Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

AIR, MIMPI, HITAM

            Aku dan beberapa temanku sedang asik menikmati langit sore di kawasan Kota Tua Jakarta. Kami senang bercanda dan tertawa. Tapi, saat kami melewati sebuah kali. Ugh, bau menyengat menusuk-nusuk hidungku. Bau limbah yang menumpuk di kali itu. Ya Tuhan! Airnya pekat dan hitam sekali. Tapi, aku merasa tempat ini cocok untuk berfoto.



***

            “Andai, pepohonan masih tumbuh lebat di tanah ini?!”, aku berada di sebuah lahan luas yang hampir menyerupai gurun. Tak ada satupun tanaman yang tumbuh.

            “Air! Air! Air!”, seorang wanita tua renta merangkak tak berdaya di atas pasir.

            “Tuhaaaaaannnnn!!!!! Ampuni kami!!!!!!!”, teriak seorang lelaki muda yang seluruh kulitnya memerah karena lama terpapar sinar matahari. “Beri kami air yang segar, bersih. Tuuuhhhhaaaaannn!!!”

            “Air! Air! Air!”, wanita tadi hanya menatap memohon padaku.

            Seorang anak kecil dengan kulitnya yang mulai mengelupas, menatap tajam padaku.

            Kakiku tak sanggup melangkah mendekatinya. Aku nggak bisa.

            “Tolongggggggg!!!!”, lolong si wanita renta tak berdaya.

***

            Aku terbangun dari tidurku. Keringat dingin mengucur deras.

            “Apa tadi cuma mimpi?”, napasku tak beraturan.

            Aku menyalakan lampu meja di sampingku dan ku lihat senyumku dan teman-temanku di  jembatan yang ada di wilayah Kota Tua itu.

            “Apakah nantinya bumi hanya akan memiliki air yang berbau limbah dan pekat seperti di jembatan itu? Tidak! Ya Tuhan! Harusnya aku menjaga alam ini. Alam yang telah Tuhan titipkan untuk dirawat bersama-sama. Apa air akan hitam. Tidak bening lagi??????”

            Aku merinding sendiri. Ku lipat kakiku dan ku sandarkan daguku di antara kedua lututku. Aku takut.

            Apakah mimpiku tadi adalah gambaran dari dunia ini nanti? Tidak! Tidak boleh! Lalu apa jadinya manusia nanti? Berbagi air yang sangat sedikit? Atau hidup tanpa air? Apa pepohonan juga tidak bisa tumbuh? Benarkah dunia ini akan panas? Menjadi gurun?

            “Jangan Tuhan! Jangan! Salah siapa semua ini?”

            Kembali terasa olehku udara sore saat di Kota Tua waktu itu. Lengket, gerah. Tapi matahari tidak muncul.

            “Salah siapa? Apa yang harus kami lakukan, Tuhan?”

            Mimpi buruk tadi membuatku berpikir. Sebagai manusia, benar-benar egois rasanya. Menebang pohon seenaknya. Membuang limbah ke air tanpa berpikir panjang. Lalu siapa yang harus disalahkan? Bagaimana cara merubahnya? Tuhan!!!!!!

            Aku makin menggigil karena ketakutan.

             

Komentar