pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Seberapa sering sih, kamu menemukan informasi yang di-forward begitu saja di Whatsapp Group keluarga dan kamu sebenarnya tahu, si berita itu nggak valid? Kamu ikut bantu cegah hoaks di lingkungan keluarga, apa cenderung diam saja?
Ka Acha merasakan sekali, betapa kadang, membicarakan
berbagai informasi umum yang sedang panas-panasnya diangkat di media, bersama
dengan generasi yang lebih senior, seringnya nggak mudah. Mau nyeletuk itu
hoaks atau memberi informasi sanggahannya saja, seringnya dibantah duluan.
Ini dimasukan jenis luka hati yang nggak berdarah, boleh
nggak?
Lha tapi … nggak cuma “generasi tua” saja sih yang begini.
Ada masanya, saya juga terjebak debat kusir sama teman seumuran, lalu berakhir
dengan saya yang malas berteman lagi sebab ia terlanjur menganggap saya “terlalu
open minded” alias nggak sholehah.
Kadang malah ditimpa lagi dengan informasi dari media online
lainnya secara bertubi-tubi, sampai pada satu titik, “Ok. Kalo urusan begini nggak
lekas diakhiri, bisa berkepanjangan nih, wasting
time, lelah hati.”
Alih-alih diceletuki, “lho, foto sama video kan nggak bisa
bohong.” Aduh aduh … seketika kepala Ka Acha pusing.
Bahkan belum lama ini, ada oknum keluarga yang bilang kalau
sebenarnya Covid-19 itu nggak ada. Tes PCR lalu hasilnya positif itu bisa
saja akal-akalan Rumah Sakit alias meng-covid-kan seseorang. Padahal yang
berbicara ini punya gelar pendidikan yang nggak bisa dipandang sebelah mata.
Kisah lainnya, saya dibuat mau ngamuk, gara-gara oknum yang
mari kita sebut saja dengan “doi”, mengajak saya debat soal Corona itu virus
atau bakteri. Salah satu ciri Covid itu kelihatan lidahnya jadi dingin. Herbal
itu lebih manjur daripada pengobatan modern. Heeeyyyy ….
Mungkin awalnya, si doi ini ingin bertanya ke Mama Ka Acha
lebih jauh soal si virus penyebab pandemi. Dalam artian, doi paham kalau Mama
Ka Acha sedikit banyak lebih tahu karena merupakan seorang tenaga kesehatan. Tapi
… kenapa ujungnya harus mendebat saya yang ikutan menjawab, dengan memunculkan
berbagai sudut pandang pengobatan herbal, seolah yang dilakukan tenaga medis
sejauh ini sungguh nothing?
Pada akhirnya, saya mengalah, memilih diam, sambil mengelus
dada. Hoaks itu benar-benar nyata efek negatifnya.
Kamu pernah dengar dan baca berita hoaks apa nih, belakangan
ini?
Sepanjang Ka Acha mengikuti workshop cek fakta kesehatan yang diadakan oleh Cek Fakta Tempo bekerjasama dengan Komunitas ISB sepanjang 18 – 19 Juni 2021 kemarin, saya jadi belajar banyak tentang mengapa hoaks muncul dan berkembang dengan mudahnya.
Perkembangan internet dan media sosial yang pesat, nyatanya
nggak diiringi dengan kemampuan literasi digital yang baik. Mudahnya
percaya akan berbagai informasi tanpa adanya sesi menyaring terlebih dahulu, menjadi
salah satu pintu yang “bobol” oleh banjir informasi, sehingga cegah hoaks
serupa perjuangan yang nggak mudah dijalani.
Sadar nggak sih, berbagai informasi yang dimunculkan di
media digital, belum tentu sudah melalui proses moderasi yang ketat?
Siapa saja bisa membuat tulisan di blog. Siapa saja bisa
menayangkan unggahan di platform media sosial yang dimiliki. Siapa saja bebas
mengungkapkan pendapat serta kritikan keras, tanpa terbatas waktu. Seolah, siapa
saja bisa menjadi jurnalis yang datang membawa berita “terpercaya”, tanpa harus
punya penyunting naskah di belakangnya.
