Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Kontemplasi Jelang Menua

Suatu pagi, saya terbangun, lalu duduk terdiam tanpa beranjak dari hangatnya selimut bulu hadiah dari Mama dan Papa saat saya baru menikah dulu. Hangatnya selimut itu membuat sebuncah rindu akan keduanya datang, membuka ingatan akan mereka. Ah … waktu terus berlalu, saya sudah jelang menua.

 menemukan diri sendiri

Ingatan masa kecil tentang keseruan bermain layang-layang di ladang Jagung dekat rumah kami di Lombok bersama Papa, hingga senja tiba. Rengekan saya sembari duduk di ayunan ban bekas, meminta bubur ketan hitam pada Mama yang baru pulang dari pasar sementara saya belum menurut untuk mandi pagi. Atau keisengan saya main petak umpet di klinik kecil yang Mama saya kelola di rumah kami, sampai Mama kebingungan mencari saya, dulu. Berkejaran di kepala.

Ketika itu, Mama dan Papa nampak selalu bugar. Usia keduanya mungkin sekitar 30-an awal. Mereka membersamai saya yang kadang menangis saat jatuh dari sepeda. Kadang pulang ke rumah dengan baju penuh pasir pantai, lalu mulai mengoceh kesal, sebab saya sudah sering dilarang main ke Pantai Sansit tanpa pengawasan, namun seringnya melanggar. Ya … walau saya pulang dengan seember kecil kerang lonjong.

Keduanya melewati waktu dan makin nampak menua, hingga akhirnya saya pulang ke rumah kami di Bogor, lalu berkata “Ma, Pa, Kakak mau minta ijin, kalau boleh, Kakak mau menikah.”

Di titik itu, jiwa muda saya meminta lepas dari rengkuhan Papa. Lelaki yang pertama kali mengenalkan saya tentang bagaimana Padi disemai di sawah yang nggak jauh dari rumah masa kecil saya di pinggir Kota Mataram, hingga bagaimana saya membuat beliau bangga saat SMP, ketika saya ikut pertukaran pelajar yang diadakan oleh LIPI.

Beliau pernah mengira, jika nggak jadi tenaga kesehatan seperti Mama, saya akan mengikuti jejak beliau sebagai dosen. Lalu kelak akan tetap jadi anak gadis kesayangannya. Terus begitu … dan begitu saja.

Di masa persiapan pernikahan yang saya dan partner lebih banyak mengurusinya secara mandiri, Mama sering berkisah kalau di malam-malam setelah pertemuan beliau dengan partner saya kini, sering beliau berkaca-kaca, dan bertanya pada Mama, “Acha cuma dipinjam, kan? Bukan diambil kan? Acha selalu jadi punya Papa kan?”

Tapi di balik semua itu, tiap bertemu saya, Papa selalu berpesan agar saya hidup dengan baik. Hingga hari ini, ocehan beliau adalah … hiduplah dengan baik. Sekali dua kali ia bertanya soal pendapatan saya sebagai freelancer. Apakah cukup untuk diri saya? Apakah perlu beliau membiayai S2 saya nanti? Apakah cucu-cucu beliau sering membuat saya susah?

Maka saya selalu berkata, “I am ok, Pa.” Saya mencoba membuat Papa dam Mama tetap percaya, bahwa saya akan menua seperti mereka, dan hidup dengan sebaik-baik yang saya bisa. Langgeng mesra.

Kemudian kontemplasi jelang menua saya bermuara pada kesadaran atas kebiasaan yang mulai sering saya lakukan kembali.

Minum Air Putih yang Cukup

Mama mencontohkan saya untuk membawa air minum saya sendiri jika harus berkegiatan di luar rumah, sedari kecil. Hingga kini, beliau masih selalu berangkat ke Puskesmas tempat Mama bertugas, dengan tumblr besar nan penuh oleh air putih.

Mama sekali dua kali melarang saya minum minuman bersoda, selain karena katanya nggak baik untuk kesehatan, juga nggak bisa membuat saya nampak awet muda. Ya … walau ada saja masanya saya akan melanggar pesan beliau kalau sudah mampir ke tempat makan ayam goreng cepat saji bersama teman-teman saya semasa sekolah.

Namun kini, saya menemukan wajah Mama saya yang memang nggak lekas nampak menua. Mama selalu dikira baru punya anak di usia SMA. Iya, adik bungsu saya malah dikira anak pertamanya. Hiih. Lalu beliau bangga atas kebiasaan baiknya tadi.

