The Black Guardian
Angel
Akarui Cha
“Ayo, ayo!” ketua panitia rombongan
kami mengarahkan kami untuk naik ke atas Jeep yang sudah dia tentukan. Tangan
kanannya yang memegang walkie-talkie,
terus saja dilambaikan, mengarahkan kami untuk naik ke atas Jeep.
Aku yang baru selesai mengikatkan
slayer biru di leherku, beranjak dari tempatku berdiri, mengikuti langkah Mbak
Iren yang sudah lebih dulu naik ke atas Jeep kami. Wajah Mbak Iren yang
bersemangat pagi ini, menyadarkan aku bahwa hari yang kutunggu sudah datang.
Sekelebat bayangan Shin
mengelilingiku. Berkali-kali dia berkata ‘jangan’ di kepalaku. Shin, sejak
kapan nada bicaramu selembut ini? Kamu membuatku rindu pada dirimu yang dulu,
Shin.
Shin adalah nama yang kuberikan
padanya saat TK. Dia seorang guardian
angel yang ditugaskan oleh surga untuk menjaga anak-anak. Ya, dia malaikat
penjagaku yang dulu berseragam putih kebiruan. Kini, wujudnya telah berubah
menjadi hitam setelah dia diangkat sebagai malaikat pengantar roh manusia yang
baru meninggal dunia.
Shin-ku yang dulu begitu berbeda
dari Shin-ku yang sekarang. Wajahnya yang oval dengan hidung yang mancung
rampingnya, dulu begitu sabar padaku, sering menemaniku kemanapun aku pergi.
Tapi Shin yang sekarang, setiap kali dia datang, wajahnya selalu saja tampak
menyebalkan. Apa mungkin karena pangkatnya yang telah dinaikkan oleh surga?
“Aku
cuma mau melihat matahari terbit di Merapi.”
“Aku bisa mengantarmu lain kali.
Kapanpun kamu mau, asal jangan sekarang.” Begitulah ucapnya semalam sebelum
mengantarkan aku kembali ke dalam kamar.
Jeep yang kunaiki mulai menjauh dari
penginapan, bergerak menmbus jalanan yang masih lengang di subuh hari. Angin
menampar wajahku berkali-kali, menimbulkan sensasi dingin segar. Pohon-pohon
yang tumbuh di kiri kanan jalan, mulai terlihat berwarna hijau akibat paparan
lampu depan Jeep ini. Mbak Iren dan Rey yang duduk mengapitku, hanya diam saja,
menikmati langit yang perlahan beranjak biru muda.
Merapi mulai terlihat jelas,
bersamaan dengan hamparan tanah luas yang Jeep kami lewati. Sang supir
sekaligus empunya Jeep, berkisah kalau dulu di atas tanah itu berdiri
rumah-rumah penduduk yang kini telah rata tanpa bekas. Sesekali kutemukan
tanaman yang batangnya hitam kering, sisa terpaan awan panas Merapi dua tahun
yang lalu.
Sang supir terus saja mendongengkan
kisah ternak-ternak warga yang ikut terpanggang, desa yang sudah tak bisa lagi
di tempati ..., bahkan dia juga menantang jantungku untuk berdetak lebih cepat
ketika Jeep kami melintasi jalan bebatuan yang tak rata, bermanuver sesukanya.
“Fasya!” seruan Shin berkali-kali
terdengar lemah di kepalaku.
Ah Shin, sudahlah. Aku sudah besar
Shin, kemampuanku untuk melihat dan berkomunikasi dengan makhluk astral atau
sejenisnya itu sudah hilang sama sekali, dan hanya kamu satu-satunya makhluk
tak nyata yang masih bisa kutemui, kuajak ngobrol, juga sering mengesalkanku.
Iya kan, Shin?
Tak lagi kuhiraukan dia. Mataku puas
memandang langit yang tampak makin cantik. Awan-awan tipis yang mengiringi
matahari, juga kabut tebal yang turun menyapa rombongan kami, menenggelamkan
aku pada keriangan yang muncul di tiap wajah teman-teman serombonganku.
***
Tadi malam, tiba-tiba Shin
mengirimkan telepatinya padaku.
“Lebih baik kamu nggak usah ikut!” gerutu
Shin.
Aku menggeleng. “Sudahlah Shin,
berhentilah bersikap berlebihan! Besok, semuanya pasti baik-baik saja.”
Kutemukan bayangan hitam yang
berkelebatan cepat dari jendela kamarku, kamar nomor 15 di Villa Mawar Asri.
