pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
“Makanya bro, nikah, biar ada yang ngurusin lau, man.”
Saya yang kala itu sedang asik bekerja di depan laptop,
seketika merinding. Udara dingin yang ditiupkan AC central ruang kerja,
mendadak serupa angin beku musim dingin. Sebelum saya hipotermia karenanya,
saya memilih menegakkan punggung dan meraih gelas air untuk minum, demi
menyadarkan diri.
Who says I am not
afraid to be a wife, before. Feel in cringe gegara beberapa teman satu
ruangan saya suka berceloteh ala sudut pandang laki-laki tentang asiknya
menikah karena kelak mereka akan hidup tenang tersebab ada yang mengurusi
segalanya. Ada orang yang memperhatikan makan minum, pakaian, bahkan kenyamanan
rumah saat mereka pulang kerja.
“Cha, kamu yakin mau nikah? Karir kamu masih panjang lho.
Nggak sayang, emangnya?”
Di kesempatan lain, teman sekantor saya pernah juga berujar
pada saya yang mendadak hadir di kantor dengan menenteng kartu undangan
pernikahan saya. Honestly, at that time, I
felt something trapped me.
Pertanyaan yang bikin saya makin overthinking soal hidup sebagai perempuan yang menikah. Ya, saya
paham, bahwa sebuah pernikahan akan punya dramanya sendiri. Drama
berkeluarga yang selalu dimiliki dan unik dalam setiap keluarga.
Ka Acha cuma bisa menarik napas dalam dan mengelus dada
kalau ada yang nyeletuk begitu. Apalagi kalau sampai menganggap, segala
kemudahan hidup tersaji depan mata menjadi alasan untuk menikahi seorang anak
gadis punya lelaki lainnya, ayah si calon istri.
Nikah nggak segitunya, please.
Ada gender equality yang perlu dipahami dan disepakati bersama di dalamnya.
Weits, Ka Acha nggak mau berkeras kalau “Ah, perempuan juga
bisa kok ngerjain pekerjaan yang sebelumnya dikuasai sama lelaki. Perempuan
bisa jadi pemimpin, dan mengatur segala hal. Perempuan nggak kalah kok sama
laki-laki.” Mentang-mentang saya perempuan. No
no no.
Kesetaraan gender bukan urusan saingan, beib. Kalau begitu sih, namanya persaingan gender, bukan gender equality. In my opinion. Please
enjoy, yours.
Memang sih, gender
equality merupakan konsep yang dikembangkan melalui Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan. Kalau ditelaah mendalam, mungkin alasan hadirnya konsep ini tersebab
posisi perempuan yang dipandang sebelah mata dalam kehidupan sosial, sebagai
kaum yang lemah.
Perlu digarisbawahi kalau pengertian gender itu nggak sama dengan jenis kelamin. Gender sendiri merupakan perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan di lingkungan masyarakat. Sisi feminitas dan maskulinitas yang sesungguhnya nggak terjebak pada jenis kelamin saja.
Sisi feminitas ini merujuk pada sifat feminin semisal
kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat, empati, dan lain sebagainya.
Sementara sisi maskulin atau yang asal bahasanya berasal dari kata muscle ini, merujuk pada karakter
kompetitif, aktualisasi diri, dan unjuk kekuatan (bahkan kekuasaan), Jadi,
kedua sifat ini, pastilah ada dalam diri seseorang, terlepas jenis kelaminnya male maupun female.
Dalam sebuah pernikahan, baik perempuan dan lelaki, memiliki
sisi feminitas dan maskulinitasnya masing-masing. Ada peran yang bisa saling switch, ada juga peran secara jenis
kelamin yang nggak bisa ditukar, seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui. Nah,
urusan domestik dalam rumah tangga itu, sangat bisa saling switch. Menurutmu, bagaimana?
Personally,
semakin saya besar, saya memandang bahwa apa yang diajarkan dalam agama yang
saya anut selama ini, sudah memosisikan keberadaan perempuan dalam wilayah yang
adil, terutama dalam urusan berkeluarga dan bermasyarakat. Gender equality ada di dalamnya. Hanya, masih saja banyak oknum
yang menyalahmaknakan segalanya.
Bukan dilihat dari sosok perempuan yang kemudian banyak
memilih untuk berdiam di rumah demi mengurusi keluarganya, lalu kemudian
mendapatkan anggapan bahwa perempuan bertugas melakukan begitu banyak urusan
domestik sendirian. Perempuan kehilangan banyak kesempatan bagi dirinya sendiri
atas nama sebuah pengabdian yang diagung-angunkan itu.
