Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Mendukung Peran Dokter Di Masa Pandemi

Pandemi datang dan sekonyong-konyong kita semua terguncang oleh berbagai kebijakan yang mau nggak mau harus diambil. Sempat saya menemukan seliweran berita yang menunjukkan seolah serangan wabah ini nggak akan sampai tanah nusantara … nyatanya, tiba juga tanpa terduga. Lalu heboh dan panik mulai merajai setiap hari orang dewasa yang sudah mengerti bahaya yang baru saja tiba.

Menyalahkan? No. Berbagai tantangan yang selanjutnya datang, semata-mata dilakukan demi mendukung peran dokter di masa pandemi begini, bukan?

Ada sih suara sumbang yang terdengar di masa awal. Belum lagi kepanikan yang kelihatan sekali. Ketakutan mulai menyebar. Lalu bermunculan pihak-pihak yang mengajak seolah berpasrah diri, tapi nampaknya kurang mengingat bahwa ikhtiar adalah sebuah kunci dari berusaha dan berserah diri.

 

Peran Dokter Di Masa Pandemi

Sebagai anak dari seorang tenaga kesehatan yang ikut turun tangan dalam menjalankan tugas sesuai sumpahnya di masa awal sebelum mengabdi, apapun keadaannya, melayani orang-orang yang sakit adalah tugas utama. Perjuangan jihad baginya. Jangan ditanya, seberapa sering saya menangis tersedu tiap menyaksikan berita di TV tentang tenaga kesehatan yang gugur karena ikut terkena.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh dr. Ardiansyah selaku Pengurus Ikatan Dokter Indonesia dalam acara bincang KBR pada Jumat, 28 Oktober 2021 kemarin, dalam acara yang bertajuk Lika-Liku Peran Dokter Di Tengah Pandemi.

 

Para dokter dan tenaga kesehatan, berjuang di garda terdepan untuk membantu memulihkan keadaan, sementara dalam hatinya, jangan ditanya seberapa rasa khawatir yang bersemayam oleh virus yang merajalela. Mereka menyimpan doa tersendiri bagi keluarga yang selalu mengharap mereka sehat-sehat saja. Maka … dalam keadaan seperti saat ini, berjuang bersama. Sepakat?

Rupanya … waktu berjalan dan segala hal perlahan mulai membaik. Kamu dan saya bisa keluar rumah lagi, bisa berjuang untuk mencari penghidupan lagi, walau sebuah kebiasaan baru kini jadi teman di keseharian. Kita semua belajar untuk menjaga imun sendiri demi diri dan orang-orang tersayang.

Nggak terasa waktu berdiamnya pandemi di tanah air sudah hampir 2 tahun lamanya. Sudah banyak yang tergerak untuk berupaya saling menjaga, menghindari berbagai hal yang bisa saja membuat pandemi ini berdiam lebih lama, salah satunya dengan melakukan vaksinasi.

Sungguh senyum sering mengembang di bibir saya, apalagi Mama sering bercerita tentang semangatnya warga yang datang ke fasilitas kesehatan untuk turut mendapatkan suntikan vaksin. Rupanya, semua orang, satu demi satu, mulai menyadari, agar pandemi ini bisa sampai ke titik akhirnya, ya dengan saling melindungi diri dan mengurangi risiko penularannya.

Belum lagi, berbagai dokter yang turut berbagi ilmu kesehatan yang mereka pelajari melalui akun media sosial yang dimiliki. Sungguh menjadi jalan bagi awam seperti saya meraup banyak informasi. Berbagai berita hoaks yang menyebar melalui media berjejaring pun bisa ditemukan pembahasan secara personalnya oleh berbagai dokter yang turut terlibat langsung di menangani pasien-pasien mereka.

Kembali mengutip atas apa yang dipaparkan oleh dr. Ardiansyah, bahwa memang jumlah tenaga dokter yang ada di Indonesia, belum mencapai angka 1 : 1000 penduduk, jika mengikuti standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) selaku organisasi kesehatan dunia. Sehingga sangat dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk berperan aktif di masa pandemi begini.

