Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Antologi Single, Strong, and Sparkling

"Pakeeet."

Sore jelang malam, sebuah panggilan dari depan rumah mengehentikan saya yang sedang asik bersantai di ruang tengah.

Saat paket sampai ke tangan, saya tertegun. "Lho, kapan saya belanja?" batin saya sembari membuka isinya yang ternyata buku antologi Single Strong and Sparkling.

Ingatan saya terbawa mundur, jauh sekitar lebih dari sebulan lalu. Ada suatu obrolan di whatsapp grup bersama teman-teman penulis yang dibentuk dulu sekali, sebagai grup reuni bagi kami yang pernah menimba ilmu bersama dalam event Just Write 2 di Jogja pada 2013. Acara yang didukung penuh oleh Penerbit Diva Press, kala itu.

Aha, saya tahu, kenapa buku antologi bertema perempuan tangguh ini bisa sampai ke rumah saya.

para-perempuan-single-strong-sparkling

Identitas Buku Single, Strong, and Sparkling

Judul : Single, Strong & Sparkling

Penulis : Fuatuttaqwiyah El-Adiba, dkk.

Penerbit : Wonderland Publisher

Cetakan : 2020

Tebal : viii + 138 halaman

ISBN : 978-623-6804-09-4

Blurb Buku Single, Strong, and Sparkling

“Buruan atuh menikah! Nanti enggak laku. Bisa expired loh!” Aku kadang jengah dengan komentar itu, apalagi bila hal itu disampaikan jelang PMS. Apa sih maksud mereka? Ingin aku baper dan kebelet nikah atau ada keinginan lain. Apakah perempuan itu serupa komoditas yang jika belum menikah dianggap tidak laku, makanya harus buru-buru agar tidak expired untuk menghindari tanggal kedaluwarsa?

(Berbahagialah Meski Belum Menikah - Vita Masli)

 

“Pilihan Morina adalah bebas dan merdeka. Kami memberi restu dan mengasihi Morina apa pun keadaannya. Menikah atau pun tidak, kami tetap mengasihi putri kami.”

Biarkanlah Burung Terbang Bebas – Maria Julie Simbolon)

 

Ketidakhadiran pasangan hidup, bukan berarti matinya kebahagiaan. Tugas manusia hanya menjalani hidup ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Nikmati semua prosesnya. Syukuri semua yang ada. Lalu rasakan hal-hal ajaib yang akan Allah hadiahkan sebagai hasilnya. I’m single and always happy. Masih saja menangisi kesendirianmu? Rugi!

(Amazing Forty – Irma Mayra)

Para Perempuan Single, Strong and Sparkling

Dear para penulis di antologi Single Strong and Sparkling, bersama Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis yang telah menghadirkan antologi berisi essay ini. Ka Acha jujur saja, menghabiskan waktu membaca buku antologi ini, dengan penuh haru.

Pikiran saya seolah diketuk berkali-kali. Seakan membawa saya pada suatu tempat, anggap saja sebuah meja makan yang dikelilingi oleh para perempuan yang memilih untuk tetap sendiri di usia mereka yang kian matang. Mereka duduk dengan santai sembari menyeruput minumannya masing-masing.

Saya membayangkan diri saya duduk di tengah, dengan suguhan susu stroberi yang menguarkan aroma segar manis asam. Duduk santai, mendengarkan para perempuan tadi berkisah satu per satu.

Walau pun, di dalam setiap kisah yang hadir pada Single Strong & Sparkling nggak selalu merupakan kisah hidup penulisnya sendiri, melainkan kisah yang dituliskan dengan sosok yang benar-benar ada, mengajak saya mendengarkan secara hati-hati, suara-suara dalam pikiran mereka. Bergemuruh jatuh, bak air terjun dengan aliran kecil serupa di pancuran. Membasuh saya dengan segala pengetahuan yang meminta perhatian penuh untuk saya simak pelan-pelan.

