Ini
kali kedua. Pertama kalinya mencari penginapan dadakan waktu ke Cibodas dengan
Om Ayip, my real uncle. Lagi-lagi yang membantu kami menemukan penginapan ini
adalah supir angkot. Sudah dua kali, tetap saja supir angkot yang bantuin.
Mungkin keberuntungan saya selalu ada di supir angkot. Tapi ... untuk keamanan,
kalau saya mendapatkan penginapan tanpa rekomendasi yang sudah saya baca atau
dari orang terpercaya, saya tak berani meninggalkan barang bawaan di penginapan.
Lebih baik dibawa jalan-jalan biar bisa sekalian pulang.
Sehabis
menikmati cantik nan magisnya Kawah Putih, merenungi hamparan pemandangan yang
sendu dan aroma belerang yang dihirup penciuman saya secara intens, kami
memutuskan untuk turun dan mencari penginapan. Kabut semakin berat kala itu.
Turun, dan membawa hawa dingin yang lembab. Rintik hujan memaksa kami segera
menaiki angkot yang kebetulan juga ingin keluar dari wilayah Kawah Putih.
Sebut
saja si supirnya dengan nama Mamang. Tadinya ia juga sedang menunggu
penumpangnya yang masih berada di atas sana, kawasan Kawah Putih, akunya. Ia
berjanji untuk mengantarkan kami mencari penginapan. Sempat kami berdiskusi
mengenai kejujuran si Mamang, karena hari yang sudah malam dan hujan begini, ia
menjanjikan kami untuk menginap di penginapan yang dekat dengan kebun
strawberry. Imajinasi saya memunculkan visualisasi tempat yang terpencil
jadinya. Gelap. Lembab. Oh demi Allah, saya gemetar juga. Bang Jadoel dan Kak
Lingga pun berdiskusi, apakah kami terima atau tidak. Tubuh yang mulai lelah
dan malam yang sudah turun, membuat saya ikut angkat bicara, agar melihat dulu
tempat yang Mamang tawarkan.
Berada
di Desa Cimanggu. Gang kecilnya bersebelahan dengan masjid yang sepanjang malam
menyiarkan berita, seseorang yang mengunjungi Pemandian Air Panas 24 jam di
Desa Cimanggu ini, kehilangan kunci mobilnya. Berjalan memasuki gang gelap
itupun, saya membaui aroma lembab yang kuat. Sebuah rumah dengan dinding bedeg
di sisi kanan gang, memancing ingatan saya pada aroma bambu lembab, aroma yang
pernah saya baui sewaktu kecil dulu. Aroma desa.
Kamar
kami terletak di lantai atas. Nuansa kamar dipenuhi warna merah jambu segar.
Tiga buah bangku kayu, karpet lantai yang terlihat hangat, televisi, dispenser,
juga sajadah serta sarung dan mukena menyambut kedatangan saya di kamar itu.
Aroma lembab kembali tercium. Saya rasa, bangunan ini sudah lama berdiri, makanya
terasa dingin. Kamar mandinya menyediakan fasilitas air hangat, walaupun tak terlalu
hangat. Ada sebuah wastafel kecil, rak peralatan makan, serta ketel dan kompor
gas, tepat berseberangan dengan kamar mandi.
Kasurnya
dua tingkat. Sayang kasur di bagian bawah jebol, lembab pula, sehingga tak bisa
ditiduri. Kasur di atasnya pun terasa dingin. Akhirnya Bang Jadoel yang tidur
di kasur, sementara saya, Teni, dan Kak Lingga yang rebah di atas karpet hingga
pagi.
Menemukan
penginapan seperti ini, lumayan juga, dibanding harus menginap di penginapan
yang lebih dekat dengan Terminal Ciwidey. Ternyata lumayan jauh juga kalau
harus pulang pergi naik angkot ke sana kalau dari tempat wisata. Tak terbayang
kalau sedang macet saat week end. Malam itu, kami menyewa dengan harga 400
ribu. Sedikit mahal rasanya, tapi tak apa.
|
Silakan Kalau Mau Menginap Di Tempat yang Sama |
Di Desa
Cimanggu ini pun, banyak sekali rumah warga yang dijadikan penginapan. Bahkan
warung makan pun sampai ikut-ikutan. Tetapi, rasanya nggak masalah kalau
memilih menginap di rumah warga seperti ini. Lebih dekat saja dari tempat
wisata, jadi bisa lebih awal sampai dan mendapati suasana yang belum terlalu
ramai esok paginya.
|
Selamat Pagi, Gunung Patuha |
|
Matahari pagi Ngajakin Jalan-Jalan |
Menginap
di rumah warga seperti ini pun, rasanya bisa lebih melihat bagaimana cara warga
sekitar menjalani hari-hari mereka.
Segarnyaaaa ... jadi pengin kemping #lho
BalasHapusAyo kemping Teh :)
Hapus