Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Tuhan Ada Dalam Tiap Perjalanan #Touring2Garut Bag. 1




                
Touring. Sebelumnya mana pernah aku masukan kegiatan touring ke dalam daftar pengalaman yang ingin kurasakan sepanjang hidupku. Namun, di pengalaman pertamaku, aku menemukan rasa yang dalam ... sangat dalam ... tentang betapa mungil dan kerdilnya aku di dunia milik Tuhan ini.
               

Berangkat dari halaman kantorku di daerah Jakarta Selatan, duduk manis pada boncengan sebuah motor bebek. Kala itu, senja mulai menyelimuti langit, juga rerintikan hujan, merasukan sebuah kalimat pendek di kepalaku.
                
“Apa aku sanggup duduk berjam-jam di motor, menahan kantuk, dan menikmati perjalanan yang akan sangat panjang?”
                
Berkali-kali. Dalam perjalanan menembus dinginnya angin malam dan gerimis hujan itu, hanya maut saja yang kupikirkan. Tuhan bisa mengambil kehidupan makhluk ciptaan-Nya sesuka hati. Tuhan sanggup memberikan rasa sedih dan atau bahagia dalam satu waktu bersamaan. Tuhan lebih punya kuasa daripada manusia.
                
Dan ... sebuah lubang yang tertutupi genangan air akibat hujan tengah malam itu, menghentikan laju motor yang kutumpangi, membuatku terjatuh, terseret. Saat itu, aku berpasrah. Terserah Tuhan mau bagaimana dengan aku.
                
Seketika aku sanggup bangkit tanpa rasa takut. Aku menikmati perjalananku tanpa rasa lelah, sakit akibat lecet di lengan dan kakiku pun hilang. Memperhatikan betapa bentangan alam ciptaan Tuhan yang lengang di malam hari, memberikan ketenangan. Suara jangkrik yang samar terdengar, cahaya lampu dari rumah-rumah yang redup, bahkan orang-orang yang masih tetap terjaga di dini hari demi sesuap nasi – para penjaga warung makan sederhana yang kami singgahi – tak pernah kehilangan semangat. Lalu mengapa aku takut, jika Tuhan sedang menunjukan padaku, duna ciptaan-Nya?
                
Kulitku yang terbngkus sweater dan jas hujan, masih mampu membedakan rasa dinginnya udara. Menjelang pukul tiga pagi, kutemukan rasa dingin yang berbeda. Dingin yang menyegarkan. Bukan dingin seperti yang beberapa jam lalu memancing rasa kantukku, sehingga memaksa aku untuk terus bernyanyi demi mengusirnya. Dingin yang khusuk, seolah Tuhan sedang begitu dekat memperhatikan kami dari tahta-Nya.
                
Hingga di subuh hari, kami tiba di tujuan. Kota Garut.

Komentar