Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Merajut Indonesia Menggelar Bincang untuk Kenalkan Aksara Nusantara

Pernahkah terbersit keinginanmu untuk mempelajari aksara Jepang semisal Hiragana dan Katakana, termasuk Kanji? Kamu sibuk membuat dirimu merasa benar-benar kagum dan suka, sehingga demi membuat dirimu mahir mengaplikasikannya, kamu rela untuk mengikuti les atau kursus secara khusus?

Atau malah kamu sudah lama tergoda untuk mempelajari hangeul, akrasa dari Korea? Rasanya keren dan hebat saja kalau kamu bisa menguasainya walau dengan terbata-bata. Bisa berceloteh ala Korea, atau paling nggak kamu bisa menyaksikan drama korea kesukaanmu tanpa perlu membaca subtitle-nya? Asik ya.

Lalu … pernahkah kamu tergoda untuk mempelajari aksara nusantara?

 

Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) pada 26 November lalu, menyelenggarakan Instagram Live bersama Ridwan Maulana, seorang penulis dan pegiat aksara nusantara. Tema yang diangkat untuk sesi berbincang kala itu, tentang aksara-aksara di Nusantara seri ensiklopedia.

Obrolan antara Evi Sri Rezeki dan Ridwan Maulana selama satu jam, membawa saya kembali ke masa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Di masa berseragam merah putih, saat berdiam di Lombok, Ka Acha turut belajar tentang aksara Sasak. Ha na ca ra ka. Hanya itu saja yang membekas di ingatan. Sayangnya, bagaimana cara menuliskannya, sudah nggak terbayangkan lagi.

Sementara di masa berseragam putih biru, semenjak dibawa oleh orangtua untuk merantau ke Bogor, saya dikenalkan lagi pada aksara Sunda. Penyebutan ha na ca ra ka tentu masih mirip, namun sepertinya bentuknya nggak begitu sama. Correct me if I am wrong ya, gengs.

Hebatnya sosok Ridwan Maulana. Di usianya yang rasanya masuk dalam kelompok usia Gen Z, ia mendalami bahkan menggali lebih jauh tentang aksara nusantara. Suatu pengetahuan yang mungkin di masa kini, dianggap sebagai hal yang antik, klasik, atau mungkin juga nggak asik. Tetapi sesungguhnya ia berdiri di garda terdepan dalam menyelamatkan warisan tak benda nusantara.

Sepanjang perbincangan, terasa sekali betapa sosok Ridwan Maulana sangat mencintai tanah airnya melalui pengumpulan berbagai aksara yang dimiliki berbagai suku di Indonesia. Bahkan, sebelum buku seri ensiklopedia aksara-aksara nusantara ini ia hadirkan, semuanya berawal dari catatan pribadinya saja, dengan tulisan tangan di buku tulis.

buku-ensiklopedia-aksara-nusantara
buku Aksara-Akasara Nusantara seri Ensiklopedia karya Ridwan Maulana
 
Ridwan memulai upaya pengumpulan dan pendataan aksara nusantara, sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2015. Bermula dari rasa keingintahuannya yang tinggi, membawanya untuk turut bergerak mengenalkan aksara nusantara melalui blog, media sosial, bahkan ia mendirikan Writing Tradition Project, serta mendigitalisasi berbagai aksara nusantara melalui font-font dengan Unicode.

disadur dari merajutindonesia.id

Lihat … betapa kayanya Indonesia akan warisan tak benda berupa aksara ini, bukan?

Jika kamu tergerak untuk mengunjungi akun Instagram dari Writing Tradition Project, kamu akan menyadari, betapa banyaknya aksara yang ada di Nusantara. Mulai dari aksara Mbojo yang berasal dari Bima, Incung dari Kerinci, Lampung, Lontara dari Bugis, ada pula aksara Jawa Sunda, dan masih banyak lainnya.

Saya jadi teringat akan sepotong kisah dari buku Athirah, tentang kebiasaan dari ibunda Pak Jusuf Kalla – mantan Wakil Presiden kita – yang punya kebiasaan membuat catatan pembukuan hasil penjualan kain sutera miliknya dengan aksara Lontara.

Ketika saya mengunjungi akun Writing Tradition Project, di sana saya bisa menemukan sendiri bagaimana rupa dari aksara Lontara. Lalu saya dikejutkan, ternyata ada aksara Lontara Toa juga.

Sementara saat saya mencari tahu tentang aksara Mbojo, sebab dalam diri saya pun mengalir darah Mbojo, seolah ada sesuatu dalam batin saya yang bergejolak. Aih, selama ini saya hanya cukup mengerti bahasanya saja. Mungkin itu pun menjadi biasa dan bisa saya pahami, sebab sering menikmati para tetua dalam keluarga saya bertutur. Jadilah, saya pernah norak luar biasa saat bisa memahami Nggahi Mbojo yang didialogkan dalam film Tanah Cita-Cita.

Tapi Ridwan Maulana malah melangkah lebih jauh dari generasi yang masih terbiasa mendengarkan tutur bahasa daerah seperti Ka Acha. Lihat … ia malah mengumpulkan semuanya dan menyatukannya dalam sebuah buku, kemudian menerbitkannya dengan rupa ensiklopedia.