Adanya polarisasi dalam kehidupan berpolitik, berbudaya, juga lainnya, turut andil dalam muncul dan meluasnya hoaks. Fanatisme berlebihan terhadap ideologi, dan lain sebagainya, membuat hoaks beredar cepat. Chaos jadinya.
Bisa jadi, hoaks yang menyebar memiliki tujuan tertentu
dibaliknya. Sesuatu yang mungkin sedang bergerilya, untuk hadir sebagai bahaya
laten. Kesemuanya mengambang, berawal dari jurnalisme yang lemah, provokasi,
lucu-lucuan, atau ada udang di balik tahu alias ada cuan yang sedang diburu.
Judul berita yang bombastis. Artikel nan klikbait.
Propaganda yang muncul diam-diam. Bisa jadi kan?
Hmm … mau sampai kapan saya – dan kamu – mau diperdaya
dengan mudah, berkoar selepas baca berita hasil forward di grup keluarga, agar bisa muncul sebagai insan “cerdas
memesona” lalu merasa jumawa?
Payahnya, dampak dari hoaks nggak bisa dianggap main-main.
Adanya misinformasi di masa pandemi seperti saat ini,
sesungguhnya membuat ngeri. Bagaimana nggak begitu coba, berbagai informasi
yang belum tentu benar dan tanpa melalui proses cek fakta, menyebar cepat,
masif pula.
Infodemik, semisal tentang isu rumah sakit yang meng-covid-kan pasiennya, atau berbagai obat-obatan yang bisa dikonsumsi sendiri untuk penyembuhan Covid, sampai ke tahap tes swab bisa dilakukan secara mandiri karena ada alatnya yang bisa mudah dibeli … apa kamu nggak jadi sesak napas kalau dapat informasi ini?
Makanya, demi cegah misinformasi, berbagai platform digital yang kamu jadikan acuan
sebelum mengambil kesimpulan, akan lebih bijak jika kamu periksa lebih dulu,
cari berita pembandingnya dulu, telusuri dulu.
Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa kamu lakukan, sebelum kamu mempercayai informasi yang kamu dapatkan. Mudah kok. Hanya butuh menaikkan sedikit level literasi, termasuk bersabar, menahan diri, sebelum menyampaikan kembali apa yang kamu ketahui.
Sebab menghentikan aliran hoaks sendirian itu nggak mungkin,
ditambah dampaknya yang nggak bisa disepelekan, makanya … yuk belajar bersama
untuk menahan diri menyebarkan informasi dengan mudah.
Cegah hoaks sampai di kamu saja, soalnya kalau terlalu
berkembang bebas, jadinya bisa buat kita semua nggak baik-baik saja.
Seperti yang sebelumnya sudah Ka Acha sampaikan di atas,
tentang kemampuan dasar cek fakta demi bantu cegah disinformasi berkembang
luas, saya juga belajar tentang bagaimana sih caranya melakukan verifikasi dari
foto juga video yang memuat informasi mencurigakan.
Hihi ... serasa jadi detektif.
Ah ya, biasanya hoaks kan mulai disebarkan oleh situs
abal-abal nih ya. Nah, ada ilmunya nih biar kamu waspada sebelum percaya
sepenuhnya.
Hal pertama yang perlu kamu lakukan yaitu cek dulu alamat situsnya
di domainbigdata.com. Kalau si situs memang sudah pakai top level domain.
Kalau belum, semisal ada embel-embel dot.blogspot.com
misalnya, di belakang domainnya, kamu wajib waspada.
Selanjutnya, perhatikan … apa si situs berita tersebut sudah
tercatat di dewan pers. Walau ada sih beberapa media yang belum berbadan hukum.
Ok, level waspada boleh kamu naikkan kembali.
Tahap ketiga, coba lihat logo medianya. Mirip sama logo
media mainstream nggak? Hal sepele
begini ternyata bisa jadi tanda juga lho.
Lalu, cek pakem media dan bagian “about us” atau “tentang kami” dari situs tadi.
Kemudian, tetaplah waspada, dan cari tahu kembali tentang
informasi yang baru kamu dapatkan tadi, melalui media mainstream. Biasanya sih
kalau hoaks, akan dikonfirmasi.
