keluarga-keluarga yang asik bermain air tadi. Kami merasa butuh tempat untuk sekedar bercerita, berdua saja, bertukar pandangan atas hidup kami yang – bagi saya dulu sih, “begini begini saja” – sembari mengingat kembali akan impian kami masing-masing.

Benang merah kami menjelang senja itu adalah mengenai kehidupan perempuan di usia 20-an. Bahwa perempuan, memiliki hak yang sama soal berpikir dan mengambil keputusan bagi kehidupannya sendiri. Bukankah begitu? Ya … silakan jika kamu memang memiliki pendapat lainnya. Namun bagi saya dan Nurul Djanah, di usia kami yang sudah menginjak angka 20-an ini, memang selalu ada saja rintangan dan tantangan, juga kami dihadapkan pada keputusan yang perlu kami pilih dan siap kami tanggung risikonya. Ini soal asmara.

Nurul Djanah My Travelmate 

Di waktu itu, saya single. Super duper single hingga sesosok gebetan pun nggak saya miliki. Waktu saya habis oleh pekerjaan kantor dan rentetan side job sebagai Social Media Admin atau hanya jadi Content Writer abal abal, demi menambah skill saya, Sementara Nurul yang memang juga sudah sibuk bekerja di kantornya kala itu, juga disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan batinnya akan mengajarkan ilmu debat pada generasi yang lebih muda dari kami. Sedikit bocoran, selama ini saya begitu kagum dengan kemampuan cas cis cus dan keberanian sahabat saya ini untuk menantang dirinya demi masa depan dan impian besarnya selama ini. Maka jadilah, kami, dua gadis sok keras kepala yang sempat nggak terlalu memikirkan soal asmara dan belum pula membayangkan rupa jodoh kami.

Saya membiarkan Nurul Djanah berkisah tentang masa kecilnya, tentang kekagumannya pada Mba Tipah – kakak kandungnya yang juga dalam hitungan jam sudah membuat saya jatuh hati juga --, ditambah list impian yang begitu ingin dicapainya. Salah satunya, sahabat tersayang saya ini begitu ingin bisa menjelajah suatu negeri di belahan lain bumi, demi menuntut ilmu. Hmm … jika saya beberkan rentetan prestasi travelmate saya ini, saya nggak kuat, soalnya saya suka minder duluan. Namun sosok Mba Tipah – sang kakak perempuan – yang memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai sebenar-benarnya ibu bagi keluarga kecilnya, pun demikian dengan kisah cintanya, menjadi bagian dari sesi curhat panjang kami menjelang senja waktu itu.

Di sisi lain, saya mengungkapkan keresahan saya akan masa depan pada Nurul. Saya memang bekerja sebagai Copywriter in House di salah satu perusahaan swasta Indonesia. Posisi yang menyenangkan dan juga menegangkan, sebab selama bekerja – hingga hari ini – saya masih harus terus mengedukasi para Manager-nya yang terhormat mengenai pekerjaan saya yang sesungguhnya sebagai Copywriter khususnya di media Digital, bukannya tukang dengar ocehan di rapat dan membuat notulennya, atau mengambil alih pekerjaan administrasi yang mengurusi tetek bengek tagihan sebab tim saya masih kekurangan orang alias belum mau mencari tambahan karyawan. 

Rasanya bisa mengisi beberapa website brand dengan content warna warni dan harus bersusah payah dengan waktu kerja di Senin – Jumat dari pukul 08.30 hingga 16.30, ditambah Sabtu hingga 12.30 itu … rasanya … pada akhirnya, membuat saya mempertanyakan soal definisi bahagia. Kesibukan saya dan memperjuangkan citra beberapa brand dengan tim saya itu … untuk apa? Mengapa waktu saya hanya habis untuk bekerja, hingga pulang ke rumah orangtua di akhir pekan saja, terasa berat sebab mengambil jatah tidur dan nonton drama saya? Apalagi saat memutuskan traveling, kepada siapa saya harus meminta ijin, lalu mencium tangannya sebelum saya mengangkat ransel dan melambaikan tangan di depan pintu? Kala itu, saya merasa, saya terlalu sendirian.

