Kalau kamu sudah menonton
seenggaknya film yang bertema Apocalytic alias masa kehancuran dunia seperti A Quite Place, mungkin kamu sudah
mempersiapkan diri pada seberapa ngeri dan menegangkannya dunia yang perlahan
menuju kehancuran hakiki, namun manusia berusaha bertahan untuk tetap hidup di
Bumi, walau dengan cara yang keji tetapi dianggap lebih baik dibandingkan mati
tanpa arti.
Menikmati Mortal Engine, saya dijebak dalam kengerian yang membuat
saya harus beberapa kali menahan napas di bangku merah studio teater bioskop
senja itu. Ngeri yang terlalu, ditambah pikiran awam saya yang terus saja
berusaha mencerna tebaran kode-kode (keras) yang makin memaksa saya untuk fokus
saja ke layar, nggak peduli keadaan penonton sekitar yang terkadang saling
berbisik menyampaikan komentar.
|
Review film Mortal Engine (2018) |
Sinopsis Film Mortal Engine
Boleh ya, saya sedikit
mengisahkan awal kisah pembuka dalam film Mortal Engine ini.
Semoga kamu nggak menganggapnya sebagai spoiler, sebab saya berusaha menyampaikan
sedikit-banyak yang saya dapat, agar obrolan kita soal film ini akan saling
terkoneksi … mungkin juga malah menggoda kamu untuk menonton film ini melalui
aplikasi online, sebab rasanya Mortal Engine sudah nggak beredar lagi di
bioskop tanah air. Satu kata deh sebelum saya memulai bercerita. Fantasi dalam
film Mortal Engine ini cakep, kecuali cinta-cintaannya yang terlalu klise.
Film Mortal Engine dibuka dengan
gambaran dunia yang kacau balau, dimana kota-kota bergerak untuk saling
menghancurkan. Kenapa? Sebab tanah di Bumi sudah nggak bisa lagi ditinggali,
dan kota-kota bergerak yang dibangun dari berbagai teknologi masa lalu – dalam artian
teknologi di masa kita saat ini – saling bergerak dan menghancurkan, demi mendapatkan
teknologi juga bahan makanan untuk keberlangsungan hidup warganya. Tersebutlah
kisah sebuah kota besar bergerak yang bernama London. Berjalan terus mengelilingi
dunia untuk menghancurkan kota-kota bergerak yang lebih kecil.
Awal mula kemunculan kota
bergerak tadi adalah upaya dari kelompok-kelompok manusia untuk bertahan hidup,
seusai “60 minute war” yang menghabiskan hampir setengah dari penduduk dunia.
Lalu di kota bergerak yang bernama London, dimunculkan karakter tokoh dengan
latar belakang seorang arkeolog yang berjuang agar kehidupan manusia menjadi
lebih baik, dengan mencari sebuah alat penghancur bernama Medusa, dia … Thaddeus
Valentine (Hugo Weaving).
Diam-diam, Thaddeus Valentine
dicari-cari oleh seorang gadis yang merupakan putri dari sahabat lama yang dulu
ia khianati dan bunuh … Pandora Shaw … sebab berhasil menemukan bagian dari
Medusa, si alat penghancur yang telah lama ia cari-cari. Gadis yang
terus-menerus mencarinya itu adalah Hester Shaw (Hera Hilmar), satu-satunya
saksi yang melihat pembunuhan keji Thaddeus Valentine akan ibunya sendiri.
Walau gagal melancarkan
rencananya untuk membunuh Thaddeus Valentine, Hester Shaw dipertemukan dengan
seorang arkeolog muda yang cinta sekali akan teknologi di masa lalu, Tom
Natsworthy (Robert Seehan) yang pada akhirnya menjadi teman perjalanan
terbaiknya untuk menyelamatkan dunia dari keinginan gila Thaddeus Valentine.
Ditambah pertemuannya dengan Anna Fang (Jihae) si Wind Flower yang diam-diam juga
punya tujuan untuk menghentikan rencana Thaddeus Valentine.
Bagaimana kisah dalam film Mortal Engine yang katanya memiliki naskah dan penggarapan yang
apik sehingga pesan dalam novel dengan judul yang sama, bisa terangkum manis
dalam film berdurasi 128 menit ini? Silakan kamu tonton saja film-nya dan
selamat menemukan sudut pandangmu yang bisa jadi akan berbeda jauh dengan saya
yang masih cukup awam dalam soal film begini. Namun, ijinkan saya menyampaikan
beberapa kode keras yang terus saja berkecamuk dalam pikiran saya, seusai
menonton Mortal Engine.
