Saya bersyukur punya banyak kesempatan untuk menjalani
berbagai perjalanan yang membawa saya pada berbagai pengalaman untuk
melapangkan hati saya, membentuk saya menjadi diri saya yang saat ini. Banyak
cerita dari perjalanan itu yang meninggalkan kesan mendalam, lebih banyak pula
yang nggak bisa saya lupakan. Seperti perjalanan yang saya lakukan di bulan
Agustus kemarin.
Pagi itu, pesawat yang saya tumpangi, mendarat di landasan Bandar Udara
International Lombok, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Tahun ini, inilah kedua kalinya saya menikmati sebentar saja, sinaran matahari
pagi di Lombok. Diam diam, semua kenangan masa kecil saya mengambang dalam
danau hati saya. Seorang gadis kecil berambut pirang yang hobi bertanya, gadis
mungil dengan kaki kurusnya yang senang berlari ke sana kemari, bahkan hidupnya
hanya diisi dengan bermain dan tersenyum malu, kini setelah sekian lama nggak
kembali, akhirnya datang lagi, berkunjung untuk sesuatu yang disebut pulang.
Setelah pesawat mendarat pagi itu, tujuan pertama saya,
adik-adik, Mama, Papa, juga para Om dan para Tante, bukanlah ke ruang tunggu
untuk melanjutkan penerbangan ke Bandar Udara Sultan Salahudin di Bima.BimaYa
Ya ... tujuan saya kali itu memang ke Bima, bukan pulang ke Mataram, ke rumah
sederhana di dekat Pantai Sansit tempat saya dibesarkan, melainkan ke rumah
tempat Mama saya tumbuh dewasa, di Sila, Rato, Bima.
Sebenarnya, bisa saja kami terbang lagi menuju Bima
menggunakan pesawat kecil, seperti yang beberapa bulan lalu saya dan Mama
tumpangi. Bukankah kami bisa tiba di rumah Nenek lebih cepat? Sayangnya, dalam
perjalanan kali ini, nggak bisa begitu.
Beberapa bulan lalu, kepulangan saya yang saat itu hanya
berdua saja dengan Mama, merupakan perjalanan yang paling menggembirakan.
Bertemu dengan Nenek dan Kakek, menikmati waktu waktu bermanja yang sudah
begitu lama nggak saya rasakan, membuat hati saya berbunga-bunga setiap hari.
Menikmati tiap Subuh untuk mendengar suara Nenek mengaji, atau menemukan Kakek
yang membangunkan saya untuk shalat Subuh, setelah semalaman tertidur di sofa
ruang tamu berdebu di bagian rumah panggung milik Kakek. Terbangun dan menemukan
Mama yang juga terlelap dengan mukena yang nggak dilepasnya semalaman, akibat
mengeloni saya dengan suara merdunya, mengaji hingga dini hari. Bagaimana
mungkin saya nggak merasa bersyukur dan gembira menjadi anak kesayangan?
Saya berjalan beriringan dengan Papa menuju pintu keluar.
Dua adik saya mengekor. Bisikan Papa setelah pesawat kami mendarat, adalah
ajakan untuk sarapan pagi. Ajakan yang kemudian membuat saya duduk dengan
tenang, menunggu Kwetiau pesanan saya tiba di meja makan. Bukankah, sarapan akan
membuat tubuh menjadi kuat? Makanya ... sarapan pagi itu merupakan asupan
makanan dalam porsi yang cukup besar untuk saya, agar saya tetap sehat,
menjalani perjalanan saya beberapa hari ke depan yang telah dimulai sejak
kemarin malam, di lapangan parkir RS PMI Bogor, tepatnya di depan ruang
pemandian jenazah.