Terakhir, dari informasi pertama yang kamu dapatkan tadi,
cek foto yang ditayangkannya dengan menggunakan Google Reverse Image, agar kamu
bisa tahu, di situs mana foto tersebut pertama kali ditayangkan, dan dengan
memunculkan informasi apa. Apakah sama dengan berita yang kamu dapatkan?
Tahulah ya, mencuri konten menjadi salah satu ciri dari
situs yang memang dibuat demi menyebarkan misinformasi. Sengaja membuat kisruh
dengan infodemik. Tujuannya, mana tahu.
Ah iya, aplikasi TinEye juga bisa nih dimanfaatkan. Kemarin,
sepanjang belajar cek fakta, aplikasi TinEye ikut dijadikan bahan pendukung dalam mengungkapkan
kebenaran suatu foto. Kelebihannya, aplikasi ini bisa mengurutkan sumber foto
berdasarkan urutan waktu. Pilih deh waktu yang paling tua.
Nah, kalau video, bagaimana?
Caranya adalah, ketika kamu mendapatkan video tersebut di
media sosial, tonton dan dengarkan dulu hingga selesai. Sepanjang menonton,
carilah petunjuk, seperti : bentuk bangunan, rambu jalan, plat nomor kendaraan,
papan reklame, nama jalan, dan lainnya. Dengarkan dengan seksama pula, bahasa
serta dialek yang muncul di video tersebut.
Kalau kamu menemukan tanda-tanda tadi, cari di mesin perambah
dengan memasukkan kata kunci. Misalnya, dalam video, kamu menemukan plang
bertuliskan Pasar Langowan, padahal berita mengangkat tentang keriuhan di
Wuhan, sebagai penyebab awal kemunculan virus corona. Eh pas dicari tahu,
ternyata si pasar ini adanya di Indonesia. Nah lho banget nggak sih?
Cara lebih ribet untuk menelusuri keabsahan video, bisa
menggunakan aplikasi InVID. Aplikasi ini membantu memfragmentasi video menjadi
foto dan bisa sekaligus melakukan proses reverse
image. Bisa juga menjadi media pemeriksaan forensik foto dari video yang
dilakukan sesi fragmentasi sebelumnya.
Panjang ya caranya?
Ya begitulah. Menemukan informasi yang merupakan fakta, di balik
timbunan hoaks yang sudah terlanjur menjamur memang nggak akan tinggal klik
selesai.
Namun, bagi saya – juga kamu – yang memang awam dan nggak
selalu bisa menyediakan banyak waktu dalam mencari tahu, apakah informasi yang
kamu terima ini fakta atau bukan, bisa melalui media terpercaya. Misalnya saja
melalui Cek Fakta Tempo, atau lini cek fakta yang dimiliki oleh media
jurnalistik mainstream lainnya.
Nggak semua orang bisa kritis atas informasi yang diterima.
Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan individu lekas percaya. Bisa jadi
sebab misinformasi sedari lama, lalu berakumulasi dan memunculkan kesimpulan
tersendiri atas dasar perasaan personal.
Sudah Ka Acha singgung di atas lho ya.
Sesederhana soal bahaya vaksinasi, bisa kamu temukan dulu
jurnal ilmiahnya melalui Google Scholar kan? Ada banyak jurnal dengan peer review yang bisa kamu baca sebagai
pelengkap informasi, agar kesimpulan yang kamu tarik nggak hanya selewat saja.
Dimana, jurnal begini merupakan hasil uji lanjutan oleh para ahli, dari jurnal
kesehatan yang sudah tayang sebelumnya (pre-print).
Jadi, ketika sudah banyak tenaga ahli yang menyampaikan
hasil uji dari penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain sebelumnya, maka
tingkat kepercayaan akan fakta hasil uji tadi, tentu lebih bisa dipercaya kan
ya.
Ah iya … jujur nih, sepanjang belajar di workshop cek fakta kesehatan kemarin tuh, saya sempat kecele, mana informasi yang menampilkan korelasi dan hubungan sebab akibat. Berasa banget kalau jadi kritis itu nggak selalu mudah.