Menemukan sosok Mba Tipah, melihat beliau sekedar menyiapkan baju anak-anaknya, memasakkan makanan sederhana, menyusui, memotongkan kuku, atau ribut akibat kelakuan si anak yang kadang uniknya bisa bikin pusing ibunya, terbersit rasa ingin. Tapi Nurul selalu bilang, pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Saya berkerja terus, maka lupa cari pasangan ya wajar saja. Saya diam terus di rumah, mungkin juga nggak akan maju maju ya.

Namun ocehan saya dengan Nurul Djanah, dengan backsound suara ombak dan sepoi sepoinya angin sore Pantai Parigi, plus … matahari yang mendadak bulat kuning dengan arak arakan awan yang membuat saya seolah bebas mengungkapkan apa saja, kala itu. Persis seperti saat kami berdua duduk di pinggir Pantai Pangandaran hingga gelap malam pun turun.


Seusai obrolan soal asmara – juga bayangan kami tentang menikah – senja itu, kini membawa saya pada tahap lain kehidupan. Alhamdulillah saya memberanikan diri untuk mengurangi porsi lembur saya di kantor, juga sedikit demi sedikit mengurangi kesibukan mengambil side job, dan mengisinya dengan banyak waktu untuk mengenal lebih dekat partner hidup saya yang dulu masih jadi pacar. Nantilah ya, kapan kapan saya cerita soal bagaimana akhirnya setelah sekian lama kami bertemu lagi dan lalu menjadi teman dekat kembali. Inilah saya kini, seorang istri dari pemuda tampan yang meminang saya awal tahun lalu. Ternyata, setiap perempuan – bahkan mungkin juga laki-laki – akan mengalami fase pencarian, memilih jalan kehidupan, lalu menjalani semuanya secara baik-baik ya. Saya dulu begitu tergoda dengan aura Mba Tipah, seorang istri dan ibu yang penuh kasih. Maka hari ini saya ingin belajar keras agar – paling nggak bisa mendekati -- seperti demikian. Kini saya malah merasa sedih ketika harus lembur di kantor, atau masih memegang smartphone demi menyelesaikan pekerjaan kantor, padahal fisik saya sedang ada di rumah. Semoga keputusan saya untuk menjadi seorang freelancer nggak salah ya. Semoga saya berani dan nggak mewek bombay saat mengajukan surat resign nantinya. Ohhh … mellow, bukan anak kantoran lagi … hiks.

Lalu bagaimana dengan Nurul Djanah, sahabat kesayangan saya ini? Mari kita doakan, semoga impian-impiannya terwujud satu per satu, pun dengan datangnya jodoh yang akan menemani hari harinya demi membangun impian yang semakin besar bersama.

Our Ugly Foot


Sebab sebab sebuah perjalanan, bagi saya, akan jadi cerita berbeda, jika bersama dengan teman-teman yang mau berbagi sudut pandangnya juga. Serupa deburan ombak Pantai Parigi yang berkejaran menuju tepian, menyambangi kaki-kaki saya dan Nurul yang dipenuhi oleh pasir pantainya. 

Komentar

  1. Obrolannya berat banget yah, sampai soal menikah gitu. Eh, itu jadi copywriter di website mana mba, siapa tau ada wakru, saya bisa mampir..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya berat. Hihihi. Kalau mau lihat web apa yang handle, silakan main ke page portofolio aku ya.

      ^.^

      Hapus
  2. Bentar, udah komen belum tadi aku ya. Tadi tuh udah nulis panjang, gak tahu terasa capek, trus gak lama bangun laptop udah mati, ilang dah itu komen, tapi gak tahu masuk atau gaknya.. #curhat :D

    Belum kadaluarsa ko, Teh, kan gak ada expirednya lah, justru tulisan lama itu menyelamatkan ketika kita bingung mau nulis apa..hehe

    Nama pantainya seperti gak asing di telingaku, tapi belum pernah kesana. Jatim, bagus pantainya, aku priadi suka banget kalau ke pantai, sekedar ngabuburit gitu, sepedahan lah. Itu kalau suasana sunset pasti lebih bagus ya, Teh, ada background pegunungannya juga.