Seusai sarapan, mobil ambulance milik RS Kota Bima yang
dikomandoin oleh Manda Fathur, Om saya yang seorang dokter, tiba. Peti jenazah
Kakek dimasukkan ke dalam, kemudian lampu sirinenya dinyalakan. Inilah alasan
saya untuk kembali lagi pulang ke Bima tahun ini. Dalam rentang bulan yang
berdekatan, namun untuk sebuah cerita yang berbeda. Semalaman saya nggak
menangis, bahkan juga Mama dan Papa. Tabu bagi saya untuk menangisi kepergian
Kakek berlarut-larut, setelah beliau ... di saat sakitnya beberapa hari sebelum
kepergiannya ... datang ke Bogor hanya untuk menemui saya, cucu yang menurut
semua keluarga besar saya adalah cucu kesayangannya. Kakek datang, sebab begitu
inginnya beliau menemui saya, bertemu partner saya, mendoakan kebahagiaan masa
depan saya, namun mungkin itulah keinginan terakhirnya, menemukan cucu kecilnya
tetap ceria dan berbahagia.
Sebuah minibus pun datang menjemput kami. Saya memilih duduk
sendiri tepat di belakang Mama. Saya berharap bisa menikmati pemandangan di
Pulau Lombok hingga ke Pelabuhan Kayangan. Ternyata, saya malah tertidur.
Dalam mimpi singkat, saya menemukan diri saya saat berusia
sekitar 11 tahun, duduk di bus sembari memandangi jendela -- hal yang paling
saya suka tiap kali naik kendaraan -- di samping Kakek. Beliau yang khawatir
cucunya merasa bosan, diberinya sebuah buku bacaan. Beliau begitu tau hal yang
paling mampu mengusir rasa bosan saya, termasuk membuat saya ceria. Tentu saja,
sebuah cerita.
|
Berangkat dari Pelabuhan Kayangan - Lombok |
Hanya sampai di situ. Saat minibus yang membawa keluarga
besar saya memasuki Pelabuhan Kayangan, saya terjaga. Mata saya segera
menangkap birunya air laut di Selat Alas, kapal kapal feri yang menepi, truk
truk besar, bus, penumpang, dan para penjual makanan. Saya menahan diri untuk
tetap berada di atas minibus, nggak iseng turun untuk memotret dengan rakus.
Saya nggak ingin terlalu sering mendapati mobil ambulance yang membawa Kakek,
seseorang kesayangan saya yang bagi saya sedang tertidur.
|
Menjauh dari Pulau Lombok |
Kalembo Ade. Kalembo Ade. Kata yang berarti, lapangkanlah
dadamu, bersabarlah. Saya ucapkan berkali kali di dalam hati. Kalembo Ade. Kata
yang sedari kecil sudah sering saya dengar, diucapkan oleh Kakek untuk saya.
Kalembo Ade. Apapun kehidupan yang saya jalani, Kakek mengajarkan pada saya
untuk bersabar, berdoa, shalat dan ikhlas. Kalembo Ade. Saya mengiangkan kata
ini sembari tersenyum simpul. Melirik Mama yang -- saya tau, pastilah Mama
sedang diam-diam berdoa dan mungkin mengucapkan kata yang sama di hatinya --
menikmati hembusan angin Selat Alas.
|
Feri Menuju Pelabuhan Kayangan dan Pelabuhan Pototano |
Saya nggak betah berdiam diri. Mengajak Gea Arsyl, adik
bungsu saya, untuk menjelajah ke atas
dek kapal dan menikmati pemandangan Pelabuhan Kayangan dari atas kapal, rasanya
bisa sedikit membuat saya merasa lebih baik. Sebab Kalembo Ade, bukan berarti
terlarut dalam kesedihan, melainkan ikhlas dan menjalani hidup dengan lebih
tangguh. Maka saya nggak menyia-nyiakan waktu untuk nggak mengajak adik saya
mengenali Selat Alas. Selat yang sewaktu kecil sering saya sebrangi bersama
Mama dan Papa untuk berkunjung ke rumah Nenek dan Kakek.
|
Pulau Kenawa |
Perjalanan yang nggak terlalu lama. Hanya memakan waktu
kurang lebih sekitar 1 jam, dengan kapal feri kecepatan sedang, menyajikan
banyak pemandangan khas Nusa Tenggara. Pulau Panjang. Pulau Kanawa, tempat Manda
Fathur pernah gowes ke sana untuk memungut sampah, ditunjuk satu per satu oleh
Manda. Binda Dewi -- istri Manda -- ikut memperhatikan ponakannya yang senang
jalan jalan ini, memasang tampang antusias.