Maka, bagi saya kemudian, setiap menemukan informasi yang (kok rasa-rasanya) nggak valid, baik di media sosial, terutama di whatsapp group, saya menahan diri. Memilih diam. Mencari tahu lebih banyak dulu, sebelum menyampaikan sanggahan atau pendapat. Ujug-ujug nyeletuk bilang si informasi itu salah kan sama saja memancing keributan.
sampaikan informasi yang benar dan sudah terkonfimasi bukan hoaks yuk |
Yuk sama sama kita cegah hoaks makin melenggang dengan sikap
kritis, tenang, cari tahu lebih banyak, baru sampaikan sanggahan dan pendapat.
Manfaatkan juga berbagai informasi terpercaya dari berbagai tim cek fakta yang telah dimiliki oleh media-media besar yang sebenarnya mudah dicari, jika kamu mau dan peduli.
Setuju. Kalau memang sekitar masih suka asal forward hoaks, jangan sampai ikutan. Sambil sedikit2 mengedukasi lingkungan, ya
BalasHapusBetul. Paling nggak dimulai dari sendiri dan keluarga terdekat dulu saja. Pelan pelan. Soalnya kalau langsung nyeletuk di "kolam" yang sudah lebih dulu memegang teguh pada berita yang ternyata hoaks, seperti suicide nggak sih Mba jadinya?
HapusSetuju sekali mba! Apalagi tantangan banget membiasakan untuk menegur orang yang menebar hoax di forum keluarga terutama. Kadang lebih baik diem aja deh daripada nambah masalah :')
BalasHapusIya sih. Walau terkadang, memberi edukasi sedikit demi sedikit ya nggak ada salahnya juga.
HapusHOAX sungguh berbahaya, mampu menghancurkan keutuhan dan beneran bisa membuat keributan. Jangan lelah untuk saring dan cek ricek semua informasi yang ada
BalasHapusHal yang sama Bang Don.
HapusJangan lelah untuk berbagi, paling nggak menjaga diri sendiri dari serangan infodemik.
Pernah banget kemakan hoax yang dari WAG. Gatel aja, sih, penasaran, kalo bisa dapat gratisan. Ternyata boong semua😁
BalasHapusHuwaaa taunya apa Kak Inda? Phising kah? Serem deh.
HapusAmpun deh soal hoax ini. Lebih-lebih yang terkait covid. Jujur aja, aku udah cukup stres dengan memerahnya Bandung saat ini. Eh, ketambahan lagi dengan info-info asal forward di berbagai WAG. Sering aku buka grup cuma buat clear chat :( Daripada makin stres....
BalasHapusIya lho Teh.
HapusSemisal hebohnya invermectin dan bahkan sekarang teman sendiri mau main asal saja konsumsi si obat cacing ini selama melakukan isolasi mandiri. Kan serem, kalau misalnya dia nggak cocok atau efek sampingnya malah memperparah kondisi, bagaimana coba?
Aku sering banget jadi "detektif" karena orang sekitar masih sering gampang forward suatu informasi gitu. Eh ternyata pas aku cek taunya lebih banyak hoaksnya dibanding yang bener. Seneng kalo penerimaan yg dikasih taunya tuh enak jadi bisa saling belajar. Cuma beberapa jg banyak yang gak terima akhirnya malah berujung debat kusir. Kalo udah begitu akhirnya aku cuma milih diem dan yaudah menyingkir gak mau ngelanjutin lagi karena cape euy.
BalasHapusYang penting orang rumah mah udah aku edukasi dan hamdalah udah pada lebih paham buat enggak sembarangan sebar informasi berantai gitu. Semoga pelan2 semuanya bisa lebih teredukasi dengan baik ya, Kak.
Mulai dari diri sendiri buat saring sebelum sharing.
Wah Mba Mita keren.
HapusIya lho, kalau ujungnya debat kusir dan membulat kemana mana sih kok rasanya malah buang buang waktu dan tenaga. Padahal niat pertamanya sih ikhlas mau angkat bicara soal hoaks yang diterima.
Karena kadang berita yang ternyat ahoax itu bisa aja datang dari teman akrab, disitu kita bviasanya jadi iya iya aja alias ikutan termakan berita hoax itu. Memang butuh literasi digital kita ya kak.
BalasHapusNah ini iya banget Kak Niken.
