Setelah hampir 3 tahun berlalu, akhirnya saya sanggup
menyelesaikan draft tulisan tentang Alun-Alun Ponorogo ini. Ada apa dengan
saya? Bukan apa-apa sebenarnya, namun memang cerita yang ingin saya sampaikan
akhirnya menemukan kesimpulan panjangnya setelah berlalu sekian waktu.
|
Alun Alun Pomorogo |
Ponorogo pada Desember 2015 bagi saya, merupakan kota yang
punya jam istirahat. Itulah, tempat yang begitu saya inginkan kala itu. Saat
matahari mulai tenggelam, kesibukan di pedesaan akan berkurang, jam 7 malam
sudah lumayan sepi, lampu rumah kebanyakan sudah padam dan orang-orang banyak
yang beranjak beristirahat lebih awal. Keesokan paginya, dimulai dengan bangun
sebelum adzan Subuh berkumandang, lalu beramai-ramai beriringan berjalan menuju
masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Nyaman sekali hati saya. Itu pula waktu
dimana saya pada akhirnya merasa, bahwa hidup saya yang saat itu begitu sibuk
bekerja, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang kalau ditanya untuk
apa pun hanya selewat saja jawaban saya, memenuhi kebutuhan.
Tetapi perjalanan saya menemani Nurul Djanah mengunjungi Mba
Tipah, kakaknya, di Ponorogo, merupakan sebuah perjalanan jiwa. Perjalanan
singkat yang dampaknya begitu besar pada pilihan hidup saya hari ini. Riuh
senang hati saya bertahun lalu itu, membawa saya pada perenungan dalam yang
cukup lama, membuat saya bersabar menikmati risiko dari keputusan yang saya
ambil, di awal tahun 2016.
|
Alun Alun Pomorogo
Manunggale Cipto. Roso Karso Agawe. Rahayuning Bumi Reyog |
Malam itu di Alun-Alun Ponorogo, semarak dan ramai sekali.
Ada panggung pertunjukan. Berjejer banyak sekali permainan anak ala ala serupa
pasar malam. Ditambah dengan ramainya pedagang kaki lima yang menjajakkan
camilan, mulai dari Penthol sampai Telor Puyuh Goreng. Riuh. Begitulah. Di antara berbagai sudut kota
yang sudah sepi, masih ada tempat yang sebegini hiruk pikuknya.
|
Masjid Agung Ponorogo |
Berkunjung ke Alun Alun Kota Reyog di malam hari, perhentian
pertama yang Nurul Djanah dan Putri siapkan untuk saya adalah Masjid Agung
Ponorogo. Usai memarkirkan motor, kami bersantai sebentar di depan masjid.
Sepi. Hal pertama yang saya tangkap saat berada di sana. Sunyi. Seolah masjid
ini megah dalam diam di malam itu.
Ada perasaan risau yang bermain-main di dalam hati saya. Ah
… apakah Allah SWT benar nggak punya waktu tidur dan nggak pernah tidur?
Sementara manusia seperti saya, rakus sekali akan waktu istirahat, pun rakus
akan bersenang-senang dan menikmati indahnya dunia ini. Seolah lupa, bahwa Sang
Maha Pemilik Manusia dan Dunia itu selalu berada dekat, mengawasi tanpa jeda. Mungkin
itulah bedanya makhluk dan pencipta ya. Tamak sekali akan waktu, sementara
Allah SWT yang memberi waktu, menunggu selalu untuk saya berdiam sebentar,
menengadahkan tangan dan meminta. Berserah. Berdoa. Lalu menahan egoisme
manusia yang kadang -- saya melewati batas saya sebagai perempuan.
|
Alun Alun Kota Ponorogo |
Lalu sampailah di Alun Alun Kota. Dalam ramai dan hiruk
pikuknya musik juga obrolan yang berbaur dengan suara anak-anak yang merengek
ingin naik mobil-mobilan, atau minta dibelikan Telor Puyuh Goreng sekedarnya. Saya
malam itu terhenyak, teringat akan cerita beberapa teman saya yang telah
memilih jalan hidupnya untuk menjadi istri, lalu berhenti maruk dengan
kesibukan mencari pemasukan, hanya untuk mengemban tugas sebagai seorang Ibu.
