Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Report yang Terlambat



                Kata orang, untuk menjadi hebat nggak pernah ada kata ‘terlambat’. Kebanyakan orang beranggapan, untuk menjadi seseorang yang berharga pun nggak pernah ‘terlambat’. Kemudian ... ‘terlambat’ itu kini menjadi sesuatu yang biasa saja,dan pastinya nggak membuat seseorang – siapapun itu namanya yang menjadi pelaku dari ‘terlambat’ – nggak akan lagi menemukan sisi bersalah dalam dirinya, melainkan ... terlambat ya biasa saja. Tetapi aku .... Aku takut, bila aku ‘terlambat’.




                Tanggal 23 Maret aku mampir ke lingkungan Taman Ismail Marzuki, menengok acara ASEAN Litetary, walau hanya sebentar. Melihat dari jauh para pembicara yang semuanya bisa disebut sebagai penulis senior. Merasakan aura dunia di sana. Tersadar, bahwa di dunia yang seluas ini, Tuhan telah menyelipkan secuil pengalaman hidup berbeda pada setiap anak manusia. Ada yang sanggup membaginya dalam sebuah karya – apapun itu bentuknya – dan ada juga yang hanya bisa dinikmati oleh batinnya seorang.
                Lalu, seorang penulis adalah sebuah perpustakaan besar yang menyimpan berbagai judul buku kehidupan di dalamnya. Seorang penulis adalah pencari, pengumpul, dan penyampai pengalaman yang kurasa sudah ditunjukan Tuhan melalui kerja keras yang si penulis lakukan. Termasuk para pekerja seni, dalam berbagai bidang tentunya. Sebuah bagian kecil dalam dirinya yang luar biasa peka, dititipkan Tuhan agar dia membaginya dengan jiwa-jiwa yang lain.
                Kini, apa aku sudah terlambat menjadi peka sebagai penulis? Terlambat untuk bekerja keras hingga bisa menjadi seseorang yang mampu berbagi banyak warna kehidupan kepada jiwa-jiwa lainnya? Sama seperti postingan ini yang juga kubuat begitu terlambat?
                Aku hanya benci, jika aku berhenti memperjuangkan diriku, impianku.
               

Komentar