Sebagai prolog dari tulisan panjang saya kali ini, saya
ingin mengucapkan banyak terima kasih atas perjuangan kamu yang dulunya seorang
perokok, dan kini sudah benar-benar berhenti dan menjauhi rokok. Semangat
berjuang pula untuk kamu -- para pasangan dari perokok aktif yang dengan penuh cinta dan kasih sayang,
memberikan dorongan agar pasanganmu jauh dari rokok. Juga kamu – pembaca blog
saya – yang masih berjuang menemukan pasangan hidup dengan prinsip bahwa si
calon pasangan nggak merokok, sehingga keluarga kecil yang nantinya kalian
bina, terbebas dari asap rokok, serta menjadi tameng pelindung bagi anak-anak
di generasi selanjutnya untuk nggak mencoba dekat-dekat dengan rokok.
Tulisan ini saya buat sebenarnya tanpa banyak harapan untuk
bisa menang lomba blog, hanya saja … penuh harapan saya agar adik dan anak-anak
Indonesia lebih maju dengan terjaga dari asap rokok. Semoga harapan yang
sederhana ini, membuat kamu – siapapun kamu yang dengan senang hati telah
mampir ke blog saya – untuk turut tergerak, paling nggak, memulainya dari diri
dan keluarga sendiri, untuk nggak mencoba rasanya merokok sebab merasa
bertanggungjawab pada kesehatanmu, juga orang-orang yang kamu sayangi.
Sejarah Panjang Sebatang Rokok
Yuk coba kamu sebutkan, apa saja merk rokok yang kamu tahu!
Bukan setahun dua tahun, perusahaan rokok di Indonesia punya sejarah panjang
yang menjadi salah satu bagian dari keberlangsungan penghidupan masyarakat
Indonesia yang bekerja di sektor ini. Lebih panjang lagi, sejarah mengenai
kemunculan rokok yang katanya dimulai pada 4.000 tahun sebelum Masehi.
Bermula dari kebiasaan masyarakat dunia yang mengunyah Tembakau
sebagai bagian dari tradisi perdukunan. Kebiasaan yang tersebar dari Amerika
Selatan, lalu sampai di tanah Eropa, menyentuh suku Aborigin, dan terus
berdampak hingga ke seluruh dunia.
Alih-alih daun Tembakau terkenal dengan aromanya yang wangi,
lama-kelamaan mulai dinikmati bukan hanya dengan cara dikunyah, namun juga dihisap
dan dihirup. Selain itu, dari salah satu sumber yang saya baca – sebut saja
sebuah portal berita nasional – bahwa dengan menghirup Tembakau, bermanfaat
untuk meringankan pilek dan radang hidung. Lalu, semakin lama, daun Tembakau
tadi akhirnya dilinting untuk dibakar dan dihisap. Kemudian, di jaman yang
semakin modern ini, muncullah rokok elektrik yang katanya … lebih aman dan
nggak (terlalu) membahayakan kesehatan. Tapi, yakin?
Bukan hanya masalah beralihnya para perokok dari rokok
konvensional ke rokok elektrik, tetapi sejarah panjang dari perkembangan rokok
ini … bagi saya, terlalu kompleks sehingga sulit sekali untuk menghentikan
konsumsi terhadap rokok, namun pengendalian akan konsumsi rokok rasanya menjadi
upaya yang sudah cukup baik untuk segera diterapkan saat ini.
Haruskah Kita Senang Saat Harga Cukai Rokok Naik?
Menurut Bapak Abdillah Ahsan -- Wakil Kepala Pusat Ekonomi
dan Bisnis Syariah FEB UI – pada siaran talkshow di
Kantor Berita Radio
(14/09/2019), konsumsi rokok pada tahun 2019 ini meningkat akibat
cukai rokok tidak naik, harga barang naik,
sementara pendapatan masyakat juga naik. Maka cukai rokok yang naik berdampak
baik untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok. Sehingga niat pemerintah untuk
menaikkan cukai rokok terhitung Januari 2020 menjadi 23%, sementara harga rokok
akan naik paling tinggi sebesar 35% atau harga rokok berada pada kisaran harga
27.000, akan berdampak pada berkurangnya jumlah calon perokok, bisa saja
terjadi.
Saya berdoa semoga dampak baik dari naiknya harga cukai rokok
dan harga rokok tadi akan mengurangi calon perokok baru. Hanya saja, sulit bagi
saya untuk percaya jika jumlah perokok aktif nantinya akan berkurang. Bagaimana
bisa demikian? Alasan saya sederhana, sebab rokok seperti candu. Seseorang yang
sudah mengalami candu, butuh usaha dan dorongan pemicu yang lebih banyak jika
ingin berhenti, daripada hanya sekedar naiknya harga rokok. Toh rasanya masih
cukup banyak kebutuhan yang biayanya bisa ditekan, jika masih ingin tetap
sanggup membeli sebungkus rokok, bukan? Apalagi, kalau merokok sudah jadi
kebiasaan yang sangat sulit sekali untuk ditinggalkan.