|
Akan Segera Tiba |
Penampakan pulau pulau itu merupakan tanda, saya akan segera tiba di Pelabuhan
Pototano, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Hembusan angin yang makin kuat,
andai bisa, begitu ingin saya rekam dan tumpahkan ke danau ingatan saya. Suara
peluit kapal feri yang siap merapat ke dermaga, menjadi penutup perjalanan
saya, menikmati laut biru dan angin sejuknya Selat Alas.
|
Ujung Pulau Sumbawa |
Tiba di Pototano, sebelum kembali naik ke dalam minibus,
saya mencuri pandang pada mobil ambulance yang ditumpangi Kakek. "Kakek,
kalembo ade. Sebentar lagi kita sampai di rumah. Kita ketemu sama Nenek."
|
Pelabuhan Pototano |
Saat minibus mulai melaju perlahan keluar dari kapal, saya
kembali menatap diam lautan yang terhampar. Kapal nelayan tampak mungil,
mengapung di kejauhan. Ada pula kapal feri yang menyusul datang dari Kayangan.
Hamparan tanah berkapur dan suasana kering khas Pulau Sumbawa, menjadi pembuka
perjalanan baru saya menuju Sila, Rato, Bima. Bagaimana saya bisa melupakan
perjalanan ini? Perjalanan saya untuk mengantar Kakek pulang ke
peristirahatannya.
Waaah keren sekali tulisannya. Layak menang, nih Mbak Ira.
BalasHapusMenyajikan kehangatan keluarga sekaligus mengenalkan NTB kepada pembaca. Great, Cha. Semoha menang.
Oya, turut berduka atas berpulangnya Kakek. Indahnya bisa mengenang kepergiannya dengan indah, mengetahui beliau mendatangi cucu kesayangan di akhir masa hidupnya.
Terima kasih banyak Bunda Mugniar.
HapusKereeen, cha
BalasHapusJadi ga sabar jln bareng ke Baduy
Yuk Mba En. Kita halan halan ke Baduy. Sepertinya beneran bakalan seru jalan sama Mba En.
Hapuswuihh....keren amat pantainya. hamparan laut menyebar luas.....samudra biru.......
BalasHapuslombok memang terkenal akan wisata lautnya, bersih, nggk ada sampah, rasanya tuh, mata kita seger lagi, jadi jelas gitu.
Iya Attar. Bener. Kalo di tengah laut ga boleh buang sampah. Biar terjaga kebersihannya.
HapusBerapa budget yang harus dianggarkan kalau perjalanan dari Jakarta ya Mbak?
BalasHapusterima kasih
Hmm tergantung berapa hari mau nginapnya dan dengan moda transportasi apa Mas. Kalau dengan bus dan kapal 4 juta cukup untuk backpacker an. Kalo mau naik pesawat sekitar 6 jutaan mas.
Hapuslautnya canteeekk.. birunya yang khas gak tergantikan
BalasHapustapi agak trauma perjalanan laut pake kapal (bukan feri). perjalanan 3 jam, nahan mual, sesampainya di rumah jetlagnya lebih dari sehari :D
Iya. Warna lautnya biruuu banget. Masya Allah.
HapusWaduw, gawat banget kamu sampe jetlag begitu. Hihihi.
GILA
BalasHapusBAGUS
BANGET
Keren banget foto-fotonya. Ternyata Indonesia masih punya banyak tempat indah yg belum saya datangi. Kapan ya, bisa punya kesempatan datang ke sana. Masalahnya, di Indonesia, saya tidak punya teman untuk traveling, hiks...
Coba ikutan open trip aja kak kapan kapan.
HapusSemoga segera punya kesempatan untuk traveling keliling Indonesia ya kak. Aamiin.
Kok sedih, kalembo ade yaaa..
BalasHapusItu ganbarnya bagus banget, aku dari dulu pengen ke Lombok deh, tapi ya susah, kudu izin sama uangnya juga belum ada :(
Semoga segera dapat ijin buat traveling ke Lombok ya Nad. Semoga dananya juga segera terkumpul. Aamiin.
HapusTurut berduka cita ya mba, semoga kakek diberi tempat terbaik oleh Allah. Aamiin
BalasHapusAamiin ya rabbal alamin. Makasih banyak doanya mba.