Review Film Mortal Engine
Beginilah gambaran yang saya
dapatkan sepanjang menikmati setting tempat, terutama tanah dan penampakan Bumi
yang disajikan dalam fantasi Mortal Engine. Dunia kacau balau tanpa adanya
tanah yang dapat dijadikan pondasi bagi bangunan-bangunan untuk memunculkan
kembali sebuah kota yang diam, sehingga setiap manusia pun akhirnya saling
berkelompok dan hidup dalam kota-kota bergerak yang bernama dan nggak bernama. Kemudian
saling menghancurkan, alih-alih untuk mempertahankan kehidupan. Bagi saya, masa
jahiliyyah seperti kembali, dimana yang kuat akan semakin kuat, dan yang lemah
akan terlindas lalu mati melarat – eh, sengsara aja deh biar berasa ngenesnya.
Apa itu peri kemanusiaan, di saat
manusia saling terdesak untuk dapat mempertahankan hidup, sementara dunia sudah
sebegitu kejamnya pada manusia yang hidup? Orang-orang yang katanya bertujuan
untuk menjadikan dunia lebih baik, malah saling menghancurkan. Sementara hidup
sudah semakin abnormal. Bayangkan saja, ada karakter Shrike yang mengerikan,
persis Frankeinstein namun hidup di jaman Apocalyptic. Berhasil membesarkan
Hester Shaw pula, dan ternyata dia masih punya hati dan rasa sayang. Bertahan
hidup sebagai mesin di tubuh yang mati. Ini ngeri. Sementara beberapa karater
yang digambarkan baik hati dalam film ini, justeru menjadi karakter yang pada
akhirnya mati karena mengorbankan dan dikorbankan. Duh, makin ngeri.
Ini menjadi kunci dari kisah yang
disajikan sepanjang 128 menit oleh film yang disutradarai oleh Christian
Rivers, tentang kekuatan dunia yang tadinya dikuasai oleh Barat, pindah ke
Timur. Keberuntungan wilayah Timur yang tetap subur dan aman, namun saya ngeri
sebenarnya – secara pribadi – sebab pada film Mortal Engine ada gambaran
kekuatan lain yang sebenarnya mendamaikan dunia, yaitu U.S.A yang jelas sekali
dimunculkan sebagai kunci rahasia untuk membatalkan kerja teknologi sakral
bernama Medusa. Dan … si kunci berlogo U.S.A ini disembunyikan pada kalung
berliontin besar dengan rupa mata satu alias Illuminati. Duh mamak, lemes kaki
Ka Acha sampai di bagian ini.
Memang, orang-orang Asia dalam
Mortal Engine dimunculkan sebagai kaum yang gigih namun lembut dan tulus. Tapi
sepanjang menonton, saya terjebak, bingung untuk berpihak, dan pada akhirnya
memutuskan untuk diam saja menikmati alur cerita tanpa harus berpikir
macam-macam. Sebab ada banyak kejutan lainnya dalam film ini yang sukses membuat
saya terhenyak, lalu geregetan sendiri.
Pada akhirnya, saya senang sekali
punya kesempatan untuk menyaksikan film ini langsung di bioskop. Senang pula
menikmati fantasi dari kehidupan sama apocalyptic yang dibangun dengan epik
begini. Mungkin ada beberapa kekurangan, tapi namanya juga karya kan ya … akan
ada saja yang memuji dan memberikan kritik. Sudah biasa lah ya.
Wahhh jadi pengen nntn juga, kalo diliat dari ceritanya seru bngt tuh keknya yaa hehe
BalasHapusSilakan.
HapusWah, kalau ada mesin penghancur kayak gitu, apa faedahnya? Ketika dunia yang mestinya damai ditempati manusia hanya bisa dihuni sebagian kecil saka. Duh, efek peperangan dan teknologi yang diumbar serampangan memang menyeramkan. Mau adi apa masa depan manusia di bumi?
BalasHapusSaya belum nonton ilmnya, dan kurang suka pada segi suram kehidupan di masa mendatang. Entahlah, seperti ada semacam skeptisme bahwa hidup di masa mendatang malah tak akan lebih baik daripada sekarang. Itu bisa mencuci otak penonton.
Ingin ada film yang menggambarkan dunia masa depan damai, atau malah perang yang ditimbulkan di belahan lain negara bisa diselesaikan secara perdamaian. Kekuatan serakah itu menakutkan kala ada banyak weilayah yang mestinya berdaulat mlaha dijajah.
Rata rata film soal masa depan yang bertema apocalyptic seringnya begini Teh. Ngeri memang.
HapusSampai aku pun rasanya, jangan sampailah aku mengalami, cukup menikmatinya melalui imajinasi saja. Serem.
Kayaknya aku nggak bakalan bisa sanggup ada di masa kehancuran yang nyeremin deh.
Semoga kelak dunia jadi lebih baik dan damai.