HapusMending pas dikulik mau minta maaf dan sadar kalau itu hoaks, kalau nggak ... yaaaa gimana lagi.
Iya sering juga nemuin berita hoax di WAG, terutama keluarga, karena memang basicaly mereka kan kurang pemahaman literasinya, makanya saya yang sering kroscek dan meluruskan berita yang bengkok (hoax) tersebut. Memang harus sabar sih ngasih tau ke WAG, meski terkadang suka dikacangin, hahahaha.... Sakitnya tuh di mari!
BalasHapusHuum, sayangnya memang pemahamana literasi di Indonesia berujung ke kurang kritisnya dalam menerima infirmasi. Nggak semua orang niat banget untuk ngulik dan cari tahu lebih lanjut sebelum mempercayai.
HapusOrang tua milenial dan generasi melek teknologi sekarang mudah tidak di pengaruhi oleh hoax karena sudah cukup pintar untuk mencari tau apakah berita itu fakta atau hoax. Motto saya saring dulu sebelum sharing
BalasHapusSemangaaaattt Mas.
HapusYang paling berat dari menangkal hoaks ini adalah pelakunya yang denial banget. Bahasa kasarnya sih ndablek. Entah karena malu pendapatnya di-debunked atau karena memang karena kebodohannya sehingga susah paham.
BalasHapusNah itu dia Bang Doel. Pusing deh menghadapinya. Entah akibat polarisasi atau bias perasaan.
Hapusah iya, aku klo daoat nerota yamg sumbernya g jelas ya g aku sebarin
BalasHapusberhenti di aku
Semangat selalu Mba Dee.
HapusSetuju banget kak, mulai dari diri sendiri. Apapun hal yang baik jika dilakukan dari diri sendiri Insya Allah pasti akan berdampak baik, satu persatu dan pelan-pelan tentunya.
BalasHapusIya ya Kak. Apapun diri sendiri dulu baru keluarga terdekat.
HapusMateri warkopnya mau menarik sih. Apalagi sangat dekat dengan pekerjaan kita sebagai blogger. Pas materi cek fakta juga lumayan banget ilmunya
BalasHapusBanget Mas Taumy. Jadi bisa ikutan banyak belajar. Enak pula cara penyampaian materinya.
HapusIya nih harus cek fakta supaya tidak asal share sehingga meresahkan masyarakat jadinya
BalasHapusIya ya Mba Amma. Walau ternyata prosesnya panjang luar biasa.
HapusBanyak banget hoax yang beredar khususnya terkait Covid, udahlah parno dan harap-harap cemas dengan keselamatan diri dan keluarga, hadirnya hoax ini bikin makin parno dah. Saya juga udah komitmen, kalo sumbernya ga jelas maka ga akan saya sebarkan, cukup berhenti di sini
BalasHapusBikin malah makin panik ya Mba.
HapusUdah banyak baca cerita pasien meninggal karena enggak mau ke rs gara2 takut dicovidkan...
BalasHapusKesel banget deh... Penyebar hoaks ini kaya pembunuh...
Nah itu.
HapusDuh, mungkin memang ada oknum, atau bisa jadi yang memulai kisah mengcovidkan itu nggak seutuhnya runut dalam bercerita atau menangkap penjelasan dari RS sebelumnya. Apa bisa jadi juga karena nggak kritis bertanya.
Makasih Cha, udah reminder soal hoax ini. Belajar langsung bareng dengan ISB pasti seru ya. Aku tipe yang nggak berani sebar tanpa cari tahu kebenarannya
BalasHapusSama sama Nyi.
HapusTerima kasih juga sudah mampir ke Taman Rahasia Cha ya Nyi.
Kak ada lho yang website kredibel kayak Who dan BPOM aja dianggap hoax dan konspirasi. Kalo sudah demikian agak susah kayaknya. Dia mganggap media besar dan kredibel adalah konspirasi elit global. Jadi bingung sendiri saya gimana cara mengkounter nya. Eh pas dia nyebutin web2 referensinya jebul Web tsb adalah Web yg suka nyebar hoaks. Lha jadi jelas banget memang dasarnya ga bisa bedain mana hoaks mana yg bener. Gemes!
BalasHapusNah lho kenapa kah bisa begitu haduuuuhhh.
