Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Surat Terakhir untuk Rey



            Rey. Begitulah selalu aku memanggil namamu. Aku sangat suka menyingkat namamu menjadi seperti itu, Revan. Tentu saja karena nama itu terkesan cool untukku. Maka ijinkan aku menyebut nama kesayanganku untukmu di suratku ini.
            Rey. Sungguh, rasa cinta di hatiku ini belum bisa kuhapus. Padahal begitu ingin kuakhiri semuanya. Tahukah kamu Rey? Aku telah melakukan banyak hal, hanya agar aku dapat melupakan kisahmu dan kisah kita berdua. Aku telah sering melarikan diri dari bayanganmu dengan menyibukkan diriku. Aku telah memaksa laki-laki lain untuk menjalin hubungan denganku. Tapi, apa yang kudapat? Bayanganmu sajalah yang hadir.
            Aku masih begitu hafal tatapan matamu yang tajam. Juga seringai lembutmu yang selalu membuat detak jantungku menjadi tidak normal. Suara beratmu, oh....itulah yang selalu membuatku merindukanmu, Rey.
            Aku masih ingat, bagaimana antusiasnya kamu menceritakan tentang permainan tim sepak bola kesayanganmu, Chelsea. Padahal aku sama sekali tidak mengerti tentang permainan sepak bola, tapi kamu menceritakannya seakan aku pun menyukainya. Aku pun tidak pernah lupa, senandungmu saat kamu mendengarkan lagu-lagu rohani melalui earphone. Saat itu kamu memang tidak mengajakku mendengarkannya bersama, tapi kamu tersenyum dan membiarkanku sibuk membaca buku, satu hal yang sangat kusukai dan kamu memahami itu. Bahkan ucapanmu yang lembut dan dalam itu, selalu membuatku rindu.
            Rey, ingatkah kamu pada awan yang tidak sengaja berbentuk ‘love’ di senja itu? Senja yang syahdu saat kita menunggu kedatangan kereta api di stasiun Pondok Cina? Aku begitu ingat raut wajahmu saat itu. Senyum nakalmu, menggodaku. Tanganmu yang tanpa ragu menunjuk awan itu, seakan menghadiahkannya untukku.
            Ya. Aku akui. Saat kamu menunjuk awan itu, aku tidak mempercayaimu. Bagiku, kamu terlalu berlebihan. Kamu terlalu berusaha untuk terlihat romantis di hadapanku.
            Tapi, mana pernah aku menyangka, kalau awan itu adalah satu-satunya hadiah yang kamu berikan untukku.
            Rey. Setelah kepergianmu, aku tidak lagi mengerti makna cinta itu. Aku yang dulu mengagumi ungkapan cinta. Aku yang dulu seakan paham dan fasih betul tentang cinta. Kini rasanya hatiku tumpul.
            Rey. Ijinkan aku meneriakkan namamu ke langit senja. Ijinkan aku menangisimu saat bayanganmu menghilang dari hadapanku. Ijinkan aku menyimpan dendam padamu, saat kamu tak lagi mau menatap ke dalam mataku dan menemukan perih yang kamu selipkan disana.
***
                Bersama cahaya matahari yang semakin lama semakin meredup, kutemukan bayanganmu yang berjalan perlahan menyeberangi rel kereta api, di ujung peron. Langkahnmu pelan dan tubuhmu tidak setegap biasanya. Wajahmu tertunduk begitu dalam. Kamu layaknya sedang menghitung tiap langkah kaki yang kamu buat untuk memperpendek jarakmu denganku.
            “Rey? Revan?” Gumamku saat itu.
            Kutangkap guratan lelah yang jarang kulihat, ketika kamu mengangkat wajahmu.
            “Ada apa denganmu?” Ingin rasanya aku bertanya demikian.
            Kusadari, jarakku denganmu belum terlalu dekat. Suara gumamanku pastilah tidak terdengar.
            Saat itu, slide-slide perpisahan yang kamu rajut untukku, kembali terbayang. Suaramu yang rendah dan dalam, rasanya begitu perih kamu mengungkapkannya padaku.
            “Maafkan aku. Aku sebenarnya tidak ingin mengakhiri semuanya. Tapi, aku harap kamu paham, Say. Tuhan telah lama memisahkan kita. Tuhan-lah yang tidak menginginkan kita bersama. Aku nggak mau kamu mengalah dan menjadi pendosa di hadapan Tuhan-mu. Aku juga nggak tega melakukan ini untukmu. Aku nggak mau kamu dibuang dari keluargamu karena aku. Say, jalan kita dari awal sudah berbeda. Iman kita berbeda. Kita lepaskan saja semuanya ya?”
            Genggaman tanganmu saat itu menggetarkan jiwaku. Kubiarkan air mataku meleleh di hadapanmu. Kulihat kamu juga begitu pilu. Kamu menghapus air mataku lalu tertunduk dalam.
***
            Rey. Sampai hari ini, hanya kamu, cinta yang begitu bermakna untukmu. Hanya kamu, cinta darimu yang telah banyak mengajarkan aku untuk berserah sepenuhnya pada Tuhan. Berpasrah diri dihadapan-Nya dan memilih jalan-Nya untuk belajar mencintai sosok lainnya.
            Rey, jika benar cinta itu tak harus memiliki, maka kini aku mengiyakannya. Namun jika cinta itu harus diperjuangkan mati-matian, aku tidak akan lagi berani melakukannya. Rey, aku sudah kehilangan segala rasa jatuh cintaku.
            Dipenghujung surat ini, untuk terakhir kalinya, aku ingin mengatakan bahwa aku pernah mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Mungkin sampai saat kamu membaca surat ini pun, rasa itu masih sama. Tapi, Rey, aku telah banyak belajar untuk mengikhlaskan dirimu. Aku kini lebih pasrah pada Tuhanku. Aku belajar untuk melepasmu dan menjadikanmu masa lalu.
            Rey. Aku percaya, suatu hari nanti Tuhan akan mengirimkan laki-laki yang seiman denganku. Laki-laki yang sanggup menjagaku dengan baik, melebihi dirimu. Aku pun percaya, Tuhan-mu pun akan memberimu takdir yang lebih baik daripada aku.
            Semoga semua kata yang kutuliskan dalam surat ini, sanggup mengobati luka kita masing-masing. Semoga surat ini memberimu semangat baru untuk jatuh cinta lagi. Semoga masa lalu kita, jadi guru terbaik agar kita tidak lagi salah melangkah.
            Sampai jumpa untuk selamanya, Rey.

Komentar

Posting Komentar