Saya tersadar kalau pernah banyak nggak menurut saat tinggal jauh dari beliau. Saya mulai nggak minum dua gelas air di pagi hari, tetapi hanya segelas saja, karena saya merasa nggak ada lagi yang mengawasi.

Saya memang masih seperti ‘galon’ kalau istilah teman kantor saya dulu, karena saya paling hobi bolak-balik ke dispenser ruangan untuk mengisi gelas minum. Tapi … di kamar kosan, saya cenderung menunggu merasa haus. Padahal rasa haus datang sebagai efek kalau tubuh kurang terhidrasi dengan baik.

Berhenti Jadi Nokturnal

Ada masa dimana saya sering diomeli Mama, bahkan Papa sering tiba-tiba datang ke kamar untuk mematikan lampu dan menyuruh saya tidur. Masa itu, ketika saya sudah jadi anak kuliahan. Jiwa muda saya yang sok-sokan maunya jadi penulis fiksi, seringnya baru terlelap seusai Subuh hari.

Memang … dulu saya mengatur diri agar nggak menjadi burung hantu kalau besoknya ada kuliah pagi. Tapi ternyata, alasan itu nggak pernah disetujui.

Saat bekerja sebagai Copywriter in House di Jakarta Selatan, karena merasa jauh dari orangtua, kebiasaan nokturnal ini datang hampir setiap hari. Saya senang mengambil side job, menonton, atau membaca hingga jelang pagi. Apalagi kantor dan kosan saya hampir mepet, tinggal nyeberang, cukup jalan kaki. Jarak dekat membuat saya makin bersemangat mengikuti jam tidur kelelawar lagi.

Namun ketika saya tersadar kalau diri saya akan sampai juga di usia kepala tiga, saya berhenti, Tepatnya, terhenti. Menghentikan diri.

Saya menukar jam kerja saya dengan bangun lebih awal di pagi hari. Saya ingin hidup saya lebih baik dari sebelumnya. Saya nggak mau jadi tua sebelum waktunya tiba.

Banyak Belajar Untuk Mencintai Diri Sendiri

Kembali karena saya merasa sudah jelang kepala tiga, kala itu saya mulai belajar merawat diri dengan lebih baik lagi. Saya belajar tentang skincare. Termasuk tentang menjaga kesehatan dengan makan makanan yang lebih baik sesuai aturan Isi Piringku, bahkan mencari tahu tentang tanda mengalami menopause pada wanita.

Wah, Ka Acha hobinya berpikir kejauhan. Ya … memang begitulah saya, sering sih, bukan kadang-kadang lagi.

Nggak hanya sampai di situ saja. Saya belajar untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang saya jalani. Tampil manis sesuai dengan usia saya, walau berpose dengan boneka beruang kesayangan masih sering menggoda.

Tapi ya … saya berusaha, berjuang untuk menepati janji saya pada Mama dan Papa dengan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya yang saya bisa. Mengusahakan untuk selalu jadi lebih baik dari diri saya beberapa tahun ke belakang. Termasuk, menjadi lebih bahagia dengan nggak banyak menuntut keadaan.

Memilah, mana yang logis bisa dikejar, mana yang terlalu halu. Mensortir, mana yang bisa disegerakan, mana yang perlu direncanakan dengan matang.

Menyediakan Waktu Bagi Orang Terdekat

Saya belakangan lebih banyak memprioritaskan keluarga. Banyak masa dihabiskan dengan bermain bersama dua bujang balita saya. Juga tentunya, mencuri-curi waktu untuk couple time dengan si partner, sebab semakin si kecil tumbuh besar, semakin banyak interupsi dari kedua balita ini.

Untuk urusan pertemanan, secara sadar saya memang menjauh dari orang-orang yang terlalu keras menyampaikan pendapat mereka dan seolah memaksa saya untuk mengikuti jejak mereka. Bagi saya, setiap orang memiliki karakter berbeda dan nggak bisa dipaksa. Sudut pandang pun nggak akan selalu sama, bukan?

Namun saya masih selalu ada untuk teman-teman yang saya letakkan sebagai support system. Bertanya kabar, bertukar canda walau kami berjauhan sejak pandemi memaksa hampir semua orang lebih banyak berdiam di rumah saja.

