pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagaimanalah sebuah distrik Jiyugaoka yang sering dianggap sebagai the little europe di Tokyo, bisa menginspirasi seorang penulis – dalam hal ini tentu saja Prisca Primasari – hingga menghadirkan kisah gelap tentang seorang perempuan bernama Hitomi?
Diam-diam, karya Prisca Primasari yang nggak terlalu tebal
ini, membawa saya bermimpi jauh. Menjadikan Jepang sebagai negara impian. Kelak,
andai Allah SWT memberi usia panjang dan kesempatan, akankah saya bisa
menjejakkan kaki di Jiyugaoka, selain Nikko yang terkenal dengan pinus
bersalju di Lembah Irohazaka, bersama salah satu karyanya yang seringkali saya
bawa dalam tas saya?
Sesungguh kekuatan seorang penulis seringnya luar biasa.
Menyelipkan impian pada pembacanya dengan nggak pernah terduga.
Judul : French Pink
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gramediana – Penerbit Grasindo
Cetakan : 2014
Tebal : 74 halaman
ISBN : 978-602-251-687-3
Di distrik Jiyugaoka yang mungil, cantik, dan
berwarna-warni, Hitomi tiba-tiba bertemu pria aneh yang mengungkit-ungkit
tentang kematian.
Siapa sebenarnya pria itu? Dan … lho, lho, lho mengapa dia
jadi menyuruh Hitomi mencarikan syal warna French Pink! Mana mungkin sih pria
beraura gelap seperti itu menyukai warna pink? Dan untuk apa juga?
Ck. Sungguh. Pria itu benar-benar merepotkan Hitomi.
Ada karakter Shinigami yang dimunculkan dalam novella French
Pink. Terpanggil oleh bisikan depresi dari seorang perempuan pemilik toko pita bernama Hitomi di distrik Jiyugaoka, Tokyo.
Ya … Ka Acha bisa memahami mengapa Kak Prisca sedikit
menggambarkan tentang dewa kematian satu ini. Mungkin memang karena Kak Prisca
menyukai Death Note, seperti yang tertulis pada halaman terakhir buku bersampul
tebal ini. Bukan hanya itu, Kak Prisca juga terobsesi pada Vamps, Trinity
Blood, dan lainnya.
Shinigami memang bukanlah spirit yang dimunculkan sejak masa klasik di Jepang, melainkan
hadir di masa jelang modern dan dipengaruhi budaya Barat. Di beberapa anime,
digambarkan kalau shinigami seringnya mengenakan pakaian ala Jepang yang khas
dengan warna hitam, auranya gelap. Semisal pada anime Bleach yang jadi kesukaan
saya. Kamu nonton juga? Tapi nggak seram kan ya?
Entah mengapa, karakter shinigami memang asik sekali untuk
dikulik dan dihadirkan dalam karya. Ka Acha sendiri juga pernah memunculkan
sosok kelam shinigami dalam cerpen berjudul The Black Guardian Angel, walau nggak
saya bikin menyeramkan sih, cenderung menggemaskan malah.
Nah, dalam French Pink, tokohnya dihadirkan dengan karakter
Hane. Sosok yang kemunculannya untuk Hitomi, ditandai dengan sehelai bulu
sekelam warna bulu Burung Gagak jatuh di dekat kakinya. Saya sering terbayang,
betapa magisnya adegan begini.
Walau jumlah halamannya beneran nggak mencapai angka 100,
tetapi novella French Pink bagi saya, cukup kaya. Saya belajar untuk
memperbaiki cara penggambaran latar dan rasa untuk karya saya, ditambah membawa
saya menjelajah lebih jauh mengenai keindahan Jiyugaoka melalui internet. Vibes eropanya tergambar smooth sekali.
Jiyugaoka sendiri merupakan distrik kecil yang dulunya
berawal dari kemunculan sebuah sekolah lokal yang terkenal dengan pendidikan
ala liberalnya, Jiyugaoka namanya. Secara harfiah, memang Jiyugaoka ini bermakna
“Bukit Kebebasan”.
Sebagai tempat yang mulai berkembang pada akhir 1920-an di
bagian ujung wilayah Meguro yang kemudian banyak digandrungi setelah
dihadirkannya layanan kereta api. Walau pada masa Perang Dunia II wilayah ini
dihancurkan, dengan cepat lho bisa dibangun kembali dan hadir secara modern.
Menemukan sejarah kawasan Jiyugaoka begini, saya jadi
terbayang beberapa potongan scene dalam film Paradise Kiss keluaran tahun 2011
deh. Setting lokasinya pas banget, di salah satu distrik bernuansa eropa di
Tokyo. Eh, apakah beneran di sana? Saya nggak yakin sih.
Saya pun diajarkan tentang berbagai jenis warna yang memang
bisa menggambarkan perasaan dan karakter seseorang sepanjang menikmati novella
French Pink. Norak ya, Ka Acha. Makanya, saya menikmati sekali buku terbitan
tahun 2014 ini.
Pernah terpikir bagaimana warna english lavender? Kalau
nggak pernah menemukan French Pink di gudang buku, mana saya tergoda untuk
mencari tahu tentang warna lebih banyak lagi. Saya makin menyadari, belajar
menulis itu akhirnya mengajak saya untuk lebih banyak riset, menambah
pengetahuan, agar karya yang dihasilkan nggak hanya kulit luarnya doang. Arigatou, Kak Prisca.
