|
from google.com |
Sudah
begitu lama aku meninggalkan kebiasaanku yang ditularkan secara tak langsung
oleh mamaku. Ya, so very long time I am not re-write any message who come to my
ponsel again. Aku sangat rindu untuk melakukannya kembali.
Kalau
manfaat dari menulis buku harian, mungkin kamu pun telah mengetahuinya, kawan.
Menulis buku harian itu layaknya terapi jiwa. Mencurahkan begitu banyak
uneg-uneg yang belum tentu dapat dibagi dengan sahabat dan Mama. Seolah, setiap
ungkapan yang ada disana, hanya untuk kamu dan Tuhan. Buatku, buku harian itu,
seperti surat yang kubuat tiap malam untuk kukirimkan pada Tuhan, selain doa.
Dan buku harian itu, pada akhirnya setelah beberapa tahun berlalu, akan berubah
menjadi checkpoint-ku. Sudah sedewasa apakah diriku, dan pola pikirku dalam
mengatasi masalah yang menimpaku? Sudah seberapa banyak pengalaman yang kudapat?
Dan seberapa besar rasa syukur atas nikmat hidup yang telah Tuhan hadiahkan
padaku? Yup, seperti menganalisa diri kita sendiri.
Mamaku
dulu, sejak pertama kali menghadiahkan aku sebuah ponsel ketika aku duduk di
kelas 2 SMA, selalu duduk di hadapanku setiap malam, menuliskan setiap pesan
yang masuk ke ponselnya hari itu, sembari menemaniku belajar atau sekedar
menonton TV. Kebiasaan yang diangkap tak penting oleh Papa, dan menurutnya itu
membuang waktu sekaligus energi. Tentu saja karena akan menambah penuh deretan
buku ‘tidak penting’ di rak buku rumah kami yang sudah cukup terlihat kumuh,
selain menghabiskan waktu berlama-lama membaca kembali pesan yang sudah ‘basi’,
dan sebaiknya segera menekan tombol delete untuk mengurangi beban memori si
ponsel.
Tapi
kebiasaan mamaku terus saja berlanjut dan membuatku tertarik untuk mengikuti
kebiasaannya. Kami pun melakukan kebiasaan yang dianggap bodoh oleh Papa itu
secara sembunyi-sembunyi, dan menambah
banyak daftar kebiasaan tak penting kami berdua setelah menulis buku harian.
Aku
melakukannya hanya sekedar iseng untuk mengolahragakan tangan kananku saja.
Hasilnya kala itu, terbukti, aku lebih tahan menulis begitu banyak catatan di
sekolahku dibandingkan temanku yang lainnnya. Selain ketahanan menulis itu,
kecepatan dan kerapihan tulisanku pun membaik. Hmm ... tanpa sadar aku belajar
untuk mengabadikan setiap pesan yang kuterima.
Nah,
sama namun sedikit berbeda dengan checkpoint-ku, ketika aku menuliskan
pesan-pesan yang masuk ke ponselku. Buatku, inilah salah satu bentuk penghargaan
dari setiap pesan yang dikirimkan teman-temanku. Pesan penting maupun tak
penting yang bisa saja terlupa, lalu ketika kami saling berjauhan, tak ada lagi
penghubungnya. Kawan, setiap pesan yang masuk ke ponselku, buatku adalah bentuk
kedekatan kami sebagai teman yang sebaiknya dihargai dengan baik. Setiap
hubungan yang pernah terjalin dan kini terputus, sudah seharusnya dihargai
karena telah memberi warna dalam kehidupan yang pada akhirnya, tanpa sadar
membentuk karakterku sebagai insan. Bukan hanya itu, kawan. Pesan yang coba
kuabadikan itu akan menjadi saksi atas setiap problema yang silih berganti
datang dihidupku.
Ternyata
dari kebiasaan yang dianggap ‘bodoh’ oleh papaku ini, aku menemukan manfaat tak
terduga. Kawan, apakah kamu juga ingin mencobanya?
Komentar
Posting Komentar