Beberapa Ibu yang asik bermain di sekitar Alun Alun, dengan ditemani wajah
lelah sang suami rasanya … ah, apakah kelak keluarga kecil saya akan nampak
serupa itu? Semoga tidak. Lalu doa ini pula yang saya pinta hingga hari ini.
Doa yang semoga partner hidup saya mau berkontribusi penuh dalam perkembangan
anak-anak, dan nggak membiarkan saya berjuang dengan banyak pelukan …
sendirian. Bukankah keluarga serupa ini yang sering sekali saya lihat, saya
dengar dari banyak cerita?
|
Patung di Alun Alun Ponorogo |
Apa istimewanya Alun Alun Ponorogo
bagi saya, setelah sekian tahun berlalu dan hanya tersisa momen-momen
dalam potret di dalam harddisk saya? Banyak. Di sana ada bangunan mirip Joglo
namun khas Ponorogo. Ada relief-relief juga patung-patung yang mengisahkan
kisah pewayangan. Menyenangkan bukan, jika kamu kelak berkesempatan mengunjungi
tempat ini?
|
Telur Puyuh Goreng Alun Alun Ponorogo |
Sebenarnya, dalam perjalanan kala itu, bukan tempat yang
sedang saya cari, namun maknanya. Apa pengalaman berharga yang bisa saya bawa
pulang, sehingga membuat sudut pandang saya lebih baik? Ah ya, klimaks dari
cerita malam itu bukan selesai saat saya kembali menaiki motor yang dikendarai
Putri dan kami berjalan pulang, melainkan .. ketika tiba kembali ke rumah Mba
Tipah dan Mas Huda. Sigap Mas Huda menggendong Keysha – kalau kalian pernah
baca banyak postingan saya soal Ponorogo pastilah ingat, semoga – dan terburu
menidurkannya di tempat tidur. Bukankah Ayah memang sudah seharusnya demikian?
Turut menjaga si buah hati dan keluarga, dengan berbagai hal sederhana yang
sebenarnya luar biasa?
Sepulang dari menikmati sepi sisi lain Alun-Alun Ponorogo,
juga riuhnya di sisi yang berseberangan, saya merasa … bahwa ada masanya hidup
ini butuh sepi, diam. Ada masanya pula menikmati keriuhan. Maka hari ini saya
menguatkan diri untuk berdiam beberapa waktu, kembali dalam suasana yang sepi
dan tenang, jauh dari begitu banyak tuntutan pekerjaan kantoran dengan
backsound deringan telepon yang terkadang begitu menyebalkan, juga ungkapan “Kamu
salah!” yang dulu kebal saya dapatkan. Kini saya memilih menikmati sepi, dengan
hari hari yang teratur walau terasa begitu lambat. Menjalani rutinitas yang
kadang mengesalkan karena itu-itu saja, namun ternyata saya telah berkontribusi
banyak dalam mendukung aktivitas harian partner saya, dan juga anak kami.
|
Dear Nurul Djanah, terima kasih banyak atas begitu banyak kisah yang melekat dalam perjalanan kita |
Setelah malam itu, hampir 3 tahun berlalu, saya memilih
memposisikan diri sebagai Mba Tipah yang diam-diam hanya dalam beberapa jam
saja saya sudah jatuh kagum padanya. Menbiarkan waktu berjalan untuk
menyaksikan perkembangan penerus generasi. Mengajarkan segala rupa yang pernah
saya pelajari, dan berjuang untuk nggak berhenti belajar, walaupun saya begitu
tahu diri, bahwa urusan rumah tangga seperti beberes, mencuci, dan menyeterika
begitu saya benci. Bersyukur pula saya menemukan partner yang saya rasa serupa
Mas Huda yang mau aktif turun tangan mengurusi urusan anak dan rumah.
Alhamdulillah.