Buku ini termasuk menyenangkan juga buat saya, selain karena
ukuran font hurufnya yang nggak bikin mata lelah kalau dibaca di kendaraan – by the way kalau sedang naik commuter line saya senang membawanya
untuk mengisi waktu --, juga ada gambar ilustrasi di dalamnya. Gambar yang
sering mengajak saya untuk memberi jeda membaca, dan mengimajinasikannya lebih
jauh demi masuk ke dalam cerita.
Hanya saja, nggak banyak bahasa Jepang yang dimunculkan
sepanjang membaca novella karya Prisca Primasari ini. Semua terasa sebagai
kalimat sederhana yang umum saja. Ya … sebagai penyuka budaya pop Jepang dan
memang sangat terbiasa dengan bahasanya, wajar sih saya kadang geregetan. Tapi,
Ka Acha egois dong kalau berharap begitu. Nggak semua orang senang melirik footnote sepanjang membaca karya fiksi
soalnya.
Selanjutnya, poin terakhir yang saya nikmati dalam French
Pink adalah sisi depresi seseorang. Banyak hal rupanya yang bisa menjadikan
seseorang begitu tertekan dan berharap untuk mati, bunuh diri. Nggak semuanya
berhubungan dengan keengganan ia memperdalam ilmu agama dan mengamalkannya lho
ya. Nggak dimungkiri memang ada saja yang masih berpikir demikian.
Betapa seseorang yang sebegitu kesepiannya, bisa memberi
dampak gelap, bukan hanya bagi dirinya sendiri, bahkan pada orang-orang lain
yang ada di sekitarnya. Setiap manusia memang bagaimana pun, akan memberi
pengaruh pada manusia lainnya ya.
Tokoh Hitomi yang terjebak depresi dan kemudian dipertemukan
dengan tokoh Hane, menunjukkan betapa berat dan melelahkannya hidup dalam rasa
tertekan, sendirian, sampai-sampai mempengaruhi kemampuannya mengenali warna. Padahal
Hitomi ini pemilik toko pita yang seharusnya paling paham mengenai warna dan
nama-namanya bukan?
Belum lagi keunikan dari tokoh Hane yang digambarkan buta
warna, hanya bisa mengenali warna hitam, putih, dan kelabu. Mana penggambaran
tampilannya kelam banget lagi. Kan beneran bikin ngeri. Apalah ya rasanya kalau
sampai ketemu sama shinigami dan diberi tahu kalau waktu kematianmu nggak akan
lama lagi.
Eh, apa benar Hane ini shinigami yang mau mewujudkan keinginan Hitomi untuk mati? Umm … kalau kamu masih punya kesempatan menemukan buku French Pink dari Prisca Primasari, langsung dicari tahu saja ya.
Tim suka baca buku terjemahan apalagi Jepang, paling suka kisah cinta ringan dari Jepang. Apapun ceritanya asal setting tempatnya Jepang juga bolehlah dimasukkan list, kayaknya ini menarik.
BalasHapusKebetulan buku ini malah produksi lokal Mba.Jadi kisahnya bakalan mudah dicerna banget sama kita yang nggak terlalu suka Jepang juga.
HapusBanyak banget pembelajaran dari novel French Pink ini ya .;.. dan Acha bisa menuliskannya dengan sangat detail. Mulai dari hal2 tentang Jepang hingga nama2 warna.
BalasHapusTerima banyak Bunda Niar. Terima kasih juga Bunda sudah mampir ke blog post Acha.
Hapuswow jadi penasaran banget dengan buku French PInk. Suka banget dengan prolog dan penjelasan yang sangat detail dari warna, sampai tokohnya. Yuh, jadi pengin ke jepang lagi atau beli bukunya?
BalasHapusTerima kasih banyak sudah mampir Bu Ina.
HapusSemoga impian Ibu untuk kembali mencicipi perjalanan seru ke Jepang terwujud kembali. Aamiin.
Novelnya memberikan banyak keindahan dan wawasan baru banget buat aku yang belum benar-benar mengenal Jepang. Penokohan, budaya, dan latar tempat dan alamnya seolah mengajak kita masuk ke sana. Keren sih ini.
BalasHapuswah serasa hidup di negara Jepang bersama sang tokoh ya?
BalasHapusakhir2 ini saya sangat suka dorama, sehingga penasaran banget baca review buku French Pink
Paling suka novel dengan setting dan background kota-kota di dunia. Bisa sekaligus membayangkan ada di sana. Apalagi kelihatannya, seperti ulasan Mbak Acha, si penulis berhasil menggambarkan kota ini ya.
BalasHapusSama Mbak.. Aku pun paling suka novel yang punya latar kota lain di negeri lain. Kaya diajak travelling deh..
HapusCerita di novel French Pink ini sangat imajinatif sekali ya. Selain berlatar belakang Jepang saya juga suka dengan konsep ceritanya yang membahas tentang warna. Menarik.
BalasHapusIni jadinya seperti ramalan kematian gitu ya. "kamu Minggu depan akan mati". Ya memang semua pasti mati, hehe.
BalasHapusDan menurut daku bukunya boleh jadi rekomen bacaan
Keren bisa membaca buku novel di Commuter Line. Sangat melatih konsentrasi sekali. Saya pernah melakukan ini pas kursus akting, dan kalau nggak terbiasa lumayan terdistraksi.
BalasHapusBtw, ada pengalaman tertinggal/terlewat stasiun tujuan kah, saking bacanya sangat khusyuk?
Ahahaha sejauh ini sih nggak Bang. Ketinggalan atau kelewatan turun malah kalo ketiduran saking capeknya. Kalau baca atau nonton selama sambil berdiri, bisa sesekali sambil lirik sudah sampai mananya.
Hapus