HapusDuuuh, gemes banget emang ya Cha, kalau dengar orang anggap Covid ini gak ada, bla bla bla. Pernah merasakan seperti itu, rasanya pengen nyeletuk ke orang itu, Bapak percaya kalau udah rasain langsung apa?
BalasHapusBagus ya Cha, ada pelajaran tentang menangakal hoax ini, biar semua jadi tercerahkan.
Kadang memang seseorang akan mengolah informasi dengan bias perasaan dulu sepertinya, makanya masih ada saja yang suka begitu.
Hapuswkwk, terlalu open minded kenapa direlasikan dengan nggak sholehah, ya. Aku nggak sholekah juga donk berati kalau gitu mh.. huhu
BalasHapuskalau untuk orang awam kasus yang berhubungan dengan religiusitas emang lebih ngaruh ketimbang ilmiah, pada ilmiah itu juga hasil belajar yg mana adalah kewajiban kita sebagai muslim yaa. suka aneh aja kadang sama orang begitu itu. ckckck
Apa salahku Kak Ghina.
HapusPatah hati lho aku dibegitukan.
Nah ini, padahal sesuatu yang berbau ilmiah dan klinis itu kan saling bersinergi dengan apa yang agama ajarkan. Sesederhana, kenapa kita makan sebaiknya menggunakan tangan kanan, dan kenapa kalau minum itu harus dalam keadaan duduk.
Ada lho penjelasan ilmiahnya.
Di keluargaku sudah mulai melek ama berita hoax, apalagi di smartphone ortu banyak banget berita hoaxnya. Ortu nanya dulu sebelum share
BalasHapusAlhamdulillah. Keren ortunya Mba Mutia.
Hapusbener nih, hoaks tuh bisa berbahaya ya, apalagi sama berita-berita yang menyangkut hidup orang banyak, ngeri deh :(
BalasHapusSedih ya sekarang banyak berita hoax dan banyak yang percayaa, duhhh mudah-mudahan masyarakat kita semakin cerdas lagi mengolah berita yang ada
BalasHapusbenar, banyak yang gak saring berita dulu sebelum forward, huhuh, moga kita gak kayak gitu ya, berita hoaxnya sampai di kita aja, kita gak perlu meneruskan jika memang ragu, kudu dicek berulang dulu lah ya.
HapusSetuju banget ini.. Sering kali orang buat berita yg penting viral dan fakta yg diberikan nihil.. Sedih kalau ada berita seperti ini tu..
BalasHapusEntahlah Kak.
HapusMungkin memang ada kepentingan di baliknya. Maka dari itu, penting bagi pribadi kita untuk mencari tahu lebih dalam sebelum turut membagikannya.
Memang di grup misal PKK atau pengajian ibu ibunya suka banget forward berita yang belum jelas kebenarannya. Ibu saya sering termakan hoaks tuh tapi saya ingatkan agar jgn terlalu percaya
BalasHapusSering sih Mba. Kadang sampai lebih memilih diam daripada "panas" karena menyampaikan informasi sanggahannya.
HapusSetujuuu bangetsama tulisan ini. Hoax itu membunuh fakta!
BalasHapusTerima kasih banyak.
HapusBetul banget ini kak achaaa. Aku jg males banget ada orang suka share2 berita hoax, biasanya kalau mau sebar info harus disaring 2x, bener dan bermanfaat ngga? gitu sih
BalasHapusNah iya ya, mau menyaring dua kali dulu sebelum share kembali. Atau bisa jadi ya didiamkan saja dulu kalau belum punya kesempatan untuk mencari tahu lebih dalam lagi.
HapusBerita hoax banyak merugikan orang dan menguntungkan kalang tertentu. Mulai sekarang stop hoax mulai dari kita
BalasHapusNah, iya nih Kak Ainhy. Bisa jadi memang si berita dibuat dengan tujuan tertentu.
Hapussaat ini, hoax bisa bikin orang meninggal ya mbak, parah bgt, rakyat emnag bener2 makin diedukasi masalah penyebaran berita apalagi terkait kesehatan
BalasHapusDuh, nggak sanggup deh Kak aku ngebayangin kalau seseorang akhirnya berpulang hanya karena berita hoax.
Hapus