Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Antologi Rasa : Terkadang Kita Nggak Sadar Bahwa Kita Sudah Berbeda Sejak Awal


Keputusan pertama yang membawa saya mengajak partner setia saya, Nofeldy Kakao, untuk masuk ke ruang studio demi menyaksikan film Antologi Rasa yang diadaptasi dari novel laris karya penulis Ika Natassa adalah … sebab saya begitu jatuh cinta pada tokoh Harris Risjad dari novel ini, sejak pertama kali membacanya beberapa tahun lalu. Saya bahkan menahan diri saya untuk melupakan sebagian alur novelnya yang berseliweran di kepala saya, sebelum menguatkan hati ketika melangkah masuk dan duduk di tempat yang sudah kami pesan. Kelak seusai film ini selesai saya saksikan, saya nggak tergoda untuk membanding-bandingkannya dengan alur kisah yang sudah disampaikan dalam novelnya. Walaupun pada akhirnya ….


Review Film Antologi Rasa
(image via Brilio(dot)com)

Baiklah, daripada saya langsung to the point soal pengalaman yang saya dapat setelah menyaksikan film Antologi Rasa karya Rizal Mantovani ini, saya cerita dulu tentang beberapa hal tersirat yang saya tangkap sepanjang menikmatinya ya.

Percayalah … Jodoh Kita Selalu Seirama Dengan Kita
Saya termasuk dalam golongan penonton yang bahagia karena tokoh Harris Risjad diperankan oleh Herjunot Ali. Sudah cukup sampai di situ saja. Entah Keara diperankan oleh Carissa Perusset atau bukan, tokoh Denise, Ruly, bahkan Dinda diperankan oleh siapa, saya nggak terlalu rewel. Soalnya bagi saya, Herjunot Ali sudahlah cukup menggambarkan betapa badboy tapi sweet-nya Harris Risjad, seperti yang saya nikmati melalui novelnya. Namun sepanjang alur yang dihadirkan film Antologi Rasa melalui berbagai scene-nya, saya menangkap bahwa ternyata pemeran Keara pun masih butuh seseorang yang tepat. Tapi sudah ya, saya nggak ingin menyampaikan opsi-opsi pemeran, sebab toh film ini sudah tayang juga.

Pesan dari Antologi Rasa ini … tentang, seseorang yang bingung akan urusan percintaan dan terus menahan diri karenanya. Belum lagi rasanya begitu sulit untuk menyampaikannya, membuka selubung rahasia dari perasaan yang selama ini terpendam dalam diam. Bagi saya pribadi, tentu saja sulit sebab yang disasar sebenarnya bukanlah seseorang yang tepat. Menikmati kemilau karakter orang lain yang begitu banyak perbedaannya dengan diri kita, sungguh menyiksa bila dipaksakan. Bukankah jodoh yang langgeng dan panjang awalnya selalu demikian? Tuhan memang memasangkan kita dengan seseorang yang seirama dengan apa adanya diri kita, dan lebih nyaman begitu? Daripada berjuang mati-matian demi sesuatu yang kita elu-elukan sebagai cinta, sialnya ternyata memaksa diri kita untuk begitu banyak berubah demi seseorang tadi? Oh nggak … itu nggak akan nyaman untuk hubungan dengan komitmen yang akan dibina sepanjang hayat.

Dalam film Antologi Rasa, jelas sekali hal ini terlihat dari kegalauan tokoh Keara dan juga Harris, di antara Keara yang merasa jatuh cinta pada tokoh alim bernama Ruly. Sayangnya lagi, dari beberapa scene, kealiman tokoh Ruly malah bubar begitu saja di mata saya, setelah tergoda untuk berduaan di apartemen Keara, bahkan mencoba mencuri ciumannya. Beda sekali dengan sosok Ruly yang saya nikmati melalui novelnya. Tuh kan, mohon maaf, susah sekali bagi saya untuk menahan diri biar nggak membandingkan karakter Ruly di novel dan juga di film. Terlalu berat bagi saya yang sudah dibuat jatuh cinta lebih awal sama kisah dalam novelnya memang.