Namun, saya menerima kenyataan bahwa perbedaan jenis kelamin
perempuan dan lelaki memang memberi pengaruh dalam keseharian. Perempuan
dianugerahi ruang memori yang lebih besar, maka ada banyak pekerjaan mendetail
di rumah yang bisa ia selesaikan, sementara lelaki nggak begitu. Termasuk
mengingat segala keburukan dan sisi nggak banget dari pasangannya. Hihihi ….
Sementara lelaki biasanya lebih mahir dalam mengatur
strategi sebelum bertindak. Maka kemudian, saya paham, mengapa di suasana
berkabung misalnya, kaum lelaki seolah bergerak dengan sendirinya untuk
mengurusi pemakaman, sementara perempuan sudah nggak sanggup berbuat banyak
selain menangis.
Ya … saya menerima adanya banyak perbedaan dari perempuan
dan laki-laki. Tetapi, saya hanya kurang nyaman ketika posisi perempuan hanya
dianggap sebagai pihak yang punya tanggungjawab penuh pada keberlangsungan keseharian
sebuah rumah tangga, pun kemudian hanya dijadikan gurauan. Jadi, si lelaki ini
cari istri atau pengasuh, sih?
Paling tersudut rasanya, ketika menemukan celetukan,
“perempuan kalau sekolah tinggi atau berkarir terlalu gemilang, nggak ada
lelaki yang mau”. Ckckck. Jadi si lelaki maunya punya generasi penerus yang
seperti apa levelnya?
Di lain pihak, apa sih tujuan besar dari si perempuan dalam
mengejar pendidikan tinggi dan karirnya, kalau keberlangsungan generasi penerus
yang diamanahkan pada keluarga semenjak dari dalam rahimnya, nggak menjadi
fokus utamanya kemudian? Berkoar soal gender
equality namun lupa pada sisi feminim yang penuh kelembutan dan kesabaran
untuk mengenalkan dunia pada anak-anaknya.
Bukan berarti para ayah nggak punya tanggungjawab yang sama
juga lho ya dalam keluarga. Sisi feminin dan maskulin dari kedua pihak, perlu
berkolaborasi setiap waktu. Nggak kaku dan mengotak begitu.
Urusan domestik bukan tugas penuh istri karena keahlian dari
bebersih dan bebenah rumah ini, bukan tugas salah satu jenis kelamin. Lelaki
dan perempuan punya perbedaan, tapi ada juga sisi yang bisa saling melengkapi
lho.
Heits, bukan si perempuan yang masak lalu si lelaki taunya
makan doang. Ambil waktu untuk merapikan meja makan dan mencuci semua piring
kan, wujud penghargaan. Senang lho, perempuan kalau diperlakukan semanis ini.
Dulu sekali, Ka Acha pernah menulis tentang hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menikah. Tujuan saya semoga nggak ada lagi teman, kakak, atau adik yang terjebak dalam toxic relationship soalnya efek dominonya kemana-mana kalau sampai membentuk keluarga.
Pernikahan menyinergikan energi feminin dan maskulin dari
dua orang yang sudah berjanji atas nama Sang Pemilik Semesta. Kolaborasi
bersama, baik dalam urusan domestik, hingga pengasuhan, bahkan saling menjadi support system untuk impian personal
masing-masing anggota keluarga. Nggak gampang sih kalau dibayanginnya, makanya
menikah itu dianggap sebagai ibadah terpanjang.
Please berhenti
berbasa-basi dengan kalimat, “kamu kapan nikah?” sebab ada banyak sekali persiapan
sebelum menikah yang perlu dimatangkan secara personal dan dalam
kesendirian dulu, sebelum mencari dan meminang partner jalan bareng, nantinya. Biar
nggak jadi perempuan yang merasa terjebak, atau lelaki yang tanpa sadar
menjebak.
Yuk mulai menganggap urusan domestik itu sebagai skill hidup yang wajar dan biasa saja
diselesaikan oleh laki-laki maupun perempuan. Berhenti membercandai kalau
tujuan menikah itu biar ada yang mengurusi atau memberi nafkah hidup. Sudah ya,
sudahi semuanya biar nggak kelamaan dianggap “cuma becandaan biasa”.
Perempuan nggak perlu merasa tersaingi karena lelaki ambil
peran dalam urusan bebersih bebenah di rumah. Pun lelaki nggak usah takut
dianggap remeh kalau ikut andil dalam urusan keseharian, apalagi mendalihkan
“membantu istri” dalam urusan begini. Hey, tugas bersama kok menyebutnya
“membantu” sik.
