Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Ke Bandung Cuma Sama Ransel Bagian 3



                Aku, memang anak perempuan yang dibesarkan dan dibentuk oleh lingkungan sebagai anak gadis yang menyukai kesunyian. Aku ceria bersama suara-suara alam yang damai. Aku terpukau oleh segala hal yang sering dianggap biasa saja oleh kebanyakan orang. Namun bagiku, aku dianugerahi  taste sendiri tentang dunia ciptaan Tuhan ini.
                Pagi hari di tanggal terakir bulan Juli, aku dan Natha keluar dari penginapan, Zzz Express Backpacker, menuju ke tepian jalan Pasir Kaliki yang dilalui angkot Bandung berbagai warna. Berbekal sedikit arahan dari resepsionis penginapan, kami berniat menuju ke Dago Pakar, Taman Hutan Raya Dr. Ir. Juanda.


                Bagiku, inilah bagian yang paling menyenangkan di petualangan kami. Aku yang memang tergila-gila pada daerah pengunungan yang hijau, menjadi yang paling menikmatinya. Dari Simpang Dago, kami beralih ke angkot jurusan Dago Pakar, dan turun di pemberhentian terakhir. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang ojeg menuju ke pintu III Tahura.
                Sejak di pintu depan, mataku sudah berkeliling memandangi pohon-pohon tinggi di depanku. Udara segar. Hijau. Kicauan burung. Apalagi yang bisa kutolak?






                
Tujuan kami ke Tahura, hanya ke Curug Omas Maribaya. Pastinya sambil tracking, dan menikmati perjalanan sejauh 5 km untuk sampai ke sana dari pintu depan. Aku dan Natha menolak tawaran beberapa tukang ojeg yang bertemu kami dalam perjalanan. Hmm, kalau naik ojeg kan, jadi nggak bisa menikmati keindahannya dengan sepenuh hati. Itu alasan kami.
                
Di Tahura ini, banyak wahana yang bisa ditemui. Mulai dari Goa Jepang yang berada dekat sekali dengan pintu III, Goa Belanda yang juga bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memotong jalan menuju ke Curug Omas Maribaya, bahkan Museum. Tapi aku dan Natha memilih untuk menikmati Goa Belanda dan Curug Maribaya saja. Terutama, perjalanan menuju ke sana. Suara burung, kabut yang masih turun, pohon-pohon dataran tinggi semacam pinus dan paku-pakuan, beberapa monyet yang asik bergelantungan, bahkan kupu-kupu yang terbang sesukanya.
                
Berdekatan dengan alam dan pemandangan seperti ini, aku merasa dekat dengan Tuhan. Dekat dengan maut. Dekat dengan keindahan. Terutama, suara-suara alam ini membuatku tenggelam. Sungguh, aku begitu kecil dihadapan Tuhan. Namun aku bersyukur, di dalam lembaran sejarah hidupku, aku pernah menjejakan kakiku di sana.

Komentar