Sebab para dokter pada kenyataannya, bukan hanya berjuang mengatasi pandemi, melainkan juga masih mengurusi berbagai masalah kesehatan lain yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah penyakit kusta yang masih menjadi endemi di beberapa daerah di tanah air. Inilah yang menjadi concern dari NLR Indonesia.

Kusta Masih Jadi Endemi Di Indonesia

Dalam bincang KBR hari itu pun, hadir dr. Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia yang mengisahkan tentang bagaimana sih para penderita kusta harus tetap berjuang untuk menjalani pengobatan di masa pandemi seperti sekarang ini. Keterbatasan dokter, pembatasan aktivitas di luar rumah, sering pula menjadi hambatan bagi penderitanya.

 

Sebelum menceritakan lebih jauh tentang apa yang Ka Acha dapatkan dari acara bincang KBR kemarin, ijinkan saya untuk menyampaikan sedikit mengenai kusta ya.

Sebenarnya, Kusta, atau dikenal juga dengan sebutan penyakit Lepra, atau punya nama keren di kalangan tenaga kesehatan sebagai penyakit Morbus Hansen, merupakan masalah kesehatan yang terjadi ketika daya tahan tubuh seseorang sedang menurun, dan ia rupanya disambangi oleh bakteri mycobacterium leprae.

Kusta ini memang menular. Wajar sih jika bagi awam yang belum paham mengenai perjalanan penyakit lepra begini, bisa menganggapnya sebagai penyakit kutukan dan dianggap sebagai aib. Daya damage kalau boleh pakai istilah dalam game, dari kusta ini, cukup fatal sebab bisa memunculkan disabilitas. Bagian kulit, syaraf, alat gerak, bahkan mata, bisa ikut mengalami kecacatan.

Mungkin, di masa ilmu pengobatan belum berkembang, banyak orang-orang yang terkena kusta akhirnya dikucilkan, dibuang. Tapi … ketika ilmu pengetahuan sudah makin berkembang, ternyata kusta bisa disembuhkan.

Bakteri mycobacterium leprae yang diyakini menular melalui pernapasan, dengan catatan … hanya akan menular melalui kontak langsung dan berulang dengan pasien kusta yang belum menjalani proses pengobatan, bisa dicegah dengan menjaga pola hidup bersih dan gizi seimbang.

Bagaimana jadinya jika ada orang terdekat yang mengalami kusta? Selama si pasien tadi menjalani pengobatan – cukup panjang memang waktunya, mulai dari 6 – 12 bulan bagi kusta kering, dan 9 – 18 bulan bagi penderita kusta basah – dengan baik dan minum obat hariannya secara teratur, insyaAllah … bukan hanya untuk membuat kondisinya membaik, namun juga menjaga agar orang di sekitarnya tetap terjaga.

Selanjutnya, para penyintas kusta begini, nggak akan menularkan lagi kok kalau sudah dinyatakan sembuh. Maka, sedih sekali rasanya jika masih ada yang mengucilkan. Apalagi, banyak yang menjauhi.

Sementara, pemeriksaan kusta, bisa dilakukan dimana? Sepengalaman Ka Acha yang pernah turut mencari tahu proses pemeriksaan kusta melalui penuturan Mama saya, pemeriksaannya bisa dilakukan di puskesmas. Seringnya, di wilayah yang masih masuk dalam zona endemi, akan punya program khususnya, termasuk sosialisasi berkala pada masyarakat.

Namun, jika di puskesmas nggak ada dokter yang paham benar mengenai si Morbus Hansen ini, saya sarankan untuk melakukan pemeriksaan langsung kepada dokter spesialis kulit dan kelamin. Nantinya, dokter akan melakukan pengambilan sampel kulit di bagian yang mati rasa, juga kulit di bagian telinga untuk pemeriksaan laboratorium.

Saya agak lupa pemeriksaan detailnya. Tetapi seingat saya melalui penuturan Mama ketika saya kepo dengan kusta ini, Mama berkisah bahwa di pemeriksaan laboratorium pun akan ada bagian yang melibatkan keluarga terdekat alias orang yang sering dan sudah lama melakukan kontak langsung dengan si pasien.