Pernikahan yang menghadirkan kesetaraan, dan mencerminkannya
melalui kekompakan menyelesaikan urusan domestik berdua dengan si partner,
semoga menjadi jalan menuju sakinah mawaddah wa rahmah. Tanpa merasa lebih
berhak atau bertanggungjawab secara kaku pada tugas-tugas dalam rumah. Bukankah
saling bekerjasama tanda dari rasa kasih sayang?
Mantap kakak tulisannya. Saya langsung salfok sama gambar full house-nya hehehe. Salah satu drakor legendaris yang banyak penggemarnya dan saya suka dengan pemikiran kakak tentang bagi tugas dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Ini juga hal yang diajarkan dalam Islam lewat keteladanan Rasulullah SAW
BalasHapusIya Mba, legend banget drakor ini. Ingat banget aku nonton waktu masih sekolah. Salah satu drakor yang menggeser kesukaanku dari anime ke drama nih.
HapusJaman sudah berubah karena kesetaraan sudah jadi perbincangan yang normal dalam hidup berkeluarga, apalagi laki laki dan perempuan sekarang jauh lebih terbuka dalam perbincangan terutama pernikahan. Jadi lebih mantap sekarang kalau memutuskan menikah
BalasHapusIya sih Bang. Tapi memang masih saja ada suara suara sumbang yang terdengar dan dianggap sebagai becandaan. Menurutku sih, ini nggak lucu kalau dijadiin bahan lucu lucuan.
Hapussetuju nih sama tulisannya, harus ada kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan termasuk urusan domestik rumah tangga. Aku juga pernah menulis hal serupa kak
BalasHapusWah, keyword-nya apa Mba? Aku jadi pengen baca tulisan Mba juga. Bisikin lewat DM IG dong Mba.
HapusBarakallahu fiikum, kak Acha.
BalasHapusPernikahan in syaa Allah akan menyesuaikan dengan rules masing-masing karakter sih yaa..
Dan yang paling penting, tetap komunikasi. Jangan kaya Han Ji Eun yang salah sangka dan Lee Young Have yang enggan menyatakan Isi hatinya terlebih dahulu.
Penting banget memenuhi bahasa cinta masing-masing pasangan.
Banget Teh. Hihihi kalau diingat kelakuan si Lee Young Jae yang nggak langsung to the point sama Han Ji Eun tuh bener bener bikin geregetan.
HapusSetuju banget. Pekerjaan domestik memang bukan hanya urusan istri ya. Suami juga harus kebagian tugas domestik karena rumah tangga urusan bersama.
BalasHapusSayangnya masih ada 'konten di medsos' yang menunjukkan perbedaan peran secara mengotak gini sih Mba. Semisal, suaminya serasa "lagi ajaib" kalau mendadak nyapu di teras. Jadi seolah nggak wajar. Mungkin becandaan sih, tapi kan membawa ke sudut pandang kalau urusan domestik sepenuhnya hak dan tanggungjawab perempuan,
HapusPernikahan itu kerjasama ya kak
BalasHapusHarus saling bantu
Bukan berat sebelah
Bahkan kalau dilihat dari segi agama, masalah urusan domestik seperti ini juga termasuk urusannya lakilaki, alangkah besar pahala yg didapat seorang lelaki kalau dia mau pergi berbelanja, memasak, sampai dengan menyuapkan makan pada istrinya.
BalasHapusKalau saya tidak mau pekerjaan rumah semuanya dilakukan perempuan
BalasHapusHarus ada bantuan dari laki laki
Kerja sama itu penting
Harmonisasi yang berjalan dengan baik
mindset warga Indo kalau yang sudah "berumur" dan belum nikah, selalu diserobot pertanyaan "kapan nikah", padahal persiapan lahir batin, keuangan juga perlu dipikirkan
BalasHapuszaman sekarang warga masih terpaku sama pikiran kalau wanita itu nggak perlu kerja tinggi-tinggi, padahal sekarang udah zamannya emansipasi wanita. Semua wanita, bahkan semua pria berhak untuk dapat posisi yang lebih tinggi
Setuju mba Acha 👍. Aku sendiri ga akan mau nikah Ama laki2 yg punya mindset kalo pekerjaan rumah tangga 100% tugas istri. Duuuuh amit2 deh, terlalu picik pikirannya.