Saya terusik. Bagaimana nggak, coba? Selepas kuliah, hal pertama yang saya pikirkan sedari mendapatkan pekerjaan adalah menabung untuk biaya pesta pernikahan impian padahal saat itu seratus persen saya singlelillah. Boro-boro punya calon, hidup maunya ya senang-senang saja sama teman. Termasuk, saya mengenyahkan tawaran Papa saya untuk melanjutkan pendidikan.

Hanya sebab saya merasa, menikah itu tahapan hidup wajib bagi anak perempuan, sebelum makin ranum, matang, dan … ya, kamu mengertilah. Itu kan memang tahapan yang dilalui setiap anak manusia di dunia ciptaan Sang Maha ini, bukan?

Jleb … ternyata, saya salah besar. Hidup itu jalannya nggak bisa diseragamkan dengan setiap orang yang lahir ke dunia ini. Nggak perlu khawatir jika pilihan hidup akhirnya berbeda. Cuma ya gitu ... orang di sekitar biasanya akan nyinyir binti julid tiada akhir soal hidup kita yang jalannya nggak sama.

Kenapa ya, kok ada saja sih orang-orang yang pikirannya suka membandingkan jalan hidupnya sama orang lain? Sampai muncul pertanyaan basa-basi nan hits "kapan nikah?", " sudah isi belum?", "kapan nambah momongan?", dan sederet pertanyaan hadeuh lainnya?

Seusai menayangkan sebuah quote yang saya sadur dari buku yang diterbitkan oleh Wonderland Publisher di akun khusus buku milik saya, @bacha.santai -- kalau kamu sudah follow akun utama Ka Acha, bakalan ketemu kok di bagian profil -- saya terkejut akan beberapa komentar dari teman-teman yang mampir ke post saya.

beratnya-jadi-perempuan-lajang

Banyak yang menyepakati, bahwa perempuan memang punya masa kedaluwarsa, jika memang tujuan dari berumah-tangga tadi adalah untuk memiliki keturunan. Mengejar masa subur, istilahnya. Padahal, jika Allah SWT sudah berkehendak kan akan "kun fayakun" saja. Rahasia Sang Maha tak ada yang mengetahuinya, bukan?

Tapi, sepanjang Ka Acha dan partner menikmati yang namanya drama mama papa muda, rupanya ... memiliki keturunan tanpa menyiapkan fisik, mental, ilmu, termasuk finansial, sungguh cari derita.  Terutama bagi kaum Hawa yang dititipi janin, menjalani proses melahirkan, bahkan menyusui yang sesungguhnya nggak tinggal menyodorkan diri kepada si bayi.

Ada proses perlahan, dengan tantangan yang datang bergantian. Belum lagi urusan mendidik sang penerus generasi tadi. Nggak ada ceritanya urusan mendidik yang bisa dilakukan secara mendadak. Belum lagi keterlibatan dalam membersamai anak, mana bisa cuma dituntut pada satu pihak, dengan dalih pihak lainnya sibuk cari cuan buat makan.

No. Bukan saya mau menyepelekan proses begini. Apalagi ada saja teman-teman di luaran sana yang sampai memanjatkan doa-doa panjang demi dikaruniai keturunan, seperti kisah Nabi Zakaria. Saya turut berdoa, semoga harapan baik dari dua calon orangtua yang rindu kehadiran momongan, diijabah, diwujudkan di waktu yang tepat bagi mereka. Aamiin.

Tetapi, jauh sebelum adanya proses menghadirkan generasi anak manusia yang baru, sebuah proses seleksi antar dua orang lelaki perempuan, terjadi. Perkenalan. Mencari tahu, sisi kecocokan dan kesanggupan untuk memahami dan mengerti, atas segala perbedaan di tiap karakter individunya. Lalu hadir komitmen siap hidup berdua, baru menikah. Kalau saya kurang tepat, silakan kamu koreksi di kolom komentar ya. Pliissss.

