Novel Fantasi Majava : Sebuah Dunia Berlatar Lokal Sunda

Saat Genting

            “Kriuk....kriuk....”

            Terdengar suara yang ricuh. Untuk kesekian kalinya suara itu mengusik telingaku. Mencoba mengbuyarkan imajinasi yang sedang asiknya menyala-nyala dalam kepalaku. Sementara otakku mati-matian berusaha terus memperlancar gerakan jemariku memijak tuts-tuts keyboard laptop merk Axioo berwarna merah menyala, di hadapanku.



            “Kriuuuukkk...”

            Suara itu makin terdengar meronta dan memohon kepadaku. Dari suaranya yang makin keras, alarm peringatan bahaya ‘mati kelaparan’ itu, terus saja berdering nyaring dari dalam lambungku yang minta diberi subsidi tambahan.

            Sementara tubuhku mulai lemas, kupaksa mataku untuk tetap menatap layar laptop yang sengaja kuredupkan.

            “Oh, sayang! Maafkan aku.” Kubelai perut yang makin nyaring mendendangkan demonstrasi anti kelaparan.

Dengan sikap tenang, sesekali kuelus-elus kulit mulus si perut yang hampir tak mampu lagi memberikan bantalan lemak bagi tulang-tulang rusukku, sehingga aku sendiri dapat melihat tubuhku yang kurang gizi itu di cermin besar yang ada di dekat kamar mandi kos-kosanku. Tubuhku yang tidak tinggi, sedikit menutupi betapa kurusnya aku saat ini. Walaupun kuakui, aku merasa tubuhku ini semakin kurus dan hampir menyerupai tengkorak hidup.

“Kriuk...kriuk...”

Keluhan si lambung semakin menjadi. Bukankah seharusnya dia sudah terbiasa dengan diet ‘dompet’ yang kulakukan? Sungguh, lambungku ini sedang tidak ingin bersikap tenang dan pengertian seperti biasanya.

Dengan pasrah, kulirik galon air minum yang ada di samping lemari. Batas air yang menunjukkan jumlahnya yang masih cukup untuk beberapa hari itu, sedikit menenangkanku.

“Baiklah, aku akan memberimu sedikit kesegaran.” Pasrah sudah kuhadapi penyerangan cacing perut ini.

Aku sengaja menggeser dudukku hingga mendekati galon air yang tetap tenang berdiri di samping lemari. Kuangkat gelas melamin yang kujadikan penutup mulut galon, lalu kupompa air dari dalamnya dan kutadah dengan gelas tadi.

“Gelas ini memang belum aku cuci selama tiga hari. Tapi, hanya aku sendiri yang memakainya. Jadi, tenanglah cacing perut, aku tidak menodai air ini dengan bekas liur orang lain, apalagi dengan cap lipstik wanita. Gelas ini tetap perawan.” Celetukku kacau.

Suara ketukan pintu tepat terdengar saar bibirku baru saja menyentuh bibir gelas. Sempat kutahan tanganku untuk mengangkat gelas itu lebih tinggi.

“Siapa?” Aku bangkit dan berjalan mendekati pintu. Sementara gelas itu masih berada dalam genggaman tangan kananku.

“Gue, Lan.” Suara gadis manis yang sangat kuhafal itu, menimbulkan efek kejutan listrik di tubuhku. Senyum sumringah tergambar penuh.

“Hai!” Sapaku cepat sambil membuka pintu kamar.

“Lan. Bantuin gue bikin tugas dong! Otak gue udah pasrah nih diajak mikir.” Keluhnya manja padaku.

“Pasti tugas akuntansi ya?” Tanyaku sebelum menenggak habis air di gelas yang sedari tadi kugenggam.

 Cacing perut, jangan berisik dulu ya! Gue mau melayani bidadari gue dulu! Batinku.

Anggukannya begitu yakin. Senyum senangnya mengembang sempurna dan menambah keimutan wajahnya yang menggemaskan itu.

“Ayo masuk!”

Ku buka pintu kamarku lebar-lebar agar tidak ada yang mencurigai kami. Seorang gadis yang datang siang-siang di kos-kosan seorang laki-laki, bisa jadi hal yang mencurigakan di tempat ini.

“Lan.” Dia duduk manis di samping laptopku sambil merogoh tas slempangnya. “Kerjainnya sambil ngemil yuk!”

Oh Tuhan, terima kasih. Engkau mengirimkan gadis manis yang sungguh penyayang dan memahamiku. Batinku senang saat menemukan sebungkus kripik singkong yang kini diletakkannya di lantai, tepat di samping laptopku. Hey cacing perut, kamu diselamatkan oleh bidadariku!

Dengan malu-malu rakus, kuambil sedikit demi sedikit kripik itu. Suara lumatan yang seru menggema dalam mulutku, membuat senyumnya makin merekah.

“Bagian mana yang susah?” Tanyaku sambil memperhatikan hasil penghitungannya di buku catatannya.

“Ini!” Tunjukkan dengan telunjuk lentiknya.

Mataku terus saja meneliti penghitungan jurnal umum di buku catatannya. Sementara tangan kananku tidak bisa berhenti mensuplai kripik singkong itu ke dalam mulutku.

“Kripiknya enak!” Pujiku penuh rayu.

Cacing di perutku sudah tidak menerorku lagi. Suara-suara nyaring para demonstran lambung itu sudah berhenti berbunyi. Kini, suara itu digantikan oleh suara kunyahan yang semangat melumat kripik itu dan mendorongnya masuk ke tenggorokanku.


Komentar