Sosoknya muncul di depanku. Dia
berdiri di dekat pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Dalam keremangan
kamarku, aku menemukan wajahnya yang gusar. Dia meletakkan telunjuknya di
bibir, mengisyaratkan aku untuk tetap berbaring tenang di ranjangku agar teman
sekamarku tak terganggu.
“Berhentilah menyusahkanku, Fasya!” bentakannya
mengaung di kepalaku.
“Apa yang ...,” tiba-tiba dia sudah
duduk di tepi ranjang, tepat di sampingku. “Akan terjadi memangnya?”
Rahangnya menegang. “Ikut aku!” dia
menarik tanganku dan mengajak tubuhku melayang di udara. Tubuh kami berdua menmbus
dinding, terbang rendah dan mendarat mulus
di atas atap aula Villa Mawar Asri.
Aku yang hanya memakai piyama,
merasakan dingin yang menusuk, kemudian tubuhku kembali hangat setelah berada
dalam pelukan sayap hitamnya. Shin duduk begitu dekat denganku. Tubuh
malaikatnya yang hangat, melindungiku dari udara malam.
“Fasya, aku perintahkan kamu untuk
nggak ikut Lava Tour Merapi besok!” dia masih bicara dengan telepatinya.
Aku menatapnya bingung.
“Dengarkan perintahku!”
Aku mendengus. “Aku benci kamu,
Shin! Kamu selalu melarangku. Bukankah tugasmu sebagai guardian angel-ku sudah selesai sejak ulang tahunku yang ke-13 kan?
Sekarang, aku sudah hampir 20 tahun, Shin.”
“Fasya, ikuti perintahku!” matanya
tajam menatapku.
“Nggak. Aku kemari untuk melihat sunrise-nya Merapi, bukan untuk tidur
sampai siang disini!”
“Kalau begitu, ijinkan aku
mengirimkan seorang guardian angel
untuk menjagamu besok.”
“Nggak perlu. Kalau ada yang
terjadi, takdir surga yang berlaku kan?”
“Fasya.” Dia mulai melembutkan
suaranya.
“Kalau kamu mengirim seorang guardian angel untuk menjagaku, mana dia
bisa, Shin? Sudah berapa umurku?” gerutuku.
Kupalingkan wajahku darinya, memilih
memandangi langit malam Kaliurang yang bersih. Setidaknya aku masih bisa
menemukan gumpalan tebal awan di langit sini, tak seperti Jakarta yang sudah
kehilangan bintang-bintangnya. Itulah salah satu alasanku datang kemari.
“Aku nggak mau nurutin kamu kali
ini, Shin.”
Dia menghela napas. “Fasya ...,
kumohon.” Jemarinya menyentuh daguku, memaksaku untuk menatap ke dalam matanya.
“Aku nggak mau kamu hilang dari mataku, mengertilah Fssya.”
“Shin, kembalikan aku ke kamarku
sekarang juga.”
“Nggak, sebelum kamu berjanji
padaku.”
Pandangannya hanya tertuju padaku.
Sengaja kumanyunkan mulutku, sementara aku mencoba menyingkirkan tangannya dari
daguku. “Kalau begitu, apa alasanmu, Shin?”
“Berjanjilah, dan aku akan
mengantarmu kembali ke tempat tidurmu.”
“Shin!” pekikanku tertahan. Aku
mencoba melepaskan diriku dari lindungan sayapnya yang memelukku. “Berhentilah
melarangku!” Tubuhku hampir jatuh ke tanah, jika saja Shin tak segera menarikku
kembali duduk di genting yang dingin. Lagi-lagi ekspresi wajahnya berubah, semakin
tak bisa kuartikan.
“Hati-hati dengan gerakanmu.” Suara
lembutnya memperingatkanku.
“Antar aku ke kamarku, Shin!”
pintaku lagi.
Matanya berubah teduh, lalu wajahnya
menunduk lambat. “Baiklah!” Dia menggegam tanganku lebih erat dari biasanya.
Sekembalinya ke dalam kamar yang
hangat, Shin menungguku naik ke tempat tidur. Semalaman dia benar-benar duduk
di tepi ranjang, menungguiku. Ah Shin, kamu sering sekali bersikap berlebihan.
***
Jeep kami kembali melaju setelah
kami puas berfoto-foto di dekat batu alien, batu yang jika diperhatikan
wajahnya serupa manusia yang menatap pasrah ke langit.
