Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Menyalakan Lentera Sejarah dan Budaya Melalui Fiksi di Platform Digital

Apa kamu juga suka membaca fiksi di platform digital?

Walau saya pun masih sangat menikmati momen-momen membaca melalui buku fisik, kemunculan berbagai platform digital yang dikhususkan bagi penulis dan pembaca muda, tak pelak menggoda saya juga. Apalagi, kehadirannya makin menjamur ya.

Alasan remehnya, mencegah saya menjadi tsundoku, alias si penimbun buku yang terus membeli tapi ditamatkan nanti-nanti. Sering kalap memang kalau ke toko buku. Lihat saja, seberapa banyak ulasan buku yang akhirnya saya tayangkan, dibanding yang saya beli, baca, namun nggak sukses dituntaskan?

Nggak apa-apa. Membaca bagi saya bukan beban kok. Proses menikmati bacaan itu, punya tempat sendiri di diri saya.

Ada sisi asiknya sendiri ketika Ka Acha menyambangi berbagai platform digital untuk membaca karya fiksi. Keseruan yang terasa ringan dan nggak terlalu banyak menuntut sebab jejaknya hanya ada dalam telepon genggam. I mean, rak buku saya nggak makin penuh sesak.

Tambahan lain. Adanya notifikasi yang memanggil untuk menuntaskan kisah-kisah yang sedang saya selami, pun sebab bacaan tadi ada dalam genggaman, bisa saya tuntaskan kapan saja. Bahkan, kedekatan antara pembaca seperti Ka Acha, dan penulis, mudah sekali terjalin di dalamnya.

Kalau diingat-ingat, petualangan saya di platform menulis dan membaca berawal dari aplikasi Webtoon. Sebuah kesan manis tersendiri ketika si penulis cerita, membaca ulasan yang saya buat, membagikannya di akun pribadinya, dan mendatangkan banyak pengunjung baru ke Taman Rahasia Cha.

Bertahun berlalu, belum lama ini, saya dibuat jatuh cinta sama karakter Hayden dalam novel fantasi Winter Tea Time. Sebuah bonus bahagia tersendiri saat penulisnya turut menyapa saya di kolom komentar karyanya.

Begitulah … daya pikat karya fiksi di platform digital. Sulit ditolak, bukan?

Ketika menemukan info IG Live Bincang MIMDAN #8 yang kembali digagas oleh Merajut Indonesia, nggak pakai babibu, saya memasukkannya dalam agenda belajar saya. Ya … apalagi tema yang diangkat sungguh menggugah rasa penasaran saya, ‘Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital’.

Sudah begitu, ada dua sosok Teteh favorit Ka Acha yang akan mengobrol bersama. Eva Sri Rahayu (Teh Eva) selaku narasumber, dan kembarannya, Evi Sri Rejeki (Teh Evi) yang memang selalu memandu Bincang MIMDAN. Aih, akhirnya kedua Teteh kesayangan saya ini kolaborasi lagi.

Ka Acha benar-benar nggak sabar, menunggu harinya tiba.

Ok. Mari kembali ke sesi curhat tentang memuat karya di platform digital ya.

Saya terpikir, betapa apa yang dibaca dan digandrungi oleh seseorang, sedikit banyak akan memberi referensi baginya. Maka, diam-diam terselip beban tersendiri dalam pundak penulis untuk menghadirkan karya yang memiliki pesan dan pengetahuan, bukan?

Hal yang mau nggak mau, membawa sesiapa saja yang merasa punya semangat besar untuk menghasilkan karya tulis, sebelum menayangkannya, perlu mengobrol lebih jauh dulu dengan dirinya  sendiri. Kenapa sih harus menulis tentang hal ini dan itu?

Mengutip ungkapan yang disampaikan oleh narasumbernya, Eva Sri Rahayu, “Tulisan bisa membawa wawasan baru pada si pembaca. Jadinya, pembaca ikut bertumbuh juga dengan penulisnya.”

Sepakat.

Kalau diingat, buku antologi When … I Miss You yang terbit sudah cukup lama, dimana Teh Eva pun turut ambil bagian di sana, sungguh saya sudah bertumbuh. Acha yang dulu manja dan kekanak-kanakan, diasuh oleh perubahan hidup, berubah menjadi Ka Acha yang sekarang.

