Tiga
tahun. Empat malam pergantian tahun sudah.
Memasuki
daerah antah berantah di Jawa Barat yang tidak kutahu namanya -- sepertinya
sudah keluar dari wilayah Cikampek --, dentuman suara kembang api yang pecah di
langit terdengar. Masih pukul sebelas malam. Tahun jelas belum berganti, dan
belum ada ucapan selamat tahun baru yang bertubi-tubi masuk ke Whatsapp dan
BBM-ku. Sepi. Sesepi bus yang kutumpangi. Sekelebat bayangan tampak ketika aku
berusaha keras memejamkan mata. Si kawan lama, si misterius yang suka sekali
membaca. Fin, namanya.
Sesiangan
tadi, aku ditemani Papa membeli tiket bus Sinar Jaya yang kini membawaku ke
Wonosobo. Obrolan panjang sedari menunggu kedatangan Icha, si Angel Natha,
menyadarkan aku kini aku bukan lagi gadis muda, hampir. Sebagai lelaki paruh
baya yang begitu mengasihi putrinya, Papa berkali-kali mendoakan aku segera
menemukan kawan hidup. Ah, usia 25 saja belum Pa, begitu batinku. Ditambah
dengan wejangan bernuansa diskusi, sembari duduk memandangi lalu lalang
pengunjung ITC Depok dan gerimis yang mampir, sengaja ... membuang waktu hingga
Icha tiba.
Obrolan
itu pula yang mengingatkan aku pada Fin, kawan lamaku semasa kuliah ini,
setelah bertahun-tahun kami tak lagi saling bertemu, tepat di malam pergantian
tahun. Bukan karena pernah jatuh hati, tetapi lebih kepada mengagumi. Betapa
senangnya dia membaca buku, diamnya, juga pemikirannya yang sering mengejutkan.
Hmm, mungkin aku terlalu berlebihan soal ini.
Semua
komunikasi yang seolah sudah jadi asing. Ya, memang aku nggak ambil pusing.
Tetapi, apa salahnya kalau teringat? Mungkin rindu? Hhh ... kenapa juga aku
harus rindu? Sayangnya, malam itu gatal sekali tanganku untuk mengiriminya BBM,
tetapi ... urung lagi sebab waktu rasanya terlalu malam untuk bertegur sapa
bukan?
Tepat
saat 2015 tiba, di detik pertama, kupandangi google maps yang menunjukan bahwa
aku berada di Rest Area Klonengan. Helaan napasku bersusulan dengan Whatsapp
dan BBM ucapan selamat tahun baru yang masuk bertubi-tubi. Kupandangi layar
ponselku dalam gelap. Termenung hampir lama sekali. Hhh ... malam itu aku
sangat ingin menyapanya, tetapi aku kalah oleh rasa gentarku lebih dulu.
Lagi
dan lagi, pada setiap petualanganku, aku teringat dia. Si lelaki yang bertahun
lalu dari atas kereta Sembrani tujuan Surabaya berujar, ‘Ah, ternyata ke
Cirebon juga bisa naik kereta. Selama ini gue cuma naik bus. Lain kali coba
ah!’
Hey
kawan, kenapa ya, setiap akan melakukan perjalanan seperti ini, di angkutan
umum, aku teringat kamu? Sudahkah kamu sampai ke impianmu? Sudahkah kamu merasa
sukses? Aku ... gagal jadi diplomat dan belum punya keinginan untuk mencoba
lagi.
Bagus kak, bagus tulisannya :)
BalasHapusTerima kasih banyak Fikri :)
Hapus