Kalau diibaratkan dengan Covid-19 yang masih bergentayangan saat ini sih, sebutan populernya ya tracing. Paling nggak, dilakukan untuk keluarga terdekatnya dulu.

 obat-lepra

Selanjutnya, Mama juga pernah menunjukkan kemasan blister obat kusta pada saya dulu sekali. Memang, di kala itu, wilayah tempat Mama saya bertugas masih masuk dalam daerah endemi. Si pasien nantinya akan berkunjung sebulan sekali sesuai tanggal yang dijadwalkan – nggak boleh telat karena obat nggak boleh putus – untuk mengambil si obat dan pemeriksaan bulanan.

Sayangnya, kegiatan semacam ini nggak bisa dilakukan dengan baik di kala pandemi. Ada masanya fasilitas kesehatan tutup sementara, semisal adanya tenaga kesehatan yang tertular virus dan mau nggak mau, kegiatan layanan kesehatan harus ditutup.

Kolaborasi Dokter dan Masyarakat untuk Cegah Kusta di Masa Pandemi

Demi mendukung peran dokter di masa pandemi, dalam hal ini untuk melakukan eliminasi kusta, NLR Indonesia selain sering berbagi mengenai informasi kusta di Berita KBR, juga mengajak sesiapa saja yang tergerak untuk turut mengedukasi orang terdekatnya mengenai kusta dan konsekuensinya.

 

Serupa yang tertuang dalam visi dari NLR Indonesia sendiri, bahwa para Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYMPK) atau orang dengan disabilitas, bisa tetap menikmati hak-hak mereka di tengah masyarakat inklusif tanpa stigma dan diskriminasi.

Semua visi tadi diperjuangkan agar bisa diwujudkan melalui misi untuk memperkuat petugas kesehatan, termasuk mengedukasi masyarakat. Tujuan dan strategi yang NLR Indonesia tuju untuk menanggulangi kusta ini. Strategi tadi berupa :

  • Zero Transmisi
    Sebab penyakit kusta, seperti yang sudah sedikit Ka Acha singgung di atas, hanya bisa dihentikan dengan melakukan pencegahan penularan. Makanya, sangat disarankan agar keluarga yang sering kontak erat dengan pasien kusta pun ikut memeriksakan dirinya. Termasuk jika ada orang yang mengalaminya di sekitar tempat tinggal.
  • Zero Disabilitas
    Di poin inilah NLR Indonesia berjuang untuk aktif melakukan penemuan kasus kusta sedini mungkin untuk menekan keterlambatan diagnosis dan pengobatan, sehingga mencegah terjadinya disabilitas pada pasien kusta tadi.
    Nah, salah satu gejala yang perlu diperhatikan dan dicurigai untuk lekas dilakukan penanganan adalah bila memiliki bercak berwarna putih atau sedikit kemerahan – biasa seperti lingkaran – di kulit, dan nggak terasa alias mati rasa, sebaiknya lekas diperiksakan ya.
  • Zero Eksklusi
    NLR Indonesia berupaya untuk mengupayakan inklusi dan pengurangan diskriminasi juga stigma terhadap OYMPK dan penyandang disabilitas lainnya.

Terakhir, walau di masa pandemi ini, sungguh nggak mudah untuk mengejar zero transmisi akibat banyaknya pembatasan sosial, termasuk sebagai upaya dalam mendukung peran dokter di masa pandemi, yuk kita cukupkan pengetahuan dan informasi seputar kesehatan. Peduli pada diri sendiri dan orang terdekat untuk mencegah tertular penyakit berat.

 

 

Komentar

  1. Peran dokter semasa pandemi ini memang sangat penting mengingat mereka yang berdiri di garda terdepan untuk menghadapi pandemi ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali Mba.

      By the way, terima kasih banyak sudah mampir ya Mba.

      Hapus
  2. Masyarakat Indonesia memang masih banyak yang memiliki stigma negative terhadap penyandang kusta. Padahal mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari dengan nyaman. Dengan program NLR ini semoga membantu para penyandang Kista untuk tidak mendapat diakriminasi dari masyarakat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya.

      Mungkin karena efek dari sakitnya yang seringnya menjadikan seseorang jadi mengalami disabilitas. Selain itu proses pengobatan dan penyembuhannya juga lama, makanya ketika dikucilkan jadilah keterusan.

      Hapus

Posting Komentar