Beberapa
hari lalu, saya menemukan foto Masjid Istiklal Indonesia di account Instagram
milik Mbak Claudia Kaunang, dan ... saya baru teringat kalau saya belum
menuliskan kisah kunjungan saya ke Masjid Istiqlal seusai Idul Fitri kemarin.
Sedikit cerita saja, kalau di tanah Sarajevo sana, juga ada masjid bernama
sama, Istiklal Indonesia. Semoga kapan kapan kita bisa mengunjunginya ya.
Baiklah,
kembali ke cerita saya mengunjungi Masjid istiqlal yang berada di Jl. Taman Wijaya
Kusuma, Jakarta Pusat, ini. Sebenarnya, untuk mengunjungi masjid yang
diarsiteki oleh Frederich Silaban ini sangatlah mudah. Jika memilih naik
kereta, bisa turun di Stasiun Juanda, lalu cukup jalan kaki saja. Begitupula
jika naik busway, bisa turun di Halte Masjid Istiqlal. Mudah sekali menjangkau
masjid yang letaknya berdekatan dengan Tugu Monas ini. Tetapi sore itu, saya,
Puput, dan juga Nurul memilih menumpang taksi demi bisa berlama-lama menikmati
sore di bawah kubah Istiqlal.
Memasuki
Masjid Istiqlal melalui pintu Al-Fattah yang ramai oleh pengunjung plus para
ibu-ibu yang menjajakan plastik hitam dengan harga seikhlasnya, membuat saya
menghela napas. Nggak masalah
sebenarnya, hanya saja, bisakah disediakan tempaat khusus untuk menjajakan
dagangan mereka sehingga nggak mengekori pengunjung seolah memaksa? Oke, kesan
pertama saat tiba saya abaikan. Memasuki masjid terbesar se-Asia Tenggara
dengan nama mahsyurnya yang sampai-sampai menjadi salah satu tempat tujuan
turis muslim jika mengunjungi Jakarta ini, saya pun disambut lobi yang secara
nggak langsung mengarahkan pengunjung ke tempat penitipan sepatu. Dari sinilah saya mulai merasa miris.
Menitipkan sepatu saja dimintai sedekah seikhlasnya. Kenapa nggak diberlakukan tarif penitipan sepatu saja? Lebih
menyenangkan, kan? Jangan sampai, saat menitipkan sepatu harus bayar, dan mau
mengambilnya lagi pun begitu juga.
Kemudian
saat memasuki tempat wudhu wanita. Saya makin dibuat sedih karena lantainya
yang licin, seolah nggak sempat disikat oleh petugasnya akibat pengunjung yang
membludak. Sedih rasanya, menemukan tempat ibadah yang berhasil menjadi icon
kota Jakarta seperti begitu. Ditambah, petugasnya yang meminta sedekah lagi
saat kami selesai berwudhu. Seketika saya terpikir, memangnya para petugas yang
bekerja di masjid ini nggak diberi gaji? Atau karena gaji mereka terlalu kecil
makanya sampai terpaksa berlaku seperti itu? Sayang sekali, tindakan-tindakan
begitu yang membuat saya – atau bisa jadi pengunjung lain – merasa nggak nyaman
dan nggak berniat datang kembali.
Saya
dan kedua sahabat saya memutuskan untuk bersantai di ruang utama, menikmati
cantiknya kubah masjid yang keperakan, mimbarnya yang sederhana, juga ornamen
jam besarnya yang klasik. Bersyukur di bagian tengah masjid, keadaannya selalu
bersih, terawat, dan nyaman.
|
Mimbar Masjid Istiqlal
|
|
Jam Klasik di Sudut Bagian Tengah Masjid |
Sembari
menunggu waktu magrib, kami memutuskan untuk berkeliling. Menikmati matahari
senja yang masuk melalui kisi-kisi dinding di lantai dua, tepat di belakang
mimbar yang jarang dikunjungi pengunjung, seolah membawa saya ke tempat lain. Warna
oranye matahari Jakarta terpantul di dinding dan memunculkan suasana lorong
yang bermandikan cahaya senja.
|
Puput dan Nurul di Tengah Lorong Lantai Dua
|
|
Kubah Masjid Istiqlal |
Kemudian
kami bermain sebentar di halaman dalam masjid. Dari sini, kami bisa menikmati
langit Jakarta yang mulai memerah di bawah puncak Monas. Sorot matahari yang
mulai melembut, bersaing dengan lampu-lampu redup yang mulai dinyalakan oleh
petugas masjid.
|
Monas dari Halaman Dalam Masjid Istiqlal |
|
Lampu-Lampu Mulai Dinyalakan |
Suasana
shalat magrib yang khusuk, membuat saya, Puput, juga Nurul, rasanya masih ingin
berlama-lama. Sayangnya, kami punya destinasi lain yang ingin kami kunjungi
malam itu. Maka ... kami memuaskan mata kami dengan berjalan santai di taman
depan Masjid Istiqlal, menikmati kemegahannya dari luar.
|
Bermain Buluh Terbang di Taman Masjid Istiqlal
|
|
Masjid Istiqlal Saat Malam |
Seketika
sebuah perasaan sedih mampir. Mungkin benar kata orang-orang, kalau sesuatu
yang megah nggak selalu menyenangkan atau mendamaikan di dalamnya. Tetapi
segala sesuatu yang megah, selalu indah jika dilihat dari luar, dengan memberi
jarak cukup, sehingga mata yang menatap si objek, menjadi terpukau.
Ah jadi kangen main kesini. Megah emang ini bangunan. Kalau lagi senja kayanya lebih keren ya...
BalasHapusIya Iank. Andaikan ke Istiqlal sendirian, enak kali ya ngelamun ngelamun cantik di halaman dalamnya sambil liatin langit.
HapusMegah bgt ya cha
BalasHapusCuma sayang byk pengemisnya bukan?
Iya megah banget. Hmm kalo yang jualan plastik dan sewain mukena masuk di daftar pengemis ga ya? Sedih aja aku Mba, tempat ibadah semegah ini banyak pengemisnya.
Hapusmudah-mudahan nanti aku bisa jalan-jalan ke sini juga. :)
BalasHapusAamiin. Semoga cepat kesampean yaaaa.
Hapus