Destinasi Wisata yang Serasa Kosong untuk Kisah Cinta
Saya paham bahwa apa yang ditampilkan dalam sebuah film tentu nggak akan sama dengan novel. Sebab bahasa penyampaian melalui tulisan dan visual banyak bedanya. Ini hal dasar yang saya ketahui, sehingga sebagai penonton awam saya cukup banyak maklum. Sedihnya, beberapa scene yang menampilkan keindahan suatu destinasi wisata, malah terasa kosong sekali bagi saya. Apa hati saya ini memang sudah mati rasa untuk urusan cinta menye-menye ala dewasa muda seperti yang disajikan oleh film Antologi Rasa?

Bahkan ada beberapa scene yang – karena partner saya awam sekali soal kisah Keara dan Harris, lalu banyak bertanya akibat tampilan potongan scene yang membuat dia bingung dan berujar terus “Kok sampai sini aja?”, “eh tadi ini awalnya bagaimana, kok alurnya dia kesini, bukannya tadi lagi begini?”, memaksa saya untuk mau nggak mau, menyampaikan apa yang sebenarnya mungkin ingin digambarkan dalam beberapa potongan adegan tadi, dengan bersumber pada ingatan saya akan alur kisah dalam novelnya. Maafkan saya lagi soal ini, nggak maksud tapi rasanya sulit sekali.

Belum lagi kisah perjalanan yang memang jauh berbeda dari penggambaran di novelnya. Buat apa juga jalan-jalan jauh berdua tapi kemunculan rasa cinta yang sampai membuat penonton seperti saya ini gampang dibuat berbunga-bunga, tapi kok sulit sekali ya? Ah ya, bisa jadi karena saya sudah terlalu anak besar sampai kehilangan rasa akan imajinasi cinta yang begitu.

Hanya Keara dan Harris yang Hidup dalam Cerita
Mungkin memang ini tujuan dari dibuatnya film Antologi Rasa, sebab hanya tokoh Keara dan Harris saja yang terasa bernyawa. Tokoh Denise yang sebenarnya bagi saya, bisa banget jadi kunci untuk Keara memutuskan menemukan sebenarnya hatinya harus berlabuh ke hati siapa, hambar sekali. Tetapi lagi dan lagi, saya mensyukuri tokoh Harris Risjad yang diperankan oleh Herjunot Ali. Tokoh ini seolah hidup dan benar-benar ada buat saya, sebagai pengusir rasa kecewa.

Ya … seusai menyaksikan film Antologi Rasa ini, hingga sepanjang duduk diboncengan motor yang dikendarai Nofeldy Kakao di malam yang mulai beranjak larut, saya terus saja nyerocos – berjuang membuat hati saya plong karena banyak sekali perasaan “duh aduh” yang saling tindih di hati saya setelahnya. Saya suka dengan soundtrack filmnya yang dinyanyikan oleh Geisha, terima kasih sudah melengkapi kisah Keara dan Harris ya. Walaupun saya sedih menyaksikan betapa “kurang berharganya karakter Keara sebagai perempuan cerdas” sebab beberapa scene ciumannya bukan membuat film ini manis untuk saya. Juga tokoh Ruly yang asli deh buat saya dia itu kok jadinya – menyebalkan. Alim tapi alim itu sebenarnya seperti apa dan seharusnya bagaimana sih?

Di balik perasaan sedikit sebal yang berulang kali saya tahan, serupa dengan artikel ini yang baru sanggup saya tayangkan setelah film Antologi Rasa cukup lama turun layar, saya tetap jatuh cinta pada berbagai tulisan karya Ika Natassa. Saya masih selalu tergoda untuk membaca beberapa novel hasil buah imajinasinya. Semoga novel lain dari Ika Natassa yang difilmkan, nggak se-lari-lari ini dari alur dan pesan tersirat juga penggambaran hidup karakternya, terasa lebih nggak mengawang-awang dan lebih sederhana namun dalam, persis berbagai penggambaran karakter tokoh yang saya baca di bukunya. Andai saja bisa dan boleh jadi begitu ya.


Terima kasih sudah berkenan mampir sejenak ke tulisan saya ini. Mungkin kamu memiliki sudut pandang lain seusai menyaksikan film Antologi Rasa, nggak perlu ragu untuk disampaikan di kolom komentar ya. Silakan.  