Tetap Bermain Tapi Bukan Sekadar Main

Dulu rasanya saya terlalu senang bermain-main. Padahal saya paham, hidup itu terkadang seperti bermain, namun jangan pernah main-main dengan kehidupan. I mean, fokus saya terlalu banyak. Ternyata makin menua, rasanya jadi lebih spesial dan spesifik itu lebih menarik.

Saya belakangan ini lebih banyak berdiskusi dengan teman dari berbagai profesi. Belajar dari rekan kerja, belajar bersama teman-teman sefrekuensi tentang urusan dunia akhirat. Banyak bermain, tapi ya bukan main saja.

Demikianlah kontemplasi jelang menua yang belakangan makin sering saya lakukan di pagi hari, sebelum mulai sibuk dengan urusan rumah tangga dan juga pekerjaan. Saya mensyukuri waktu panjang yang telah saya lalui, dan bismillah saya bersiap untuk masa depan yang belum saya ketahui.

Semoga rentang usia yang Allah SWT berikan pada saya, menjadi berkah. Bukan panjang umur yang saya minta soalnya. Tapi meninggalkan banyak hal baik agar bisa menambah amal jariyah. Bismillah.


Komentar

  1. Duh baca ini jadi berasa jadi tuwah banget hahaha.
    Tapi memang iya sih, kalau saya kadang agak-agak amnesia kalau ternyata saya udah tuwah, udah mamak-mamak.

    Padahal, mungkin saja ujung usia sudah semakin mendekat, Astagfirullah.
    Btw thanks ulasannya Cha, jadi lebih mengingat usia yang mungkin semakin sedikit :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak juga sudah mampir Kak Rey. Semoga kita semua sekeluarga sehat selalu.

      Hapus
  2. Acha ini ada-ada aja. Lha kalau Acha merasa menua, terus aku ini apa..?

    *ngetik gini sambil siap-siap senam Taichi dan minum susu yang banyak kalsiumnya*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngakak aku Mba Vick. Lha iya sih ya.

      Etapi aku emang kadang merasa mulai menua soalnya sudah nggak remaja lagi gitu Mba.

      Hapus
  3. Emang kalau usia bertambah tuh, rasa-rasanya ada aja yang jadi pemikiran ya. Dari yang tadinya abai pada hal-hal kecil, kini jadi lebih fokus dipikirkan. Kaya minum air putih, aku juga sering banget nyepelein. Eh setelah tambah tua, baru tahu kalau manfaatnya buat tubuh banyak banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget Mba. Jaman kecil aku cuek, lha sekarang malah jleb setelah tau manfaatnya.

      Hapus
  4. semacam mengingatkan diriku banget sih, terutama masalah mencintai diri sendiri, terkadang untuk menyenangkan orang lain malah menyakiti diri sendiri. Jangan sampai deh kejadian buatku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang nggak nyaman sih Bang kalau apa apa tuh buat orang lain. Bikin bahagia orang lain. Ya nggak gitu juga kan ya Bang.

      Hapus
  5. Waaa jadi ingat masa kecil, dan ternyata aku sudah setua iniiiii...ahahha...suka gak merasa, apalagi klo ngumpul bareng alumni jaman sekolah, udah dech berasa muda aja terus ahahha. Menarik itu bahasan terakhir tentang tetap bermain tapi jangan sekadar main,mesti ada manfaatnya dan berkah buat sisa hidup ya.

    BalasHapus
  6. Aamiinn. Mudah-mudahan sisa usia kita berkahh dan bner2 dimanfaatkan untuk yg positif ya kak achaa. Btw aku jg punya resolusi memperbanyak minum air putih nih hahaha. Udah nahan2 ga minum kopi pake gula

    BalasHapus
  7. Baru-baru ini salah satu teman penulis kesehatannya sempat drop yang salah satunya disebabkan kebiasaan begadang. Salah satu temen baikku juga makhluk nocturnal. Aku sudah sering mengingatkan soal ini, tapi ternyata kebiasaan "ngalong" ini sudah berlangsung lama.

    Aku pribadi, sebagai orang yang ngantukkan suka takjub sama yang biasa begadang. Sebab, kalau aku begadang, besoknya udah berubah jadi zombie hahaha. Bawaan lemes, persis kayak mayat berjalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Persis Bang. Aku pun gitu kalau begadang. Bawaannya nggak enak di badan besoknya. Kelelahan karena waktu tidurnya kelewatan.