    Kesibukan nulis gitu memang ada kesenangannya tersendiri ya, Teh, dulu juga aku pernah nulis di website orang, sehari ngisi berapa artikel gitu. Memang, sebelum nulis mah enteh pikirku, tapi setelah action ternyata berat satu artikel pun, karena punya kesibukan yang lain.

    Tapi, dari situ aku bisa belajar membagi waktu, seperti halnya nulis di website orang dan blog sendiri..he

    Semoga Teh Nurul Djanah, yang nulis ini serta teman-teman yang baca dimudahkan segala urusannya, termasuk doa dan cita-citanya Allah kabulkan.. aamiin..

    Oh, ya, itu ada cerita di Pangandaran juga ya, Teh, cona nanti aku tengok, aku baru ke Pangandaran lagi, pas lebaran kemarin, bisa di tengok di blogku, Teh..hehe

    Mungkin udah banyak berubah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Aamiin. Semoga semua doa doa baik kita dikabulkan ya. Makasih banyak sudah mampir ke mari.

      Hapus
  3. HALLO!!

    Wah, pengantin baru dong ya. Sama kita. Hehehe Memang setiap manusia pasti punya fase hidup serupa itu lebih kurangnya. Namun, apapun fase yang kita lalui sekarang, kalau kata suami saya, jadilah orang yang pandai bersyukur. :)

    Saya jadi membayangkan mengobrol hangat dengan sahabat sambil menyaksikan tenggelamnya mentari di pinggir pantai. Aduh syahdunya..

    Lebih syahdu lagi kalau bersama dengan suamii!! Pokoknya harus dimasukkan dalam 'bucket list' Pasti seruuu :)

    Meykke Santoso

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahhh selamat ya mba. Semoga sakinah mawaddah wa rahmah selalu bersama suami.

      Semoga bisa ngobrol romantis sama si suami juga di pinggir pantai ya. Didoakan.

      Hapus
  4. wah, ternyata kisah perjalanan ini sudah dua tahun yang lalu ya? lumayan klama juga tuh

    gue ngebayanginnya kok asik gitu ya. duduk dipasir dekat dengan air laut. terus saling cerita mengenai polemik kehiudpan masing-masing, sampai soal cerita tentang mengenai problematika nikah dan jodoh, sambil ditemani suara angin serta air. beh mantap jaya.
    dan ternyata sekarang udah nikah aja ya. apa jangan'' dua tahun lalu itu emang planning untuk tahun ini bisa bertemu dengan jodoh dan menikah? wah keren sih. smoga temannya juga bisa cepet nikah. tapi, klo masih asik menikmati kehidupannya yang sekarang, ga ada alasan utk cepat nikah juga sih. pokoknya diasikin aja lah hidup
    heheh
    ga nyambung ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi makasih udah doain sahabatku ya. Semoga kamu juga bisa seakin demikian jalani hidup dan nemuin jodoh suatu waktu nanti. Didoakan.

      Hapus
  5. Hehehe.. Copy writer tapi sering dikasi yugas serabutan ya? Sabar..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba. Walaupun nggak fokus banget rasanya, tapi jadi belajar juga tentang bidang pekerjaan lainnya.

      Hapus
  6. Enak banget tulisannya hihi. Btw tulisannya kurasa masih belum basi lah Mba, hehe. Ditunggu catatan perjalanan pencarian dan pertemuannya dengan sang kekasih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Doakan bisa segera ditulis ya mba. Banyak banget ceritanya.

      Hapus
  7. Semangat mba.. Semua pilihan memang pasti ada konsekuensinya..
    Kalau memang mba maunya resign demi menjadi seorang ibu yang baik bagi keluarga kecilnya, itu pilihan mba.. 😊
    Semog temennya juga bisa disegerakan bertemu jodohnya.. Hehehe
    Doakan saya juga ya supaya jodoh saya segera nyamperin saya.. Hihihi
    Semangat mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya rabbal alamin. Semoga mba Ginty juga segera dipertemukan sama jodohnya ya.

      Semoga pilihan kita adalah pilihan pilihan yang baik.

      Hapus
  8. baguuus pantainya bersiiiihhh

    Pantai SIDEM kalah ya
    pantai sidem kotor sekali

    BalasHapus

Posting Komentar