|
from : google.com |
Beberapa
malam ini, aku terus memikirkan ucapan anak itu. Ijinkan aku menyebutnya ‘Anak
Itu’, sebab sebenarnya aku terjebak antara perasaan kesal tapi sekaligus
kasihan padanya. Mau aku sebut dia bodoh, tapi ... mana tahu, dia nggak pernah
membaca buku The Secret sampai-sampai enteng sekali mengucapkan banyak kalimat
yang membuatku sebal.
Bukan.
Si Anak Itu nggak menyerang aku. Tapi, ucapannya – candaannya – di keadaan yang
sedang begitu, mana pantas?
Hari
itu, diadakaan kegiatan santai di kantor. Sekedar berolahraga dan lomba-lomba
ringan yang memang nggak akan mengundang bahaya termasuk cidera. Tetapi,
seorang Bapak hampir paruh baya, Bapak yang bisa kurasakan seberapa banyak
kebaikan hatinya tiap kali dia menyapaku di kantor, terjatuh hingga terjadi
cedera yang bisa kubaca dari ringisannya, cukup parah, dan harus dibawa ke
tukang urut bahkan Rumah Sakit.
Selepas
si Bapak dibawa untuk beristirahat, kegiatan santai itu kembali dilanjutkan.
Namun, beberapa menit kemudian, kuputuskan meminta bantuan Anak Itu dan
temannya untuk mengambil hadiah yang sudah kusiapkan di ruang kerjaku. Di
sela-sela mengangkut beberapa kantong hadiah, si Anak Itu bercanda dengan
temannya, meniru-niru gaya kesakitan si Bapak. Di belakangku. Tepat saat sedang
mengekori langkahku. Miris, suara keduanya asik sekali bercanda. Terutama
kata-kata Anak Itu.
“Nanti
dia sakit lama terus nggak bisa kerja, lama-lama berhenti dan kantor butuh
karyawan baru. Nah, nanti gue tuh yang masuk, terus gantiin dia. Enak kan?!”
Satu
hal yang kucatat baik-baik. Sunggh karma itu berlaku. Jika seseorang
mendapatkan posisi yang diinginkannya dengan doa-doa yang tak baik, maka akan
ada waktunya pula seseorang tadi disingkirkan dari posisinya dengan cara yang
buruk.
Apa
yang kukatakan hai ini, akan menentukan jalan hidupku, serupa yang
kusebut-sebut setiap hari di usiaku yang kesekian kini. Aku percaya, kata-kata
adalah doa. Maka semoga aku bisa terus berhati-hati berucap.
Komentar
Posting Komentar