      Hapus
  8. Salah satu tantangan sebagai orang dewasa adalah tidak menjadi makhluk nokturnal. Ini benera susah banget. Kadang banyak banget yang dipikiran kalau sebelum tidur yang bikin jadi nggak bisa tidur. Hiks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mbak, saya typical nocturnal mom juga. Rasanya tenaga dan ide itu lebih on saat dini hari tiba. Jadi saya menyiasatinya ya sebisa mungkin setelah shalat isya tidur dulu. Jadi pas 'jam kerja' bisa bertarung tanpa kurang jam tidur. hehe.

      Hapus
  9. Seperti bagaimana cara kita mempersiapkan hari tua kita. Bukan hanya dari segi materi, akan tetapi lebih kepada kesiapan kita diperlukan menjadi orang tua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya. Banyak yang terfokus pada menyiapkan materi, padahal kesehatan dan kedekatan juga sama pentingnya.

      Hapus
  10. Btw maaf, kak Acha emang umur brp skg? Bagiku di usia 30-an saat ini, aku makin memilah-milah kegiatan dan tidur dengan waktu yang cukup. Plus, setuju kak,,,meminum banyak air putih. Semoga semakin hari kita lebih menyadari menjaga pola hidup, soal makan dan minum yang sehat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku berkontemplasi karena merasa diri ini sudah otewe 30 Kak. Sudah bukan kepala dua lagi tapi jelang kepala tiga.

      Makanya mulai merasa, pola hidup itu makin penting.

      Hapus
  11. liat cerita ini berasa jadi refleksi untuk diri sendiri. sama mbak, ortu makin lama makin menua,, hehe jadi flashback masa kecil nih dimana dulu ortu masih muda dan aku juga masih kecil .. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba. Dulu mereka segar bugar menemani kita pas kecil. Sekarang sudah nampak menua.

      Hapus
  12. Membaca postingan ini, mataku jadi berkaca-kaca. Jadi teringat kedua orangtua yang sudah lansia. Meski aku belum bekeluarga, tapi terlihat dari raut wajah orangtua, mereka tidak ingin aku salah pilih dan "meninggalkan" mereka.
    Sama seperti kakak, di usia yang semakin bertambah ini, aku juga mulai mengubah kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik menjadi lebih baik. Seperti memperbanyak waktu dengan orang terdekat, mulai mengurangi main yang tidak ada manfaatnya, dan juga belajar meningkatkan self love.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget Mba. Aku pun mulai memilah pertemanan. Mencari yang sehat dan bisa saling support, bukan sekadar kumpul kumpul senang.

      Hapus
  13. Waktu bergerak sangat cepat ya mba. Slide demi slide kenangan hilir mudik di kepala. Banyak kenangan indah yang membuat kita ingin kembali ke masa itu tapi bagaimana mungkin? Tua itu pasti, tapi umur hanyalah angka-angka. Persiapkan diri sebaik-baiknya karena waktu tak akan kembali..

    BalasHapus
  14. Mba aku baca in jadi membayangkan kehidupan bersama ortu-ku dulu di papua... main lari2 bersama papa atau main masak2an bersama mama.. makasi ya mba udah membuat aku teringat kmbali masa2 indah itu bersama alm papa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga almarhum papanya ditempatkan di tempat terbaik ya Mba.

      Peluk virtual.

      Hapus
  15. Manusia, benda dan semua yang tercipta sudah sewajarnya semakin beradaptasi dengan keadaan. Aku juga merasa, saat dulu masih sekolah, kuliah dan bekerja, menjadi nokturnal bukanlah hal yang memberatkan.

    Badan tetap bugar, fokus melakukan banyak hal dan hidup normal di pagi hari. Namun ketika sudah beranjak semakin dewasa usia, rasanya badan sudah minta diistirahatkan. Tidak bisa terlalu banyak dan sering begadang.

    Saatnya menyadari dan kontemplasi lalu cepat beradaptasi.
    Aah~
    Memang kita harus memberikan hak pada tubuh ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget Teh. Aku mensyukuri pandemi begini pun jadi nggak banyak begadang lagi. Sadar diri udah otewe kepala tiga.

      Hapus
  16. Tema tulisannya menarik sekali kak Acha..semakin bertambah umur memang sebaiknya semakin banyak kontemplasi yang kita lakukan. Yang pasti banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dari setiap perjalan hidup yang sudah kita lalui. Semoga kita semua sehat selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita semua sekeluarga sehat selalu Mba. Aamiin.