Lanjut.

Bagaimana seorang perempuan mengiyakan pinangan seorang lelaki dengan cara yang baik nan pantas, sebab anggap saja kelak ia adalah calon ayah dari anak-anak yang lahir dari rahim si perempuan. Demikian pula sebaliknya. Bukankah butuh rasa “klik” dan kondisi yang juga “klop”?

Proses seleksi nggak cuma dengan menyepakati pendapat orang lain yang bilang "eh, kamu sama si ini tuh cocok lho. Serasi. Dia ranggi, kamu ayu. Kurang apa lagi?" uhuk uhuk.

kapan-nikah

Pasangan hidup itu dipilih. Dipilah sebaik-baiknya, dipertimbangkan sematang-matangnya, dibawa pada setiap doa-doa walau hilal kedatangan calonnya belum nampak jua. Dikombinasikan dengan usaha.  Bagaimana menurut pendapatmu?

Dalam rangkaian kisah di Single Strong and Sparkling, beberapa kali, saya menemukan intisari tersebut. Sepakat ... menemukan seorang yang sevisi misi, sesudut pandang dalam agama, dan lain sebagainya, nggak mudah. Jadi, ujungnya  nih, apa menikah itu harus banget dipaksakan? Dalihnya sih, dikejar usia yang kian hari kian matang?

Akhirnya saya dipaksa untuk mencari tahu. Lalu mendamparkan saya pada apa yang dituturkan dari madzhab Syafi'i dan jumhur ulama, bahwa menikah hukumnya sunnah dan nggak sampai wajib -- kecuali bagi keadaan tertentu semisal urusan syahwat.

Ya tapi ... apa menikah cuma untuk menghindari zina? Kalau nanti punya anak, gimana? Dididik sekenanya saja? Hadudu.

Sementara menahan diri dengan sebaik-baiknya ya tanggung jawab personal. Bukankah ada yang namanya berpuasa?

Ok baiklah, karena ilmu Ka Acha masih cetek, mari kita kembali ke sesi curhat soal pengalaman membaca antologi Single Strong and Sparkling yuk.

Ada hal yang membuat saya berkali-kali ingin memuji buku yang salah satu editornya adalah Fuatuttaqwiyah dan rupanya turut menulis juga di sini, ditambah mencermati kata pengantar dari Widyanti Yuliandari selaku ketua umum dari Ibu Ibu Doyan Nulis, bahwa, buku antologi bertema perempuan lajang di usia matang ini tuh, penampilannya cantik.

telat-menikah

Terlepas dari kertasnya yang sedikit tipis, tetap membuat Single Strong and Sparkling nyaman dibaca di kala santai. Ya … karena walau gaya menulisnya ringan semua, tapi its so deep.

Inilah kisah perempuan tangguh, nggak rapuh. Pejuang. Sadar akan keberadaannya sebagai subjek kehidupan. Bagaimana hidup itu dilalui dengan banyak pertimbangan, bukan serta-merta mengikuti kata orang. Nggak ragu diberi label sebagai "pemilih", karena memang urusan menemani seseorang seumur hidup ya harus dipilah-pilih.

melajang-hingga-jelang-paruh-baya

Jalan hidup bukan sesuatu yang harus diseragamkan. Habisnya, kalau sama semua, ya dunia ini nggak akan meninggalkan jejak cerita buat setiap anak manusia.

Terima kasih untuk Mba Triana Dewi, salah satu penulis dalam buku antologi yang sampul depannya entah kenapa menghadirkan gambar stiletto merah berkilau ini, sosok yang ternyata menghadiahkannya pada Ka Acha. Sebuah panggilan dari Abang Kurir rupanya jadi penjawab atas harap saya untuk berkesempatan menikmati banyak sekali cerita dari Single Strong and Sparkling.