Komentar

  1. Setiap liat novelnya di toko buku, saya sgt penasaran untuk baca isinya, tapi entah kenapa ga pernah keturutan sampai hari ini. Pas dibikin film, juga belum pernah nonton. Makasih reviewnya,Cha. Minimal bisa tau isi ceritanya :)

    BalasHapus
  2. Wah jadi ada gambaran nih serunya film antologi rasa ini hehe. Soalnya dulu nggak sempet nonton di bioskop hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nunggu kemunculannya di VIU atau HOOQ kalo gitu, Mas.

      Hapus
    2. Filmnya emang belum muncul di hooq/iflix/apapun yah?/saya cari² kok ga ada:(

      Hapus
  3. Mengenai tulisan Ika Natassa memang juaranya, alur ceritanya dan pemilihan tokohnya. Jadi penasaran sama filmnya, hehehe

    BalasHapus
  4. Rata-rata kalau novel difilmkan ceritanya suka ada aja yang beda ya? Dan sebagai pembaca pastinya kita rada gimana gitu kalau cerita ad yang melenceng, meski sedikit dari cerita asli dalam novel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba. Maklum bahasa teks dan visual beda banget.

      Hapus
  5. setuju. tak baik memaksakan dan mengubah jati diri demi orang yang dicintai. Lebih baik jujur ya dan percayalah jodoh pasti akan menemukan jalannya sendiri hehe

    BalasHapus
  6. belum nonton filmnya.. baca novelnya pun belum..
    boleh juga nih jadi rekomendasi tontonan di rumah.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Semoga informasinya bermanfaat.

      Hapus
  7. Belum baca novelnya, tapi baca artikel ini jadi tau gambarannya, kalau karakter itu tidak bisa dibuat-buat mending jadi diri sendiri aja.

    BalasHapus
  8. Saya kepo banget dengan novelnya Ika, sering baca judulnya doang, belum pernah baca langsung hahahaha.

    FIlmnya yang apa ya judulnya tuh, Critical Eleven ya, itu beneran bikin baperrrr :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah yang itu malah saya yang belum sempat nonton mba.

      Hapus
  9. Judulnya sangat menarik ya, Mbak. Antalogi Rasa. Menggambarkan beragam rasa. Dan ingat Harjunot Ali, jadi ingat pas dia baru mentas sebagai finalis VJ Hunt Mtv hehehe.

    Tapi memang sih, Mbak, film adaptasi dari novel kadang berbeda. Saya pernah merasakan nonton film misteri adaptasi novel. Kok lebih seru baca novelnya hahaha.

    Tapi membaca novel dan nonton film, masing-masing mempunyai keasyikan tersendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget. Bahasa penyampaiannya kan berbeda. Jadi ya gitu, kalo udah jatuh cinta sama novelnya, pas difilmkan, suka butuh perjuangan untuk mengosongkan rasa dan ingatan gitu jadinya.

      Hapus
  10. Kalau di twitter banyak yang review kurang Bagus pada film ini. Memang biasanya kalau novel yang akan di film akan beresiko. Sayangnya di tempat saya nggak ada bioskop. Kalau sudah tayang di streaming legal mau nonton juga :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sih Mba. Makanya saya sampaikan kalau saya lebih jatuh cinta sama novelnya.

      Hapus
  11. Penasaran jadi pengen baca novelnya apalagi film nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga penasarannya berlanjut jadi tindakan ya.

      Hapus
  12. wah jadi pengen beli novelnya. filmnya juga bikin penasaran.

    BalasHapus
  13. Aku jadi poengen baca dan nonton filmnya, apalagi kalau itu tentang rasa ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi silakan Teh. Kali happy teraduk aduk habis baca novelnya.

      Hapus
  14. Ika Natassya mah juara selalu tulisannya. Menarik juga difilmkan. Jadi pengen nonton deh

    BalasHapus
  15. Sering kali sih begitu ya kak, jika kita sudah terlanjur jatuh hati pada alur cerita novellnya, saat difilmkan pasti banyak adegan yg nggak pas dengan ekpektasi imajinasi kita.

    Btw, ada tmn pernah cerita tentang film Antologi Rasa ini juga sih, cuman konfliknya kurang puas katanya.