      Hapus
  17. Aamiin ,daku pun juga berharap gitu kak Acha untuk diriku sendiri agar bisa membawa manfaat dan banyak bekal untuk di bawa ke sana. Semoga kita Istiqomah ya, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga banyak bekal untuk pulang dan istiqomah.

      Hapus
  18. ah baca ini jadi ikutan berkontempelasi mbak..
    senangnya masih punya orang tua yg masih selalu memberikan perhatian meski kita sendiri telah menua

    BalasHapus
  19. So sweet banget hubungan mba Cha dengan Papanya mba Cha yaa. Kalau saya hikss, selalu clash dan bertolak belakang wkwkw. Jadinya yaaa hot cold gitu la, tapi jarang banget bisa luwes kecuali sama ibu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Mba. Tiap anak ya rejekinya masing masing kalau urusan kedekatan dengan orangtuanya.

      Hapus
  20. Baca ini kaya berasa bercermin dgn gw sendiri. Hidup gw kayak buat diriku sendiri. Hidup nokturnal demi kerjaan. Namun pandemi mengubah segalanya. Aku balik kampung. Kini berasa dekat kembali dgn ortu dan keluarga lain. Hidup terasa lambat namun lebih bahagia dan bermakna.

    BalasHapus
  21. Kalau cuma dipinjam, berarti akan dikembalikan. Tapi kalau diambil malah kehilangan??

    Pemikiran khas jelang pernikahan banget ya cha. Entah orangtua maupun calon pengantin pasti gelisah menghadapi hari-hari sakral. Tapi semoga semakin bertambahnya usia, semakin dewasa pula pola pikir kita 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.

      Iya. Ternyata ayah akan selalu begitu, apalagi yang menikah ini anak perempuannya.

      Hapus
  22. Ya Allah, umur baru mau 25 tapi kenapa baca semua tulisan disini kok seperti relatable sama diri saya ya, hiks.
    Memang, semakin tua kita makin banyak tantangan. Di satu sisi perlu banting tulang buat pendapatan, tapi di sisi lain juga harus peduli kesehatan, dan belajar menghargai diri agar tidak stress berlebihan.

    Makasih kak, aku suka tulisannya!
    Fajarwalker.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir ke sini juga ya Mas Fajar.

      Hapus
  23. berharap semua masa tua yang dilewati akan berjalan indah, baik secara sehat fisik dan spiritual. semua harus dipersiapkan secara matang sejak sekarang. semoga kita sudah siap semuanya dari sekarang

    BalasHapus
  24. Mengaminkan doa baik di penutup tulisan
    Juga menyepakati sebagian besar isinya. Menua benar adalah tentang banyak penerimaan. InshaAllah

    BalasHapus
  25. Aku menjelang 40 tahun juga mulai menatap masa depan, melihat perjalanan ke belakang yang sepertinya ya banyak kekurangan dan oleh karena itulah jadi butuh pelajaran dan dukungan orang terdekat. Jadi benar tuh yang disampaikan, selain mengurangi hobi begadang dan memperbanyak konsumsi air putih, mengandalkan orang terdekat seperti keluarga dan sahabat adalah solusi buat meningkatkan diri, terutama kesadaran untuk menjelang masa depan. Terima kasih sudah diingatkan.

    BalasHapus
  26. doa yang sama yang saya panjatkan juga semoga diberikan kesehatan yang baik agar bisa melakukan banyak hal baik untuk bekal nanti, salah satunya membiasakan banyak minum air putih karena aq lemah banget pengen minumnya boba melulu yang banyak gulanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huwaaa boba memang jagoan banget. Selalu menggoda.

      Hapus
  27. Baca tulisan ini ada beberapa hal yang juga terasa di aku saat jaman-jaman ngekos dan kerja sekarang. Beberapa berubah tapi kadang aku berpikir kalau ada hal-hal yang jadi jelas fungsinya kalau sudah berubah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah.

      Iya Mas. Kadang terpikir, yaaa ... sayangi diri juga dengan hidup lebih baik. Bukan sesukanya seperti dulu.

      Hapus
  28. Tiap hari saya berpikir bahwa senja akan datang, maka salah satu yang dilakukan adalah tetap jaga kesehatan. Salah satu sifat nokturnal yang belum bisa dilepaskan ini mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat Mama Kinara. Akan ada waktunya si nokturnal teratasi.

      Hapus

Posting Komentar