Ridwan Maulana menghabiskan waktu 2 tahun untuk merampungkan aksara-aksara nusantara seri ensiklopedia ini. Kesemua prosesnya bahkan ia lakukan secara mandiri, mulai dari pengumpulan data, penyusunan, kurasi, hingga penyusunan tata letak.

Bahkan buku seri ensiklopedia dari berbagai aksara nusantara ini, masih terus ia lakukan revisi agar semakin lengkap.

Dalam bukunya, bukan hanya bentuk rupa aksara dari pelosok nusantara saja yang bisa ditemukan oleh para pembaca, melainkan juga sejarah kemunculan aksara di tanah nusantara, dan persebarannya. Semuanya ia bahas mendalam, dan semangatnya agar anak muda kembali kepada jati dirinya sebagai generasi nusantara, tersampaikan di sana.

Lalu, mengapa ya, Indonesia yang memiliki beragam aksara nusantara, malah nggak menggunakannya? Bahkan para anak muda seolah lebih tergoda untuk mempelajari budaya luar dibanding budaya tulis menulis di tanah air sendiri? Aha … saya sangat tergelitik oleh pertanyaan ini.

Ridwan Maulana berujar, bisa jadi segalanya disebabkan oleh budaya bertutur di nusantara yang lebih kental. Atau dengan kata lain, sastra lisan nusantara lebih kuat. Selain itu, Indonesia merupakan sebuah negara yang memilik beragam suku dan budaya. Maka jadilah bahasa Melayu yang dikembangkan kemudian kesemuanya disatukan dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui Sumpah Pemuda.

Sementara, aksara yang kita gunakan, merupakan aksara yang memang dikenal di seluruh dunia. Alfabet. Kembali lagi, correct me if I am wrong ya, teman-teman.

Eh eh, tapi sadar nggak sih, ada lho beberapa lambang pemerintahan daerah yang memasukkan unsur aksara kedaerahannya. Semisal, Lampung Tengah dengan aksara Lampung, Toba Samosir dengan aksara Batak, Kota Sungai Penuh dengan aksara Incung, Aceh Barat Daya dengan aksara Jawi, dan lain sebagainya.

Ridwan turut menambahkan, anak muda akan lebih keren kalau bukan hanya mempelajari bahasa daerahnya saja alias bahasa ibu, melainkan sepaket dengan mempelajari aksaranya juga. Iya ya, masa kita yang lahir dan besar di tanah air Indonesia, hanya mengenal secuil saja tentang tempat kita dibesarkan.

Apalagi aksara nusantara merupakan kekayaan intelektual Indonesia, jadi sudah waktunya untuk dilepaskan dari citra kunonya.

Sayangnya, menurut Ridwan Maulana, hingga saat ini, belum ada lembaga pusat yang benar-benar menaungi aksara nusantara. Jadilah setiap pemerintah daerah, melakukan berbagai caranya masing-masing dan menerapkannya secara sendiri-sendiri, semisal memasukkannya ke dalam pelajaran muatan lokal di sekolah.

Satu jam perbincangan antara Merajut Indonesia dengan Ridwan Maulana terasa kurang. Sungguh banyak sekali pengetahuan yang saya dapatkan. Kamu pun bisa ikut menyaksikan siaran tunda dari sesi bincang Mimdan bersama Ridwan Maulana ini di akun Instagram Merajut Indonesia.

Semoga Merajut Indonesia terus tangguh turut mengenalkan ragam Indonesia pada anak-anak muda. Senang sekali rasanya saya bisa ikut menyimak perbincangan mengenai aksara nusantara bersama Ridwan Maulana. Semoga banyak seri bicang Mimdan lagi yang bisa disaksikan selanjutnya.

Komentar

  1. Penasaran, kepingin juga lebih mengenal mengenai aksara Nusantara ini.. bisa belajar online juga ga sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di web merajutindonesia.id ada juga beberapa fonr aksaran nusantara yang bisa dicoba dipakai lho Mba. Beberapa materi, termasuk sejarahnya pun ada di sana. Silakan mampir ke akun Instagram-nya atau langsung ke web-nya Mba, buat lepas penasaran di sana.

      Hapus
  2. Masya Allah .. keren ya Ridwan Maulana. Masih SMA tahun 2015, gak jauh usianya dari sulung saya. Sulung saya tamat SMA tahun 2019. Kayaknya Ridwan masuk gen Y muda, Cha.

    Keren ... mempelajari aksara nusantara itu ruwet tapi bikin bangga.

    Untuk Lontarak atau Lontara' (pengucapannya ada penekanan di akhir, semacam apostrof atau huruf k yang gak jelas), juga antara Bugis dan Makassar ada sedikit perbedaan. Bugis dan Makassar itu dua suku berbeda meski rumpunnya sama namun berbeda bahasanya. Masya Allah ya Indonesia ini. Makin bangga deh jadi orang Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Bun. Masih muda tapi sudah tahu mau memperjuangkan apa di tanah airnya. Mantap memang.

