Gerimis.
Lagi-lagi gerimis. Kisah ini diawali oleh gerimis yang turun ketika jam digital
di ponselku hampir menunjukkan pukul 6 pagi, waktu yang sudah ditetapkan oleh
dua orang rekan kerjaku untuk bertemu di pelataran kantor. Hari itu Sabtu, hari
dimana karyawan lainnya akan datang lebih siang dan pulang lebih awal. Namun
lengang saja yang kutemui, ketika tepat 06.00 berkedip damai di layar ponselku.
Hhh ... aku selalu takut terlambat, dan kali ini mereka yang terlambat.
Setelah
setengah jam menunggu, akhirnya mobil kantor yang kutumpangi melaju pelan
membelah jalan Cipete Raya menuju ke Kota Kembang. Ahhh, ada sensasi tersendiri
ketika aku hanya duduk manis, terdiam, dalam mobil yang dipenuhi canda dua
orang rekanku yang memang sudah senior, juga supir kantor kami yang mudah
berbaur dalam tawa. Sesekali aku turut menyenandungkan lagu-lagu yang diputar
di radio mobil. Hanya itu. Dengan pandangan yang tak pernah bosan menatap
keluar jendela, memperhatikan langit Jakarta yang selalu memberi nyawa baru
untuk bersaing dalam hidup, setiap paginya.
Dua
jam berlalu, dan aku menghirup lagi aroma pagi Kota Kembang. Pertengahan tahun
lalu, udaranya menggebukan dadaku pada sebuah kompetisi – seleksi PPAN Jawa
Barat ... dan udaranya pagi itu memasuki rongga dadaku sembari mengalunkan
semangat ‘Aku akan menemukan banyak hal baru yang tak pernah kutahu’. Sebagai
copywriter, pengalaman pertama ini terlalu berharga untuk kunodai dengan
keluhan akan rasa lelah.
Kami
terlambat. Pawai artis dari Tolak Angin Karnaval SCTV sudah meninggalkan
Lapangan Tegalega – tempat berlangsungnya acara, dan sudah berhenti di Masjid
Agung, tempat pemberhentian pertama. Sebab kami tak bisa mengejar mobil pawai,
kami memilih untuk menunggu di pemberhentian kedua, RS Mata Cicendo. Di sana,
rasa penasaranku menjadi-jadi. Penyerahan bantuan dari Pundi Amal SCTV untuk
operasi katarak yang bekerjasama dengan Tolak Angin berlangsung tertib. Wajah
trio ubur-ubur yang terkenal lewat sinetron Emak Ijah Ke Mekah pun penuh tulus.
Kemudian ... jepret! Aku mendapatkan gambar pertamaku di Bandung, dan segera
kukirim pada rekanku yang tak bisa ikut dalam petualangan ini, untuk segera di
upload di twitter @Tolak_Angin. How cool my job?
Dan
aku mendapatkan gambar-gambar lainnya di Lapangan Tegalega. Sabtu, 15 Februari
2014, aku memotret keadaan sekitarku dengan kemampuanku yang standar bukan lagi
untuk kesenanganku saja, namun untuk dilihat banyak mata di dunia maya.
Di
sana pun, aku bisa ikut mengirimkan semangat kepada dua orang teman satu timku,
Mas Dosi dan Mas Endar yang sudah bertugas sejak jumat kemarin untuk membangun
dan menjaga booth photo contest. Antusias mereka menunggu pengunjung dan
mensyukuri kedatangan pengunjung yang ramai ikut berfoto gratis menjadi penghilang
rasa lelah sebab waktu tidur normal mereka yang jelas-jelas tersita.
Bahkan,
dengan bantuan Ayah Mayoko Aiko dan timnya dari Larissa juga crew SCTV, aku
bisa menjejakkan kakiku di belakang panggung konser Tolak Angin Karnaval SCTV
dan bebas mengarahkan kamera ponselku kemana-mana, sebelum berdiri tenang untuk
mengirimkan gambar tadi ke rekanku yang selalu menunggu update dariku di
Jakarta sana.
Malam
pun semakin larut, dan rasa lelah yang biasanya memeluk aku, kini terangkat oleh
rasa syukur akan hari penuh pelajaran yang belum pernah aku miliki sebelumnya.
Semangatku masih membara ketika alarm ponselku berdering pelan, padahal baru
dua jam mataku terpejam.
Menembus
kelengangan pagi Kota Bandung, mengirimkan rasa dingin yang membuatku
merindukan rumah orangtuaku di Bogor sana. Bahkan dinginnya air Bandung,
menyeipkan rasa rindu yang amat akan rumah. Namun petualanganku belum berakhir.
Hari yang masih harus kulalui menungg semangat membara dan tenaga ekstra.
Ramai.
Dimana-mana hanya kerumunan saja yang kutemui. Lautan kuning solid dari para
peserta jalan sehat, dengan kaos berlogo Tolak Angin. Hmm, aku bangga menjadi
bagian dari peruahaan besar ini, Sido Muncul.
Dan
lagi-lagi, gerimis yang menemani aku mengakhiri petualangan singkatku di Kota
Kembang. Sore yang menjelang malam, matahari bersembunyi di balik mendung, dan
mobil kantorku menembus jalanan Kota Bandung yang berkelok-kelok dan
membingungkan kami, menuju Jakarta. Semoga aku bisa menjajal kota selanjutnya,
menemukan warna berbeda.
Terima
kasih atas kepercayaan kalian semua padaku. Terima kasih pada kalian yang
menemani aku menemukan setiap jejak impian yang sedari kecil hanya bergelayut
di angan, membantuku menggenggam yang sebelumnya tak pernah terbayang mampu
kugenggam. Terima kasih pula untuk Tuhan, dan gerimis yang selalu membuatku
jatuh cinta.
Komentar
Posting Komentar