Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

The TEAM’s Last Journey Part 2

Jessss...jessss...tuuuttt...tuuutttt...


Kereta Api Sembrani jurusan stasiun Pasar Turi, Surabaya akhirnya berangkat meninggalkan stasiun Gambir. Aku yang duduk di dekat jendela, hanya bisa terpaku menatap keluar. Menyadari lajukereta yang perlahan meninggalkan stasiun Gambir.

“Bye bye, Monas!!!”, pekikku sendiri.


Fin yang duduk di sampingku ikut memandang ke luar jendela. Ikut menikmati malam riuh yang dimiliki kota Jakarta kami yang tercinta. Mengerling pada tiap kerlip lampu lampu kota yang berpendar dan makin redup. Arus mobil yang mengular di bawah sana. Sementara kami melaju di rel yang lebih tinggi.

Banyak sekali SMS yang membuat ponselku bergoyang. Fall For You dari Secondhand Serenade mengalun pelan. Ternyata banyak sekali ucapan ‘Selamat Berjuang’ yang dikirimkan dari orang orang terdekatku. Sementara beberapa dosen kami juga mengirimkan pesan yang hampir sama di ponsel milik Fin. Jadilah, kami berdua sibuk bermain dengan ponsel kami.

“Mau nggak?”, tawar Septy yang duduk di bangku belakang.

“Waaahhhhh...makanan...”, ujarku bersemangat.

Dan di sela sela canda antara aku dan Fin, Adi langsung menyodorkan laptopnya. Baiklah, sudah saatnya menyelesaikan slide presentasi kami yang belum rampung itu. Nggak puas dengan tempat duduk ku dan Fin yang ada di depannya, Adi pindah juga ke depan, dan hasilnya kami bertiga berdempetan.

“Kejepit!”, keluhku.

“Ini gimana ini?”, tanya Adi.

“$^#@!^*((^$&$#@@$%$^$@!@!@!!@!~#%^&*(“, Fin panjang lebar menjelaskan ide mampir di otaknya.

Semetara aku mulai mencoba menerjemahkan idenya itu. Dan Adi pun mulai mengutak atiknya. Dan jadilah sebuah diagram.

Entah sampai jam berapa, dan entah berapa stasiun yang terlewati, kami bertiga masih sibuk mengeruk otak kami sampai rasanya aku ingin muntah.

“Wah, udah nyampe stasiun Cirebon!”, ujarku.

“Turun ah! Gue udah nyampe nih!”, celetuk Fin yang ternyata orang Cirebon itu.

Agak lama....aku mulai bosan..... Akhirnya aku menyembunyikan kepalaku di balik tirai dan kabur dari perdebatan mereka berdua.

“Waw!!!!”

Kedua temanku itu ikut melihat keluar jendela.

“Itu tambak udang!”, Adi menjelaskannya.

Aku takjub pada deretan lampu neon yang berbaris teratur. Ternyata lampu lampu itu dipasang di pinggir kolam udang.

“Udangnya takut gelap!”, kata Fin.

Bercanda sebentar dan serius lagi. Adi kembali membuatku serius memikirkan slide kami. Membuat kesimpulan. Bahkan sampai Fin pindah ke bangku belakang dan tertidur disana. Tapi, karena nggak tahan juga melek sampai menjelang pagi, aku pun tertidur. Bodo amat deh Adi mau sibuk sendiri, aku ngantuk!

Menjelang pagi, aku baru bisa melek lagi. Kaget, Fin sudah tidur dengan nggak nyaman di sampingku. Sebentar matanya kembali terbuka menyadari aku yang terbangun.

“Tidur aja! Biar gue yang jagain.”

Lalu aku hanya melamun memandangi pemandangan di luar. Langit perlahan menjelang terang itu hanya menjadi latar gelap ketika lampu lampu yang dilalui oleh Sembrani hanya berpijar redup. Padang persawahan membentang luas. Dan sepertinya udara di luar sana terasa beku. Sepi.

“Tidur aja lagi!”

Aku menoleh dan tersenyum. Karena nggak bisa tidur lagi, aku pun mengeluarkan novel “Halo, aku dalam novel” terbitan Gagasmedia yang ku bawa. Berharap aku bisa tertidur lagi.

Tapi bias cahaya matahari yang mampir di jendela di sampingku, membuatku tergoda untuk segera menyibak tirai dan menyambutnnya. Aku pun hanya mendapati hamparan sawah yang hijau muda, kabut, saluran irigasi, dan beberapa rumah pertanian yang mungil mungil. Orang orang yang sibuk dengan kegiatan pagi mereka, mendapati aku yang tersenyum di dalam gerbong Sembrani. Hanya suasana pinggiran kota yang aku temui.

“Udah pagi? Udah sampai mana?”, tanya Fin setengah sadar.

“Cepu!”, ujarku tepat saat aku melihat plang nama stasiun yang mendekat.

Teriakan para pedagang kembali menggoda telingaku. setiap Sembrani mampir di stasiun, teriakan itu akan selalu terdengar.

“Kopi! Kopi! Kopi!”

“Wingko! Wingko! Wingko Babad!”

Begitulah teriakan para pedagang yang nggak pernah henti. Mereka terus saja bersemangat menawarkan dagangannya.

Aku kembali menoleh keluar jendela dan seorang ibu paruh baya bertubuh sedikit gemuk dan berkulit sawo matang, dengan nampan berisi dagangannya, ikut berteriak menjajakkan dagangannya pada siapa saja yang lewat di depannya.

Tak lama, kereta kembali berangkat. Ditemani matahari yang mulai meninggi di ufuk timur. Dan hal yang sama pun kami temui di stasiun Bojonegoro.

“Udah sampai mana?”, tanya Fin lagi.

Aku menggeleng.

“Nih, kita udah di SMS sm LO nya. Katanya nanti turun di stasiun, kita di suruh pake almamater.” kata Adi.

“Lu aja deh!”, ujar Fin.

Sembrani mulai berjalan pelan memasuki stasiun Pasar Turi, kami sudah siap berdiri di pintu keluar dengan menenteng barang-barang kami.

“Welcome to Surabaya!!!!!”

Komentar