Baru tersadar, pernah menanyakan buku ini dan berniat memesan, masya Allah, malah dihadiahkan secara cuma-cuma. Waktu tahu isinya buku yang memuat juga karya Mba TD, mata saya langsung berkaca-kaca. Mana dapat bonus tanda-tangan pula. Acha padamu, Mba.

Menikmati rangkaian kisah dari banyak perempuan lajang yang berusia matang, dari tiap halaman di buku antologi Single Strong and Sparkling, makin menguatkan hati saya untuk turut menyuarakan, mari berhenti untuk mudah berkomentar tentang kehidupan sesama perempuan yang nampak unik dibanding diri kita.

Kita punya kebebasan sebagai manusia, untuk memilih jalan kehidupan. Pun kita diajarkan masa untuk menjalani segala risiko yang datang bersama pilihan kita. Maka, tiada hak untuk mengoreksi kehidupan sesama wanita, bila ia memilih jalan yang berbeda. Cukup doakan, dukung, atau koreksi sekenanya.  Sesederhana itu saja.


Komentar

  1. Wow keren nih novelnya, lihat tampilan dalamnya yang cantik jadi pengin punya, apalagi dari judulnya tentang wanita kuat nih ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini buku antologi yang isinya essai sih Mba sebenarnya.

      Hapus
  2. Untuk saya yang sudah menikah di usia 20 tahun, membaca buku ini tentu akan memberikan sudut pandang yang jauh berbeda. Apakah nanti jangan-jangan saya akan merasa jealous dengan kesingle-an mereka? Ya maklum, sudah lamaaa banget engga single haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi entah ya Mba. Tapi ya namanya hidup kan nggak bisa seragam sama semua orang. Makanya baca sudut pandang beserta alasan dan pertimbangan yang mereka jadikan pijakan, memberi banyak pemahaman baru dan bikin nggak gampang menilai secara dadakan lagi deh.

      Hapus
  3. Saya kok suka, ama high heels nya itu lho. Yang di cover nya. Mengingatkan pada sepatu saya jaman masih single. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah. Mungkin ini yang jadi alasan kenapa ada gambar stileto merah di cover buku ini ya Mba.

      Hapus
  4. Setelah membaca penuturan mbak acha saya jadi penasaran sama cerita-cerita yanh disuguhkan dalam buku antologi Single, strong and sparkling. Itu beli bukunya di mana mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak bisa pesan ke Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis melalui Instagram mereka di @ibuibudoyannulis Kak, silakan.

      Hapus
  5. kalau di negara kita memang perempuan yang terlambat menikah itu beban banget ya. aku juga dulu sebelum menikah sebel banget ditanyai melulu sampai sempat kepikiran seandainya nggak ketemu jodoh di dunia semoga diberi kesabaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin memang sudah jadi pertanyaan wajar kali ya. Padahal sebenarnya menyebalkan sih kalau urusan menikah dan jodoh saja ditanya terus, seperti nanyain nilai rapot pas kenaikan kelas.

      Hapus
  6. Saya ini termasuk yang telat menikah juga, trus telat punya anak. Bukan telat sih, ya dua kali anaknya didnt make it.
    Tapi kan harus posititif thinking always ke maha pencipta.
    menjadi single bukan pilihan, tapi bukan berarti harus ngoyo.
    ada plus minusnya ye kan..
    keep strong and sparkling buat teman-teman yang masih sendiri, semoga diberikan jalan yang terbaik oleh Allah SWT, Aamiin ya Robb...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.

      Iya ya Mba. Mau single atau sudah punya partner, ujian hidup tiap orang kan beda-beda ya. Jadi mari saling mendoakan yang baik-baik saja.

      Hapus
  7. Buku yang strong ini buat dibaca. Pertanyaan kapan nikah kalau diberikan solusinya juga yaitu calon dan biaya nikah, pasti deh jadi pertanyaan yang membahagiakan buat para singlelillah hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kalau calon yang disodorin nggak cocok, jadilah yang nyodorin jangan marah. Makanya nanya basa-basi soal urusan hidup gini, nggak asik ya Kak.