Semoga semarak ramai yang kini hanya sesekali bisa saya
nikmati saat punya kesempatan keluar rumah ini, menjadi penyemangat saya untuk
nggak menangis putus asa setelah keputusan “menepi dan menyepi” yang saya ambil
ini. Serupa suasana Alun-Alun Ponorogo malam itu. Sisi ramainya hanya irisan
sepersekian dari sisi sepi, namun begitu mengena di hati.
Terakhir ke Ponorogo tahun 2016. Waktu itu saya menginap di sebuah penginapan di dekat Danau Ngebel. Suasananya asyik. Semoga bisa main ke Ponorogo lagi...cita2 saya ingin menyekolahkan anak ke Gontor.
BalasHapusAamiin. Semoga keinginan main ke Ponorogo kesampaian lagi ya Teh. Dan semoga juga anak Teteh bisa melanjutkan pendidikannya di Gontor.
HapusMengenai banget renungan soal kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan dan perenungan. Saya kadang melewatkan waktu menyepi untuk merenung. Masih disibukkan dengan hingar bingar kehidupan yang menuntut banyak hal padahal menguras energi dan pikiran. Mau nggak mau memang harus memaksakan diri berisitirahat sebentar.
BalasHapusKadang kita butuh rehat memang.
HapusSuasana malam di alun2 begini memang bagus banget dan asik.... lampu warna warni menjadikan pemandangan terasa lebih Indah ya kak
BalasHapusIya banget.
HapusBaca ini jd ingat alun2 bandung tempo dulu..sering banget diajak jalan2 sama bapak ke alun2..cuma buat liat air mancur dan bermain air...
BalasHapusKenangan manis ya Mba.
HapusDaku belum pernah ke Ponorogo,apalagi lihat telur puyuh goreng nya itu, kasih saus sambal dah, 💖
BalasHapusEnakkk kalo pake sambal lho mba.
HapusBnetuk telur puyuhnya ga kayak telur lagi, jadi bisa tersamarkan begitu. aku belum ke ponorogo jadi masih ngayal aja
BalasHapusSemoga kapan kapan bisa ke sana ya mba.
HapusSebagai pusat kota, biasanya yang namanya alun alun pasti rame banget dan seru. Kalau deket aku juga mau kesana euy
BalasHapusSemoga kapan kapan bisa mampir ke Ponorogo ya Kak.
HapusKemarin kesana belum nikmati suasana malamnya mba.. tetep ramee ya terutama bnyak jajanan��
BalasHapusBanyaaakkk. Tapi sekitaran kotanya udah sepi.
HapusBelum pernah. Tapi kayanya dari alun2nya aja seru. Apalagi eksplor lebih ya. ��
BalasHapusKudu dicobain mba.
HapusIya, Mbak. Kadang kita perlu berada di suasana baru untuk bisa melihatnya kehidupan dengan lebih jernih. Saya ke Ponorogo cuma lewat doang, nggak pernah mampir. Pengin nyobain telur puyuh goreng.
BalasHapusSemoga kapan kapan bisa mampir buat nyobain. Didoakan.
Hapusiya...terkadang kita butuh untuk menyepi agar bisa merenungkan arti hidup
BalasHapusIya banget mba.
HapusDalem banget tulisannya mba �� jadi seperti ini yah kita Ponorogo, saya cuma tau dari teman yang dulu sesama ambassador katanya asal daerahnya Ponorogo ��
BalasHapusHihihi terima kasih. Semoga kapan kapan mba bisa ke Ponorogo.
HapusPonorogo, jadi ingat om aku yang orang ponorogo, dan di rumahnya ada hiasan reog bagus.
BalasHapusHmm.. aku pikir, semua ada masanya mbak sayang, saat kita butuh waktu untuk mencari jati diri, dan ada saatnya kita menetapkan pilihan untuk tinggal.
Ahh.. cerita yang buat aku ingin merenung juga mbak.
Salam untuk l=alun2 ponorogo apabila bersua kembali.
Semoga kapan kapan bisa ke sana ya mba Mude.
Hapus