      Hapus
  3. Menarik ya mempelajari berbagai aksara. di negara kita aja ada berbagai macam aksara dr berbagai daerah, ditambah lagi aksara dari negara lain. Pernah sih belajar aksara Jepang dan Arab tapi gak lanjut lagi. Keren nih Ridwan, anak muda yang mau mempelajari aksara negeri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kadang kita memang lebih banyak mengenal aksara luar dibanding aksara akar rumput kita sendiri ya, Mba.

      Hapus
  4. Wah acara yang menarik ini mbak
    bisa tahu banyak ya tentang macam macam aksara

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di akun Instagram Writing Tradition Project lebih banyak lagi informasinya, Mba.

      Hapus
  5. Acha keren, selalu penasaran dan ingin tahu banyak tentang bahasa ya Cha
    harusnya kita semua juga harus bangga ya belajar bahasa daerah biar bahasa ini tetap lestari, anak-anak selepas merah putih mah udah bakalan ninggalin pelajaran daerah, besoknya kayaknya udah lupa dan malah lebih fasiih berbahasa asing ya, padahal bahasa daerah dan aksaranya juga jauh lebih keren ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi ... Kak Diah makin lama makin mengerti aku deh. Makasih banyak ya Kak.

      Hapus
  6. Mempelajari baca huruf aksara memang sangat menarik, sehingga kita bisa mengetahui tentang bermacam macam aksara

    BalasHapus
  7. Ini kembali lagi ke sistem pendidikan. Seandaianya pengguna aksara nusantara dimasukan ke dalam kurikulum pasti anak-anak Indonesia setidakanya paham bahwa aksara nusantara itu beragam. Yang ada sistem pendidikan di Indonesia saja terus kiblat ke negeri-negeri barat. Wajar saja jika hanya segilintir anak yang tertaik untuk meggali aksara nusantara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih.
      Tapi karena memang aksara kita banyak ya, jadinya semua pelajaran begini dimasukkan ke mata pelajaran muatan lokal dan setiap daerah memberikan pelajaran yang berbeda-beda jadinya.

      Hapus
  8. Kerumitan aksara Nusantara merupakan khasanah kekayaan budaya yang seharusnya dipahami turun temurun. Namun kenyataannya, aku juga sudah lupa Aksara Jawa. Dan kini di Bandung, anakku gak dapat pelajaran Aksara Sunda.

    Semoga banyak generasi yang memahami dan mulai aktif menyebarkan aksara dan bahasa daerah sebagai akar budaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saking banyaknya aksara di Indonesia ya, Teh.

      Aamiin.
      Mulai berasa lagi sih geliatnya. Misalnya kaos keluaran event Patjar Merah sempat ngeluarin versi aksara Indonesia di sablonan kaosnya.

      Hapus
  9. Jadi ingat dulu jaman sekolah pernah dapat merah untuk pelajaran aksara Jawa karena belum pernah tau sama sekali, salut untuk Ridwan yang usianya tergolong muda namun peduli terhadap warisan budaya Nusantara. Karenanya, maka anak muda sekarang pasti akan lebih mudah dalam belajar dan mengenal beragam aksara Nusantara. Kereen

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren ya Mas Ridwan ini.

      Aku yang lebih besar aja merasa dia hebat banget karena mau melestarikan bahkan membukukan aksara Indonesia dalam bentuk ensiklopedia.

      Hapus
  10. Dulu zaman sekolah walaupun ada pelajaran bahasa daerah, tapi ga pernah diajarin aksaranya mba. Atau mungkin dalam bahasa Aceh ga ada aksara khusus kali yaaa. Aku belajarnya bahasa Aceh dulu, Krn di sana.

    Jujurnya aku memang LBH suka belajar bahasa yg aksaranya sama kayak alfabet umum. Pernah coba belajar bahasa Jepang, aku lambat bangettt nangkepnya 🤣. Makanya kalo aksaranya udah beda, keinginan belajarnya juga ga terlalu niat jadinya 😅.

    Tapi aku tertarik beli buku aksara Nusantara ini. Krn pengen tahu aksara2 yg ada di indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah ternyata aksara Aceh itu ada lho Mba Fanny.
      Mungkin memang nggak semua sekolah merasa mau mengajarkan karena di setiap daerah tentu aksaranya bisa jadi berbeda-beda. Muatan lokal pula masuknya, jadilah banyak dikesampingkan baik siswa maupun orangtua murid.

      Hapus
  11. Sungguh luar biasa Indonesia dengan segala keberagamannua mampu menjadikan Aksara aksara untuk lambang kedaerahan. Dan aku juga baru tahu nama namanya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama deh Mba Alida.

      Kalau nggak ikutan kegiatan ini, aku nggak bakalan eungeuh deh.

      Hapus
  12. wah keren banget ya ridwan ini di usia muda sudah tertarik mempelajari aksara. aku juga baru tahu nih kalau berbagai daerah kita memiliki aksaranya masing-masing. jadi penasran sama aksara di kalimantan selatan gimana bentuknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba deh Kak Antung main ke akun Instagram Writing Tradition Project, atau ke website Merajut Indonesia. Mana tahu ketemu di sana, Kak.

      Hapus

Posting Komentar