ASEAN
Literary Festival 2015 di Taman Ismail Marzuki
21 Maret 2015
|
Dokumen Pribadi |
Membaca.
Menulis. Menemukan dunia dari deretan alfabet yang menyusun kata, kalimat, lalu
memberi makna. Mendapati bahwa budaya berpengaruh, dipengaruhi, dan
mempengaruhi dunia kepenulisan. Memberikan kesadaran bagi saya khususnya, bahwa
literasi sebenarnya bersinggungan begitu dekat dengan kehidupan kita.
Berbeda
jaman, berbeda pula pola dan sudut pandang yang dihasilkan dalam dunia
kepenulisan. Pada ASEAN Literary Festival kemarin, saya hanya menghadiri dua
diskusi, yaitu : Literature and Media, dan Digital Generation Tells Their
Stories. Betapa senangnya saya
mendapatkan dua sudut pandang yang sangat berbeda antara generasi tua dan muda,
dalam 4 jam saja.
Literature
and Media dengan Bre Redana (Indonesia), Zhang Ling (China), dan Idriss
Bouskine (Algeria) sebagai narasumbernya, membuka pikiran saya bahwa sebuah
karya tulisan yang dibuat dengan riset yang mendalam dan waktu yang lama, akan
menghasilkan karya yang bagus. Sebab media – dalam hal ini ‘news’ – adalah
bagian kecil dari literatur, dan media lebih dekat dengan masyarakat masa kini.
Ketiga narasumber lebih setuju dengan penulisan yang slow, teliti, tajam dan
penuh fakta.
Saya
mencatat pesan dari Mr. Zhang Ling, bahwa literatur dapat mengubah sebuah
budaya, seperti yang terjadi kini di China. Sementara Mr. Idriss Bouskine yang
menitikberatkan bahwa di negara sub-Sahara, mengungkapkan aspirasi masihlah
cukup sulit, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dari seorang penulis muda untuk
mengungkapkan aspirasinya melalui literatur – terutama untuk menanggapi masalah
politik di Algeria. Alasannya, karena penulis muda masih punya masa depan yang
panjang, dan betapa kerasnya keadaan di sana.
Aha,
itulah sebabnya kehati-hatian dalam menyajikan sebuah tulisan dibutuhkan,
bukan? Generasi yang sudah senior biasanya lebih bijak dan paham bagaimana
menyajikan sebuah informasi di media. Namun ... bagaimana dengan kecepatan
informasi yang dibutuhkan saat ini? Masyarakat terutama yang masih berusia
muda, sangat dekat dengan dunia digital, dan mereka begitu cepatnya menyerap
berbagai informasi yang datang bertubi-tubi.
Saya
pun menghadiri diskusi kedua yang terasa lebih fun dan nggak membuat kening
berkerut, Digital Generation Tells Their Stories. Adimas Immanuel, Bernard
Batubara, Rio Johan, ketiganya begitu familiar bagi saya. Pahamlah saya,
bagaimana sudut pandang mereka terhadap media.
Gempuran informasi
dari dunia digital memunculkan ide-ide untuk menghasilkan sebuah karya, seperti
Rio Johan yang banyak terinspirasi dari game, atau Bernard Batubara yang
memanfaatkan social media sebagai tempat mempromosikan karyanya. Kecepatan
media memberi banyak manfaat positif.
Kemudian,
saya terpikir, generasi digital yang dimanjakan dengan kemudahan mengakses
media, apakah akan lebih mudah pula membentuk sebuah budaya baru? Hmm ... bisa
jadi. Namun terkadang, kecepatan yang disajikan oleh media digital – social
media – saat ini, terkadang kurang mendalam. Terlalu cepat menyimpulkan. Itulah
mengapa saya pun setuju dengan penyataan Mr. Bre Redana tentang kemampuan
mengedit, mempertajam, dan memperdalam suatu informasi dari media, sangat
dibutuhkan oleh seseorang yang memiliki passion di bidang literasi.
Sebagai
bagian dari generasi digital, kita, terutama saya, dituntut untuk mampu menahan
diri dalam berpolah di media. Kecepatan informasi yang memanjakan generasi
digital saat ini, perlu diimbangi dengan kemampuan menahan diri, hingga
menemukan informasi yang tepat, mengolahnya dengan baik, sampai menghasilkan
karya yang pas. Dengan demikian, generasi muda yang dipengaruhi budaya literasi
yang ‘tersaring,’ akan memberikan pengaruh pada budaya yang lebaih baik pula.
Komentar
Posting Komentar