Angin.
Si bocah yang jarang bersuara ini, mengajarkan saya bahwa jiwa kerdil saja yang
dipenuh ambisi dan berucap dialah yang terhebat, smentara jiwa besar, tak perlu
banyak beriak untuk menunjukan bijaknya. Cukup diam, dan bertindak anggun
sajalah. Sabar dan tenang. Begitulah keindahan yang dimiliki oleh sang jiwa
besar.
Darah.
Gadis ini juga sama pendiamnya. Walaupun nampaknya lemah dan belum punya cukup
banyak kemampuan, dia hanya sedang menuruti ucapan sang Guru, Cempaka.
Mensunyikan jiwa. Tahulah kemudian bahwa dalam diam, ada banyak dan lebih
banyak lagi pelajaran.
Elang.
Ah, betapa luar biasa jika bertemu lelaki yang teguh kukuh pada pendirian.
Memegang sumpah yang seumur hidup siap dia terima. Bahwa sikap jantan pun dapat
dimunculkan dengan kelemah-lembutan.
Ambisi
Biru dan Gerhana untuk merebut tongkat emas, memang begitu kuat. Kemudian
cerita bergulir dalam benang merah dari dendam. Kemunculan berbagai
bintang-bintang tanah Tanah Air seperti Eva Celia dan Nicholas Saputra,
memanjakan pecinta film Indonesia. Epik. Boleh saya katakan demikian?
Koreografi yang mantap. Cerita yang punya makna. Lebih lagi, setting alam Sumba
yang ... demi Tuhan, ini luar biasa.
Walaupun
ending dari Pendekat Tongkat Emas ini gantung, tapi kenapa enggak untuk
menonton film kolosal ini? Rasanya ... era film-film silat yang hebat akan
kembali. Tanpa naik naga atau elang. Tanpa sinar kekuatan yang muncul dari
tangan. Tanpa lagu-lagu dangdut yang berlebihan. Normal. Hebat.
Terima
kasih kepada Mira Lesmana, Riri Riza, dan Ifa Isfansyah atas film yang keren
ini. Saya benar-benar dibuat tercengang, gregetan, sampai ingin menangis.
Komentar
Posting Komentar