BalasHapusUntungnya suamiku terbiasa juga melakukan tugas rumah tangga. Kami jadi bagi tugas kalo para mba asisten belum pulang mudik misalnya, siapa yg nyapu, ngepel, cuci piring dll. Ga semuanya Diksh ke aku. Suami ga suka setrika, sementara aku benci kalo tangan kena detergen. Makanya segala tugas mencuci itu tugas dia. Sementara aku yg bersih2 dan setrika 😄.
Kan gitu enak Yaa kalo mau saling kerjasama.
Itu salfok ih Ama drakor fullhousenya. Masih inget kekocakan song Hye Kyo pas nyanyi lagu beruang di depan ibu bapaknya rain 🤣🤣🤣
alhamdulllaah nih aku berada di perkawinan yang akhirnya menyelaraskan satu sama lain.
BalasHapusYaaa komunikasi emang adalah kunci, dan HARUS banget berulang kali mengingatkan, PEREMPUAN BUKAN berada di bawah telapak kaki laki-laki, so saat ini kami sudah berbagi tugas yang tadinya "mustahil' dia lakukan.
saya suka sekali udah bahas soal kesetaraan, kebanyakan orang berpikir perempuan adalah tugasnya sebagai pengurus domestik, seolah-olah itu adalah kodrat perempuan. padahal pernikahan adalah partnership, tanggungjawab berdua bersama-sama, dan saling satu sama lain. semoga makin banyak orang-orang yang terbuka soal ini ya mba
BalasHapusSaya di keluarga berkolaborasi dalam hal urusan domestik rumah tangga bersama istri, jadi saya tidak pernah ragu untuk semisal ke dapur untuk mencuci piring atau bahkan memasak sekalipun
BalasHapussetuju banget sama mbak acha. aku juga berharap saat menikah nanti bisa punya suami yang mau sama-sama bagi tugas untuk urusan domestik. aku percaya sih makin ke sini makin banyak laki-laki yang sadar akan hal itu, gak cuma pengin dilayanin aja dan merasa harus dilayani.
BalasHapusbtw gemes banget foto-fotonya lee young jae sama han ji eun, drakor favoritku dari zaman SD :D
Setuju banget sih apabila pekerjaan domestik rumah tangga bisa dikerjakan bersamaan gitu. Jaman sekarang pula harusnya pola pikir laki-laki juga semakin berkembang dan tidak sepenuhnya menyerahkan tugas rumah ke istri ya.
BalasHapusnahh ini soal pembahasan urusan domestik, dan kesepakatan kalau ada tanggung jawab bersama soal urusan domestik tuh penting banget jangan sampe kaya merasa jadi ART yaa si istri tuh
BalasHapusAlhamdulillah punya suami yang terbuka soal berbagi peran ini, meski pulang kerja dan capek, doi selalu turun tangan momong anak2 saat lihat istrinya lagi dikejar deadline... bahkan kadang nyuapin istrinya biar nggak lupa makan, wkwk. Urusan domestik juga kami bagi bersama, bukan sama suami, tapi juga sama anak-anak, jadi anak2 juga belajar punya tanggung jawab.
BalasHapusMenurutku pekerjaan domestik itu bukan hanya pekerjaan perempuan, tapi lifeskill yang baik perempuan dan laki-laki harus menguasainya. Nggak harus ahli, tapi bisa... :)
Setuju banget, dalam rumah tangga perlu adanya kesalingan. Termasuk di pekerjaan domestik, suami istri sebaiknya saling tolong menolong. Udah nggak zaman banget mengotak2an kalau domestik hanya kerjaan perempuan. :)
BalasHapusAih, pas banget tulisan ini dengan kehidupan pernikahanku. Alhamdulillah punya suami yang menganut kesetaraan dalam rumah tangga. Semua pekerjaan domestik dikerjain bareng, ngurus anak berdua banget karena nggak ada pengasuh. Yang terpenting dalam rumah tangga saling dukung untuk bertumbuh bareng :)
BalasHapusMencari laki-laki yang tepat itu susah-susah gampang. Terlebih yg mengerti urusan domestik rumah. Alhamdulillah saya menemukannya juga. Ya, walaupun banyak yang mengatakan kalau saya itu telst menikah. Tapi, rasa itu kan kita sendiri yang memiliki.
BalasHapusMenikah memang tidak semudah itu ya. Tidak asal pilih, tapi perlu dipertimbangkan dengan baik secara personal supaya saat sudah menikah nanti, bisa salinh bekerja sama dalam urusan domestik juga
BalasHapus