    Oke kak, apapun itu selamat buat sang novelis hingga karyanya bisa difilmkan.
    Semoga banyak karya2 dalam negeri menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama. Saya pun merasa kurang puas memang.

      Aamiin.

      Hapus
  16. Dari tulisan ini, saya malah ingin baca novelnya saja. Agar imajinasi lebih berkembang

    BalasHapus
  17. Beda ya, nuansa novel dan filmnya. Tapi jarang sih, ada film yang bisa sama persis dengan novelnya, soalnya ya itu, kata-kata dan gambar beda bahasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, iya banget.

      Bahkan maksud dan alur yang ditangkap sama pembaca dan penonton suka beda jadinya.

      Hapus
  18. Wah ada adegan kissing nya mba? Btw nuduknya unik, antologi rasa, semacam kumpulan rasa gtu yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adaaaaa. Lumayan kalo nggak salah 3 kali. Jadi saya anggap ini film 21+. Eh 17 aja deng.

      Hapus
  19. Kalau udah tentang perasaan bawaannya bisa bikin terenyuh, nyes dan baper kak.. Sesuatu banget kisah ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangeeettt. Kalo di dalam novelnya ya buat saya sih Mba.

      Hapus
  20. Biasanya kalau ada novel yang difilmkan, saya agak menurunkan ekspektasi. Lebih seru baca novelnya. Apalagi kalau novelnya memang saya suka

    BalasHapus
  21. Sering sekali kejadian kecewa begitu yah kalo novel dibikin film, banyak yang gak sesuai imajinasi kita. Beda interpretasi karena di novel kan detail banget, tapi diterjemahkannya cuma gitu doang hahaha.

    Aku belum nonton sih filmnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan perjuangan sekali mengosongkan rasa akan ingatan dari tiap bab di novelnya memang Mba.

      Hapus
  22. Saya suka Cara kamu mereview. Kebanyakan review film YG diangkat dari Buku, bahwa tokohnya gak seperti YG di Buku. Orang lupa ketika baca Buku, Si tokoh hanya imajinasi pembaca betdasarkan narasi Buku. Di film tokohnya tervisualkan. Kalau betbeda karena vidual sutradara gal sama dong imajinasi Kita.

    BalasHapus
  23. Sudut pandang versi aku sudah aku tulis juga diblog aku tentang film ini kak.

    Btw kalo kakak jatuh cinta sama Harris Risjad pasti jadi follower setianya di twitter nih*

    BalasHapus
  24. Aku penasaran sama Novelnya dan belum kesampaian buat baca, makanya nahan dulu buat gak nonton filmnya. Pengalaman yang udah2, penggambaran secara Visual tetap gak bisa nandingi Novelnya, karena imaji lebih nyata di dalam kepala, haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah perjuangan fans berat novelnya Mba. Kayak saya. Nahan nahan gitu jadinya.

      Hapus
  25. Aku sih belum baca buku novel dan filmnya, tapi review nya banyak yang bilang bagus dan menarik. Cuma aku suka genre komedi sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh sama. Komedi sukanya sama film apa aja Mba?

      Hapus
  26. jadi pengen nonton. Tapi sepertinya mesti baca novelnya dulu biar makin asyik. Secara kalau novel itu lebih ngena dibanding film sih biasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bebas aja sih Mas mau film atau novel dulu. Beda karya dan penyampaian kok.

      Hapus
  27. Cukup penasaran sama film ini, tapi sayang saat hendak ingin menonton di layar tayangnya cepet banget turun di bioskop domisili saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak.. intuk sekarang bisa nonton dmn ya? Kita dr liar pulau ga ada bioskop.. nyari di hooq dr dlu belim keluar" ☹

      Hapus
  28. Belum baca novel, belum nonton filmnya juga Kak. Membaca review kakak aku jadi penasaran yak.

    BalasHapus
  29. Semoga kapan kapan sempat nonton ya.

    BalasHapus
  30. Baca novel lanjut ke film selalu bikin deg degan, apakah sensasi yabg dirasakan tambah naik atau malah anjlog, beberapa kali kecele sama filmnya, berasa lebih seru pas baca bukunya 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya buku bikin kita bebas berimajinasi apa saja. Kalau film kan tampilan visual ya, jadilah berbeda.

      Hapus

Posting Komentar