Coba kamu lihat sekitarmu, kira-kira kalangan mana saja yang
lebih sering merokok di jalan maupun di transportasi umum? Apa mereka akan
mulai mengurangi hobi merokoknya alih-alih harga rokok naik, atau malah
mengurangi konsumsi makanan hariannya demi bisa membeli rokok?
Selentingan cerita pun saya dengar dari beberapa teman yang
ujung-ujungnya, karena berniat keras untuk berhenti merokok, beralih dari menghisap
rokok konvensional yang kalau dicari artikel mengenai dampak dan bahayanya bagi
kesehatan, pastilah berderet di laman pencarian, ke rokok elektrik yang
dilansir lebih aman. Mentang-mentang lebih mahal alat hisap dan cairan
nikotinnya ya?
Bagi saya pribadi, saya cukup senang dengan naiknya harga
cukai rokok ini. Namun saya punya harapan lain, agar pemerintah lebih serius
dalam membatasi ruang bagi para perokok untuk merokok di tempat publik. Negara
Thailand saja sudah selangkah lebih dulu menerapkan hal ini. Masa negara
Indonesia yang lebih luas, dan nampak lebih makmur ini, masih maju mundur dan
semacam “karet” dalam hal penanganannya? Rasanya, bukan hanya industri rokok
saja yang perlu diatur, namun juga masyarakat selaku konsumennya.
Saya mau tanya serius sama kamu. Mohon beri saya jawaban di
kolom komentar ya. Apa setelah melihat gambar “buruk rupa” mengenai bahaya
merokok yang biasanya ada di bungkus rokok, kamu merasa gentar untuk mencoba
merokok?
Beralih Ke Rokok Elektrik Karena Ingin Berhenti Merokok
Pembahasan saya mengenai rokok tradisional yang biasanya
dibakar lalu dihisap, saya akhiri sampai sini dulu ya. Mungkin kamu sudah mulai
mengingat-ingat berbagai merk rokok yang iklannya selalu muncul di jam malam,
di televisi, dengan penggambaran yang kerennya luar biasa. Tapi, sepertinya,
rokok elektrik pun sudah banyak dikonsumsi dan … dari pengamatan saya yang
awam, rokok elektrik ini sering membuat seseorang tampil lebih gaul dan keren,
dibandingkan menjadi penghisap rokok konvensional. Belum lagi aromanya yang
bermacam-macam dan nggak identik membuat “mabuk” seperti pada rokok yang
dibakar, vape – mari selanjutnya kita sebut rokok elektrik tadi dengan nama ini
– tampil sebagai alternatif “nikotin” yang nampaknya lebih aman dan modern. Eh,
apa benar demikian?
Kembali saya mendapatkan informasi dari situs KBR dengan
judul berita “Rokok Elektronik Bisa Picu Kanker, Negara Didorong Buat Regulasi”,
di sana disebutkan bahwa rokok elektrik, walau hanya menghasilkan uap, tetapi
sama bahayanya dengan rokok konvensional. Pernyataan ini diungkapkan oleh dr.
Agus Dwi Susanto, dokter spesialis paru-paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Persahabatan, Jakarta, dalam talkshow Ruang Publik KBR, Rabu (17/07/2019). Lho
kok bisa?
Tentu saja sebab rokok konvensional maupun vape sama-sama
mengandung nikotin yang dapat menyebabkan candu atau adiksi. Akumulasi jangka
panjang dari mengonsumsi rokok ini bisa memicu munculnya kanker. Dalam vape,
bahan pemicu kanker pun ada dalam komponen logam alat hisapnya. Belum lagi, uap
pada vape mengandung Particulate Matter (PM 2.5), yakni debu sangat halus yang
bisa mengganggu pernapasan. Ngei yang terselubung, bukan?
Sebagai Anak Muda, Kita Harus Bagaimana?
Menanggapi soal naiknya harga cukai rokok ini, mungkin
sebagai anak muda yang berharap agar Indonesia terbebas dari asap rokok,
mendukung dengan senang hati. Namun, urusan rokok begini, nggak bisa hanya
diserahkan kepada pemerintah saja. Perlu pula untuk kamu – juga saya – berbuat sesuatu,
dengan berprinsip untuk hidup jauh dari rokok baik konvensional maupun vape.
Pun untuk kamu yang masih single, sebaiknya berjuang keras mendapatkan calon pasangan
hidup yang juga nggak merokok. Kalau nggak dimulai dari kamu – juga saya – yang
masih muda begini, siapa lagi? Kalau nggak prinsip ini dipegang teguh oleh anak
muda seperti kita, lalu kapan lagi generasi Indonesia berikutnya akan terbebas
dari paparan rokok?
Catatan lagi, saya – semoga juga kamu -- mendorong
pemerintah serta politisi di tahun politik ini untuk #putusinaja memasukkan
kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat di berbagai agenda dan
kebijakan politik yang akan dibuat. Dengan begitu, semoga Generasi Emas
Indonesia 2045 akan terbentuk dari berbagai keluarga kecil yang telah jauh-jauh
dari rokok.