Ketika host-nya, Teh Evi Sri Rejeki, mulai bertanya mengenai alasan dari Teh Eva tertarik untuk menulis fiksi berlatar sejarah dan kebudayaan, Ka Acha makin ingin tahu. Soalnya, Teh Eva, seolah mampu melintasi banyak genre dalam berkarya.  Apalagi, menelurkan karya dengan genre sejarah dan budaya bukanlah hal yang bisa dikatakan mudah.

“Saat mencari jati diri, barulah menemukan keindahan dari falsafah budaya lama yang menghargai perbedaan individu.” Ungkap Teh Eva.

Rupanya, awal mula dari dorongan besar bagi Teh Eva untuk menghadirkan sebuah novela dengan genre budaya berjudul Labirin 8 yang tayang di salah satu platform digital, bermula dari perjuangan untuk menemukan dirinya sendiri.

 

Karya, baik fiksi maupun nonfiksi, merupakan sebuah proyeksi dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa sang penulisnya. Makin mendewasa dan luas wawasannya, ide yang datang kepada si penulis, seringnya makin beragam, pun mampu dikulik sedemikian rupa.

Nah, jadilah, kehadiran sebuah karya – fiksi -- sendiri, bukan sepenuhnya hasil imajinasi semata. Nggak tiba-tiba ide datang, dituliskan, lalu boom! No.

Ka Acha, sebagai seseorang yang sedikit banyak turut berkecimpung juga dalam kolam literasi, menyadari bahwa kekuatan riset, akan mematangkan karya, menjadikannya manis ranum nan bergizi.

Ada amunisi berupa riset literatur dan riset lapangan yang sebenarnya sungguh memakan waktu panjang dalam proses pengolahannya, sebelum kemudian disajikan dalam rupa sebuah fiksi untuk para pembaca.  Proses yang terkadang nggak disadari oleh para penikmat karya di platform digital.

Pernah nggak sih, kamu menemukan komentar seperti ini? “Ayo dong Thor – panggilan akrab reader untuk author-nya – rajin up date. Penasaran sama lanjutan ceritanya.”

Ka Acha cukup sering menemukan komentar serupa dan tergelitik, rasa hati ingin ghibah sesaat. Saking si cerita terasa seru sekali, si pembaca sampai menuntut penulisnya sedemikian rupa. Tapi memang inilah sisi lain dari menelurkan fiksi di platform digital ya. Apalagi kalau sudah digandrungi pembaca, waduh … penulisnya serasa dikejar-kejar.

Bagaimana dengan fiksi berlatar sejarah? Tentu perlakuan dalam proses penulisannya butuh kehati-hatian, bukan? Serupa yang Teh Eva sampaikan,  “Menyelami sejarah dan kebudayaan bikin kita banyak menyelami disiplin ilmu.”

Sososk Eva Sri Rahayu buat Ka Acha secara personal, memang serupa “pintu menuju ke banyak tempat”, kalau boleh digambarkan seperti itu. Salah satu quote manis yang selalu terngiang di kepala ketika menikmati momen belajar atau berdiskusi dengan Teh Eva, persis seperti yang Teteh munculkan di blog pribadinya.

Novela Labirin 8 karya Eva Sri Rahayu mengisahkan tentang petualangan 8 orang yang terjebak di ruang rahasia Candi Borobudur. Sebuah labirin yang muncul akibat gempa, dan kedelapan orang tadi terus saja dihantui gempa susulan, kematian, kelaparan, kegelapan, termasuk kebersamaan dengan orang-orang yang nggak saling mengenal satu sama lain dan tentu nggak serta-merta membuat setiap individunya merasa aman.

Kesemuanya harus memecahkan sandi dari relief-relief yang mereka temukan, agar bisa keluar hidup-hidup. Sayangnya, ketika rahasia akhirnya terbuka, mereka semua dihadang pada rahasia dan bahaya yang lebih besar.

Senang sekali Ka Acha bisa mengikuti sesi Instgram Live dari akun Merajut Indonesia yang sering sekali menyajikan pengetahuan baru tentang budaya Indonesia. Bahkan, beberapa waktu lalu, saya pun bisa mengenal aksara nusantara melalui program yang sama.

