|
Bagian Depan Stasiun Bogor |
Padahal hampir setiap hari aku
menginjakkan kaki di Stasiun Bogor sejak aku menjadi mahasiswi di salah satu
perguruan tinggi di Depok, sebuah kota baru yang dulu merupakan bagian dari
Bogor, setiap pagi dan sore atau malam hari saat pulang kuliah. Tapi lebih
sering aku melewatkan stasiun kereta ini tanpa sedikit kesan berarti, hingga di
suatu pagi saat aku mengantarkan adik sepupuku yang baru saja datang dari luar
kota, dan aku berniat mengajaknya untuk mengunjungi Kota Tua Jakarta (pusat
kota Batavia di masa lalu), perhatianku tertuju pada jam merah besar antik yang
tergantung di langit-langit peron 3 Stasiun Bogor.
|
Jam Peron |
Teringat aku akan ‘Buitenzorg’,
sebuah nama yang dipakai pada jaman kolonial untuk menyebut pusat wilayah
Padjadjaran, kotaku, Bogor. Buitenzorg disebut-sebut sebagai kota cantik nan
sejuk, sehingga begitu banyak tuan-tuan dan noni-noni yang senang tetirah ke
daerah ini, terutama karena keberadaan taman terluasnya, Kebun Raya Bogor kini.
Keadaan Stasiun Buitenzorg kini tak
seperti dahulu. Sudah banyak bangunan tambahan yang dibangun, dan jarang sekali
aku menemukan pengunjung yang berfoto-foto di dalam stasiun. Jauh berbeda
dengan Stasiun Beos di Jakarta Kota yang pengunjungnya selalu ingin mengabadikan
momennya ketika mengunjungi stasiun tersebut, sama sepertiku. Padahal kedua
stasiun ini sama bersejarahnya.
Dari guru sejarahku saat SMA, aku
mendapatkan cerita bahwa stasiun Buitenzorg dibangun pada 1881 di daerah yang
memiliki ketinggian 246M. Dahulu, di tahun 1940-an, Ratu Wilhelmina pun pernah
menjejakkan kakinya di stasiun ini, selain para Gubernur Jendral yang biasa
berkunjung dulu.
|
Bogor +246 M |
|
Salah Satu Pintu Bergaya Klasik di Stasiun Bogor |
|
Bagian Dalam Stasiun Bogor |
Hingga, di pintu keluar stasiun pun
dahulu ada Taman Wilhelmina yang tertata rapi. Sayangnya, apa yang terjadi kini? Aku belum pernah tahu
Taman Wilhelmina itu seperti apa. Mungkin bagian dari taman itu kini berubah
menjadi Taman Ade Irma Suryani (Taman Topi) yang ada di samping stasiun.
Beruntungnya, kini pihak stasiun mulai merapikan bagian depannya dengan memindahkan
tempat parkir motor ke bagian belakang stasiun.
Akhirnya Commuter Line yang
kutunggu-tunggu datang juga. Lajunya yang mulai melambat, berhenti perlahan di
rel peron 3 yang kemudian dikerubungi para penumpang. Mereka berebut naik,
berharap mendapatkan tempat duduk yang nyaman di dalam gerbong.
Laju lambat Commuter Line yang kembali
berangkat menuju Stasiun Beos pun meninggalkan harapanku akan kembalinya
keindahan Stasiun Buitenzorg. Semoga stasiun ini kembali cantik, rapi dengan
tanaman yang ditanam berjejer di bagian depan dan bagian dalamnya,
menghilangkan kesan kumuh dan kotor yang membuat para penumpang sering
mengabaikan keberadaannya. Serta, semoga saja, para pengunjung yang singgah
segera ‘pandai’ menjaga kebersihan di tempat ini, pasti akan semakin nyaman
berlama-lama menunggu kedatangan kereta disini.
Dalam imajinasiku, aku membayangkan
suatu hari, ketika stasiun Buitenzorg kembali asri, setidaknya menjadi tempat
yang lebih nyaman untuk belajar mengenai sejarah masa lalu. Tempat ini akan mengundang
kedatangan orang-orang dari Batavia dan kota lainnya di Nusantara maupun warga
dunia untuk kembali mengunjunginya, berfoto di sekitar arealnya, dan
mengisahkannya pada setiap catatan liburan mereka. Bukankah Buitenzorg pernah
mendapatkan pamor sebagai kota tercantik di Pulau Jawa, begitu juga stasiunnya?
Maka sudah semestinya namanya tetap abadi sebagai tempat kedatangan para
wisatawan yang ingin berplesir ria di kotaku tercinta, dan tempat perpisahan
mereka dari Butenzorg menuju ke kesibukan yang telah menanti.
Komentar
Posting Komentar