Jika Cukai Rokok Naik, Apa Perokok Aktif Akan Berhenti
Merokok? Saya masih sangsi. Tapi kalau dalam urusan mencari teman dan pasangan
hidup saja sudah mulai menghindari para perokok, semoga saja. Dimulai dari diri
sendiri, dari keluarga inti, dari lingkungan terkecil kita. Yuk, nggak perlu
ragu. Soalnya banyak yang punya pasangan perokok jadi sering lelah hati mengingatkan
untuk berhenti, soalnya rokok itu adiksi. Lebih baik sejak awal, menghindari
dan nggak memilih yang merokok kan?
Tulisan ini saya buat untuk mengikuti lomba blog yang diadakan
oleh Kantor Radio Berita serial #putusinaja. Kamu juga punya pendapat lain? Yuk
Ikutan.
Menurut saya tetap harus dari diri sendiri yg berniat utk berhenti merokok, minimal mengurangi rokok secara perlahan. Kalo gak niat biarpun cukai rokok naik tetep aja si perokok beli..
BalasHapusJawaban aku untuk gambar2 yg ada dibungkus rokok sngat menakutkan sih kak hehe. Tp mash penasaran sama jawaban versi perokok sih ;) anw terimakasih udah share ini dan goodluck buat lomba nya ;)
BalasHapusputusin aja... senang kalo banyak orang2 yg sadar akan bahaya rokok dan mulai berhenti merokok.
BalasHapusdulu papiku perokok berat, pulang naik haji dapat hidayah dan berhenti merokok.tidak bisa langsung berhenti, tapi dikurangi dulu secara bertahap. asal ada niat, berhenti merokok pasti bisa berhasil :)
Wah nice info banget nih kak. Memang butuh perjuangan dan dorongan banget agar orang yang kita sayang berenti merokok. Alhamdulillahnya saya memang bukan perokok, hehe
BalasHapusMerokok ini memang masalah banget ya mbak. Aku punya beberapa teman dan family yang perokok. Dulu juga mantanku perokok. Dengan segala kemungkinan buruk yang dijelaskan tetap gak ngaruh gitu. Bahkan soal isu kenaikan cukai ini pun tetap aja mau merokok, harga murah atau mahal karena sudah candu susah lepas. Semua kembali ke niat pribadinya ya kan ,mbak.
BalasHapusInfo menarik, tp tetep sich harus ada korelasi yg bisa buat perokok berhenti merokok..
BalasHapusKalau menurut Saya selain menaikan cukai rokok, perlu Ada sosialisasi soal efek rokok pada second hand smoker. Yg kena efek rokok sehinga sakit paru, jantung, padahal tidak merokok. Perlihatkan apa yg telah terjadi pada orang dinsekitar perokok supaya Ada efek jera
BalasHapushmm... tetap susah ya, kalau gak dari diri sendiri. Ada aja alasan bagi perokok untuk tidak meninggalkan rokoknya. Kecuali dia mau berjuang
BalasHapusNggak yakin juga kalo bea cukai naik, jumlah perokok berkurang. Soalnya rokok itu bisa dibilang life style. Dimana orang-orang akan menjadi bangga bisa tetap mengkonsumsi rokok karena harganya mahal. Penting itu kesadaran individunya sich kalo menurut saya
BalasHapusBerhenti merokok itu sebenarnya harus datang dari kesadaran sendiri
BalasHapusMau dinaikin berarapun, klo udah kecanduan ya tetep bakalan nyari
Tapi ya aku sih setuju cukai rokok dimahalin, mudah-mudahan beneran bisa mengurangi para perokok aktif
Aku juga berharap harga rokok di Indonesia itu mahal, supaya tidak banyak lagi perokok aktif. Dan tidak ada lagi korban perokok pasif. Papaku baru aja meninggal 2 bulan lalu karena aktif banget merokok. sampe paru2nya hampir 90% isinya CO2 smua :(
BalasHapusKalau berkurang aku yakin bisa, karena jika rokok mahal mereka pun berpikir ulang akan membelinya. Nah, dari berkurang dengan dukungan support system bisa ke berhenti. Asal ada juga kemauan dari diri sendiri.
BalasHapusYang penting naikkan dulu harga rokok hingga (nyaris) tak terbeli...
Keyakinan selalu ada jika untuk sebuah kebaikan, bukan
Saya masih ragu kalau cukai naik, perokok aktif akan berhenti. Kalau berkurang jumlahnya mungkin iya. Tetapi, tetap saya apresiasi kebijakan ini
BalasHapusSaya sangat setuju dengan adanya sistem yang lebih menyadarkan para perokok aktif untuk mulai berhenti mengkonsumsi tembakau itu
BalasHapusDan yg lebih aneh tren rokok elektrik pun saya rasa bukan solusi sebab nyatanya dampak yg ditimbulkan tak jauh lebih bahaya bagi kesehatan