Merajut Indonesia sendiri dibentuk oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) yang dihadirkan sebagai respons terhadap globalisasi dan modernisasi, namun tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan ciri dari masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, PANDI lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) memang cukup rutin menghadirkan Bincang MIMDAN dalam bentuk IG Live dengan berbagai bahasan yang berjiwa Indonesia banget. Banyak sudah narasumber yang ikut menyampaikan kecintaannya terhadap Indonesia melalui karya yang mereka persembahkan pada khalayak.

Kalau kamu tertarik lebih jauh tentang budaya tanah air tercinta, nggak ada salahnya untuk mengikuti akun Instagram @merajut_indonesia ya.

Menyalakan lentera sejarah dan budaya melalui fiksi di platform digital, bisa menjadi langkah awal untuk membawa cinta tanah air pada jiwa-jiwa pembaca muda Indonesia. Harapan Ka Acha, semoga makin banyak anak muda yang mempersembahkan rasa sayangnya pada Ibu Pertiwi dalam bentuk karya.

 

Komentar

  1. Tidak bisa dipungkiri ya, saat ini platform digital dirasa paling ampuh untuk segala pemasaran. Oleh karena itu sejarah pun kini bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas terutama para penikmat gawai

    BalasHapus
  2. Membaca di platform digital semakin marak dilakukan. Memang lebih praktis tentunya ya, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Penasaran nih sama 'Merajut Indonesia' :D Kisah yang berbalut seni dan budaya tentu dapat mempeluas wawasan dan pengetahuan negeri kita. Ada keseruan tentang Candi Borobudur...ah kepengen buru2 baca.

    BalasHapus
  3. Salut dengan Eva yang mampu menghidupkan imajinasi dengan latar belakang budaya Indonesia. Semoga karyanya mendapatkan sambutan yang luar biasa dari pembacanya.

    BalasHapus
  4. Senang sekali ada platform yang memperluas informasi sejara dan budaya, karena di era digital saat ini memang ada banyak ya caranya. Btwe saya sudah follow @merajut_indonesia di instagram ❤️

    BalasHapus
  5. Kegiatan membaca memang ajaib, punya daya tarik dan magisnya tersendiri. Ntah bagaimana untuk mengungkapkannya, begitu sulit sepertinya untuk diungkapkan. Bahkan, meski era terus berganti dan kini semuanya serba digital kegiatan membaca buku masihlah sesuau yang amat begitu spesial.

    Saya suka dengan tulisan ini, poinnya menarik dan make sense banget. Sebuah pemikiran menarik yang dikemas dalam sebuah tulisan yang begitu cakap. Thanks for Sharing Kak Cha

    BalasHapus
  6. Wah setuju banget Kak, digitalisasi seperti ini memang membantu banget buat menjangkau hal-hal yang mungkin dulu susah banget buat didapatkan.. Mulai dari komunikasi, mencari informasi, membaca buku, bercerita, berekspresi, dan lain sebagainya. Semoga aja yaa, dengan adanya event-event seperti ini bisa memunculkan motivasi bagi siapapun baik yang muda ataupun yang tua untuk bisa berkarya lebih tinggi lagi dan mampu bersaing dengan negara negara di dunia. Amin.

    BalasHapus
  7. Walopun aku lebih suka membaca buku fisik, tapi membaca dari platform digital tetep aku lakuin juga mba. Walopun ga terlalu sering yaaa, soalnya mataku minus parah 🤣🤣. Jadi kalo baca dari digital, ga bisa terlalu lama 😁. Dan supaya ga rugi, mengingat buku fisik ku msh banyak yg blm dibaca, jadi LBH milih platform digital gratisan drpd yg berbayar.

    Dua teteh Eva dan Evi ini hebaaat yaaa memang. Udahlah miriiiip, sama2 jago nulis. Aku baru sekali baca bukunya yg menceritakan ttg kisah2 mereka sebagai anak kembar 😁. Seru..

    BalasHapus
  8. Jujur saya belum pernah dengar siapa pembicara satu ini. Tapi melihat temanya saya juga ikutan berpacu kalau pas dengan jam kosong

    BalasHapus

Posting Komentar