      Hapus
  8. Percatalah jadi wanita di Indonesia itu nggak mudah, kalo belum nikah disuruh cepet nikah, kalo gak nikah2 nikatain lagi. Udah nikah kalo belum punya anak ditanyain lagi. Punya anak yang jaraknya terlalu dekat eh dikatain lagi. Ya Allah ya robbi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin butuh bahan bahasan ringan tapi nggak tau enaknya bahas apa jadi begitu deh pertanyaan yang diluncurkan kali ya.

      Hapus
  9. Baca ulasannya begitu menggugah, membuka mata bahwa perempuan gak semestinya jadi bagai komoditi yang dicap begini begitu jika begini begitu... Buku ini layak nih dibaca dan dihadiahkan pada orang-orang yang sayang pada perempuan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak.

      Silakan Mba. Mana tau berbagai essai yang hadir di buku antologi Single Strong and Sparkling ini menjadi renungan buat sesiapa saja yang membacanya.

      Hapus
  10. Aku bahkan dulu pas kuliah nulis aja tentang jodoh, nggak mikirin biaya dan jodoh pun belum tampak hilalnya. Seakan kita ikut dalam aliran stigma yang ada di masyarakat ya mbak. Padahl tidak apa-apa untuk meraih mimpi dulu, bukan menikah dulu, seperti cerita yang ada di buku ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Kak Ghina. Nggak ada salahnya sebagai perempuan ya menyelesaikan urusan karir dulu, paling nggak ya punya pijakannya dulu. Setelah itu, turut menabung sebagai persiapan dalam membina rumah tangga. Habis itu baru deh bersepakat sama calon pasangan.

      Hapus
  11. suka banget kalau liatin buku yang eye catching kayak gini, girly banget, high heels, pengen baca jadinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk Teh. Bukunya masih bisa dipesan melalui Komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis.

      Hapus
  12. Beberapa teman dan saudaraku juga ada yag single. Namun mereka memang ada juga yang memillih seperti itu. Banyak alasan lain juga dibalik pilihannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Maka memahami dan berusaha mengerti alasan mereka tanpa menghakimi itu bisa jadi cara untuk nggak menyakiti ya Kak.

      Hapus
  13. dari waktu lalu udah pengen banget baca antologi ini mbak, relate banget rasanya yak. aku pun sebelum menikah selalu dicecar kapan nikah, nggak usah nunggu lama-lama, dll. padahal ya gila aja, nikah nggak ada persiapan mau jadi apa rumah tangganya. Nah, setelah waktunya menikah datang, sekarang ini tinggal dihujani dengan pertanyaan "udah isi belum?" minum ini itu, jangan ditunda blablabla. asatga, ini mulut manusia memang ya. baru juga nikah beberapa bulan udah bosan ni telinga dengerin pertanyaan itu2 mulu. haha, duh jd curhat ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi mungkin memang kebanyakan orang tuh pengennya perhatian sama kita, tapi nggak tau caranya dan berujung basa basi yang nyebelin. Enak di mulut mereka, nggak selalu enak buat telinga dan hati kita ya Kak.

      Hapus
  14. Ada begitu banyak pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang ada di sekitar kita ya. Paling sebel dengar beragam pertanyaan orang-orang tersebut. Menjadi single juga pilihan sih sehingga sudah cukup lah bertanya kenapa orang masih mau sendiri. Keren sih bukunya,itu ada juga testimoni dari Maria yang merupakan kawan penulis saya di Medan,kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm, Kak Maria malah ikutan nulis bukunya lho Kak Rin.

      Ya, namanya hidup ya Kak. Nggak semua orang itu asik dan mau mengerti.