Shin, lihatlah, matahari pagi disini
lebih cantik daripada yang muncul di langit Jakarta! Kapan lagi aku bisa
menemukan matahari yang menghalau kabut tebal seperti ini?
Kini kami melewati jembatan Kali
Kuning saat menuju jalan pulang, lalu berbelok sebentar menuju ke bekas kali
yang kini dipenuhi material bebatuan dari perut Merapi. Jeep yang membawa kami
mulai lagi dengan aksinya, sementara aku dan dua temanku yang memilih berdiri
di atas Jeep demi menikmati sensasi guncangan dari manuver yang dilakukan sang
pengemudi.
Beberapa detik berikutnya ....
“Ayo turun!” Mbak Iren histeris,
melompat cepat dan berlari jauh dari Jeep.
Rey lebih dulu melompat turun,
sementara aku terdiam, jantungku rasanya berhenti berdetak beberapa detik. Begitu
pula dengan supir kami yang menjauhi Jepp-nya, kemudian .... Asap tebal dan
percikan api tampak jelas di depan mataku. Kakiku terasa lemah. Aku hanya
sanggup mematung dalam diam.
Tiba-tiba .... Sekelebat cahaya
hitam melintas, dan ....
Aku melihat asap yang mengepul dari
kap mobil Jeep lain. Penumpangnya berlompatan turun, menjauh dari Jeep itu. Tanpa
percikan api besar, hanya asap saja yang membumbung rendah dari kap-nya.
“Shin.” Aku merasakan keberadaannya
di sekitarku.
“Fasya.” Sayup-sayup kudengar
suaranya terbawa angin. “Aku telah menyediakan nyawaku hanya untuk menemanimu,
Fasya kecilku.”
Hembusan angin dingin menerpaku.
Kutemukan kelebatan bayangan hitam yang kemudian berubah keperakan di dekat
Jeep yang berasap tadi. Sehelai bulu berwarna hitam pekat terbawa angin dan
jatuh di pangkuanku.
“Shin? Apakah tadi itu ...,” kutarik
napasku dalam. “Kamu semalam memperingatiku karena akan ada kejadian seperti
ini? Shin ....”
“Fasya.”
Kupandang sekelilingku. Tak
kutemukan sosok Shin dimanapun. Apakah dia yang ....
“Tugasku sebagai malaikat berakhir
kini. Jaga dirimu baik-baik, Fasya kecilku.”
***
Benar saja, Berminggu-minggu Shin
tak datang menemuiku. Sejak aku kembali ke Jakarta, bahkan setiap kukirimkan
telepati padanya, sia-sia, tak ada jawaban.
“Shin!” kupanggil namanya ke langit,
berharap dia segera keluar dari markasnya di surga, jika memang roh malaikatnya
masih ada. Embun dimataku tak bisa kuhalau. Aku merindukannya.
Bukankah
dulu sewaktu aku masih kecil, dia sering mengajakku bermain petak umpet seperti
ini? Tiba-tiba menepuk pundakku dan memasang wajah jelek untuk mengejutkanku?
Kumoohon lakukan itu lagi padaku, Shin!
“Shin, kamu dimana?”
Sekelebat cahaya terang melintas di
hadapanku, cahaya putih kebiruan, Kurasa seorang guardian angel baru saja melintas.
“Shin?” aku berharap dia yang
datang.
Kumainkan sehelai bulu hitam di
tangan kananku, bulu yang mampir dipangkuanku setelah tragedi kecil di Kali
Kuning pagi itu.
“Kamu harus bertanggungjawab.
Pangkatku turun jadi guardian angel
lagi sekarang!” dia menepuk pundakku dengan kasar.
Aku tak bisa menahan diriku. Kupeluk
tubuh tingginya. “Aku pikir nyawamu habis, Shin.”
“Harusnya kemarin kubiarkan saja
kamu terluka, lalu akan kuantar rohmu ke surga.” Senyumnya merekah. “Kamu
sukses membuatku semakin lama terlahir kembali, Fasya kecilku!”
Shin, ini pertama kalinya aku
melihatmu tersenyum padaku lagi.
TAMAT
** ditulis
sebagai salah satu tugas dalam Pelatihan Menulis Tingkat Nasional (Just Write
2) dari Diva Press Group di Kalirang, Jogjakarta, Juni 2013
menghibur banget nih :)
BalasHapusterima kasih banyak Nad ^.^
HapusPangkatku turun jadi guardian angel... hihi..
BalasHapusHehehe ....
HapusMakasih banyak udah baca ya Dee Ann