HapusSubhanallah fotonya keren banget. Sungguh indah ciptaanNya.Turut berduka atas berpulangnya kakek ya mbak.
BalasHapusMakasih banyak mba.
HapusMudah mudahan kapan kapan mba bisa menikmati langsung pemandangannya ya. Aamiin.
Waktu saya jalan-jalan ke Bima sekitar 1 tahun yang lalu kalimat kalembo Ade sangat akrab ditelinga. Sebuah ungkapan yang Arif dari masyarakat pesisir yang secara umum biasanya sangat dinamis.
BalasHapusDan alam Bima juga mempesona saya. Belum lagi adat istiadatnya dan cara hidup masyarakat sehari-hari. Sungguh bikin kangen ingin kembali ke sana :)
Iya mba. Walaupun orang orang Mbojo aka Bima ini keras keras tapi ramah dan sopannya menggoda untuk dipelajari memang. Karakter khas masyarakat pesisir dengan bentang alam yang kebanyakan kering.
HapusSemoga bisa ke Bima lagi ya mba. Aamiin.
turut berduka ya Cha.
BalasHapusbaca di awal udah mulai feeling kayaknya ada sesuatu nih knapa harus bergegas gitu harus nyampenya, seperti gak menikmati perjalanan dgn tenang ternyata emaaang...
itu pemandangannya indah banget ya Cha, MasyaAllah
pengen deh bisa ke Nusa Tenggara juga.
Makasih banyak mba Diah.
HapusAamiin ya rabbal alamin. Semoga impian mba untuk menikmati Nusa Tenggara Barat segera tercapai. Aamiin.
mbaaa.... saya terkesima sama foto2nya. biru lautnya itu lho... indah bangeeet :)
BalasHapusHihihi makasih banyak mba Santi. Lautnya emang biruuu banget waktu aku lagi nyebrang selat alas waktu itu.
Hapuskalembo ade...menyentuh sekali...
BalasHapusTerima kasih banyak mba.
HapusKalembo Ade, dapat kosakata baru nih.
BalasHapusTurut berduka cita atas kepergian kakeknya ya mbak Acha, semoga beliau di tempatkan yang terbaik di sisi-Nya. Subhanallah banget pemandangan alam dan lautannya yang biru itu mbak...
Semoga sukses untuk giveaway ini ya mbak... Aminn :) :D
Makasih banyak doanya ya Rohma. Alhamdulillah dapat.
HapusYang ikhlas ya Cha :hug:
BalasHapussiapa pun akan pergi, tapi dengan waktu yang berbeda.
Keindahan Bima belum pernah aku rasakan, semoga someday.
Insya Allah aku ikhlas Nyi.
HapusSemoga suatu waktu nanti kamu bisa menikmati keindahan alam Bima ya. Aamiin ya rabbal alamin.
Turut berduka atas kepergian kakek tercinta yah Mba Acha, semoga beliau mendapatkan tempat terindah di sisiNya, dan semoga keluarga besar Mba Acha yang ditinggalkan diberi kekuatan hati dalam menerima takdir ini, amin..
BalasHapusterimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah.. :*
Makasih banyak mba Ira.
HapusMakasih juga aku jadi punya kesempatan untuk menceritakan hal ini. Setelah berbagi rasanya lebih baik mba. Makasih banyak, GA mba bikin aku terpacu untuk membaginya, biar ga disimpan sendirian terus.
Turut berduka atas keprgian kakek ya, mbak.
BalasHapusPulau2 di Indonesia bagian timur memang menakjupkan, saya kepengeen banget bisa mengeksplor Indonesia bagian timur. Semoga Allah beri kesempatan pada saya.
Terima kasih banyak Mba.
HapusAamiin. Semoga mba bisa mewujudkan impian menyusuri pulau pulau timur Indonesia.
Keren banget tulisannya mba......emang kadang kalau kita punya masa lalu di suatu tempat dan kita kembali lagi ke tempat tersebut bisa membuat dunia saat itu juga berubah jadi seperti dulu lagi, segala suka duka bakal teringat lagi
BalasHapusTerima kasih banyak sudah mampir ke tulisanku ya Mas.
Hapus