Aku,
memang anak perempuan yang dibesarkan dan dibentuk oleh lingkungan sebagai anak
gadis yang menyukai kesunyian. Aku ceria bersama suara-suara alam yang damai.
Aku terpukau oleh segala hal yang sering dianggap biasa saja oleh kebanyakan
orang. Namun bagiku, aku dianugerahi taste sendiri tentang dunia ciptaan
Tuhan ini.
Pagi
hari di tanggal terakir bulan Juli, aku dan Natha keluar dari penginapan, Zzz
Express Backpacker, menuju ke tepian jalan Pasir Kaliki yang dilalui angkot
Bandung berbagai warna. Berbekal sedikit arahan dari resepsionis penginapan,
kami berniat menuju ke Dago Pakar, Taman Hutan Raya Dr. Ir. Juanda.
Bagiku,
inilah bagian yang paling menyenangkan di petualangan kami. Aku yang memang
tergila-gila pada daerah pengunungan yang hijau, menjadi yang paling
menikmatinya. Dari Simpang Dago, kami beralih ke angkot jurusan Dago Pakar, dan
turun di pemberhentian terakhir. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan
menumpang ojeg menuju ke pintu III Tahura.
Sejak
di pintu depan, mataku sudah berkeliling memandangi pohon-pohon tinggi di
depanku. Udara segar. Hijau. Kicauan burung. Apalagi yang bisa kutolak?
Tujuan
kami ke Tahura, hanya ke Curug Omas Maribaya. Pastinya sambil tracking, dan
menikmati perjalanan sejauh 5 km untuk sampai ke sana dari pintu depan. Aku dan
Natha menolak tawaran beberapa tukang ojeg yang bertemu kami dalam perjalanan.
Hmm, kalau naik ojeg kan, jadi nggak bisa menikmati keindahannya dengan sepenuh
hati. Itu alasan kami.
Di
Tahura ini, banyak wahana yang bisa ditemui. Mulai dari Goa Jepang yang berada
dekat sekali dengan pintu III, Goa Belanda yang juga bisa dijadikan sebagai
salah satu cara untuk memotong jalan menuju ke Curug Omas Maribaya, bahkan
Museum. Tapi aku dan Natha memilih untuk menikmati Goa Belanda dan Curug
Maribaya saja. Terutama, perjalanan menuju ke sana. Suara burung, kabut yang
masih turun, pohon-pohon dataran tinggi semacam pinus dan paku-pakuan, beberapa
monyet yang asik bergelantungan, bahkan kupu-kupu yang terbang sesukanya.
Berdekatan
dengan alam dan pemandangan seperti ini, aku merasa dekat dengan Tuhan. Dekat
dengan maut. Dekat dengan keindahan. Terutama, suara-suara alam ini membuatku
tenggelam. Sungguh, aku begitu kecil dihadapan Tuhan. Namun aku bersyukur, di
dalam lembaran sejarah hidupku, aku pernah menjejakan kakiku di sana.
Komentar
Posting Komentar