      Hapus
  15. Ih asli eh. Panas aku pada kata-kata: perempuan itu ada masa kadaluarsanya. Ya ampun eh, apakah setiap manusia berpikir demikian? Apakah menikah itu bertujuan untuk "mengkonsumsi sebelum kadaluarsa"? Duh, dangkal banget eh kalau ada orang berpikiran seperti itu.

    Menikah itu kan harusnya sebagai pemenuhan psikologis untuk mendapatkan tempat bernaung, rasa saling memiliki, saling percaya, intimasi. Jika seseorang menikah hanya untuk memenuhi egonya atau hanya untuk menepis omongan tetangga, perlu tarbiyah pernikahan lebih lanjut lagi sepertinya orangnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya Kak Zen. Butuh memahami esensi dulu sebelum dengan mudahnya bertanya basa-basi ya Kak.

      Hapus
  16. Saya langsung teringat sama kakak ipar. Di usia yang sudah sangat matang hingga kini belum menikah juga. Kami tidak ada yang menyinggung agar cepat cepat menikah karena usia. Bisa jadi kesendiriannya membawa berkah karena mampu menolong orang-orang di sekitarnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, betul sekali. Mana tau dengan kesendiriannya, malah lebih banyak hal bermanfaat yang bisa ia lakukan untuk keluarga dan orang sekitarnya ya Mba.

      Hapus
  17. wah realita banget nih isinya :) jadi penasaran nih sama bukunya pengen baca lengkapnya juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukunya nampaknya masih bisa dipesan melalui Ibu Ibu Doyan Nulis deh Mba.

      Hapus
  18. Sekarang ini malah aku sering anak muda menikah untuk menghindari zina. Padahal menikah itu harus memikirkan kedepannya juga ya, Mba. Mendidik anak misalnya. Ceritanya related banget deh sama kehidupan nyata.
    Jadi pengin baca buku ini kayanya seru banget, Mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, iya. Sepakat sama Mba Erin. Menghindari zina rasanya merupakan alasan yang dangkal sekali. Kalau memang maunya begini ya bisa dihindari dengan berpuasa dan makin memperbanyak ibadah pada Sang Maha. Soalnya menikah yang disebut sebagai ibadah seumur hidup itu, aspeknya banyak sekali. Mulai dari finansial, sosial, bagaimana kelak mendidik anak, bagaimana bersikap dengan sanak saudara, dan banyak lainnya. Nggak bisa sereceh menghindari zina. Duhaduh.

      Hapus
  19. Wahh, mau ikutan bacaaa meskipun sudah ngga single lagi. Sparklingnya itu lhoo yang wajib kita punyaa spanjang hidup hehe.

    BalasHapus
  20. kalau dengar Pakeeeettt itu memang udah langsung sumringah ya, ngantuk dna lelah hilang, antusias nerimanya. btw bahas buku ini, suka dengan desainnya yang full dengan gambar, suka karena buat saya menarik untuk dibaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lho. Hihihi kayak panggilan magis yang ngasih banyak suntikan energi gitu ya Teh.

      Hapus
  21. Ka Acha... kl mau beli di mana? ada sodara yg mau kuhadiahi buku ini. Teriring doa semua dia stay strong and sparkling, thanks ulasannya yaah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dipesan lewat @ibuibudoyannulis, Kak Mia. Langsung kuarahkan ke komunitas yang memang menggerakkan hadirnya buku ini. Kebetulan mereka masih sesekali promoin bukunya baik di kegiatan mereka, maupun di Instagram dan Facebook Page-nya.

      Hapus
  22. Bagus bukunya, membuka wacana bagi orang -orang yang enggan untuk menikah. Dan semoga pernikahannya dimudahkan ya sama orang2 terdekat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.

      Jadi sudut pandang berbeda sih Mba. Mana tau bisa jadi banyak pertimbangan matang sebelum memilih jalan di hidupnya.

      Hapus

Posting Komentar