pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Apa kamu juga suka membaca fiksi di platform digital?
Walau saya pun masih sangat menikmati momen-momen membaca
melalui buku fisik, kemunculan berbagai platform digital yang dikhususkan bagi
penulis dan pembaca muda, tak pelak menggoda saya juga. Apalagi, kehadirannya
makin menjamur ya.
Alasan remehnya, mencegah saya menjadi tsundoku, alias si
penimbun buku yang terus membeli tapi ditamatkan nanti-nanti. Sering kalap
memang kalau ke toko buku. Lihat saja, seberapa banyak ulasan buku yang
akhirnya saya tayangkan, dibanding yang saya beli, baca, namun nggak sukses
dituntaskan?
Nggak apa-apa. Membaca bagi saya bukan beban kok. Proses
menikmati bacaan itu, punya tempat sendiri di diri saya.
Ada sisi asiknya sendiri ketika Ka Acha menyambangi berbagai
platform digital untuk membaca karya fiksi. Keseruan yang terasa ringan dan
nggak terlalu banyak menuntut sebab jejaknya hanya ada dalam telepon genggam. I mean, rak buku saya nggak makin penuh
sesak.
Tambahan lain. Adanya notifikasi yang memanggil untuk
menuntaskan kisah-kisah yang sedang saya selami, pun sebab bacaan tadi ada
dalam genggaman, bisa saya tuntaskan kapan saja. Bahkan, kedekatan antara
pembaca seperti Ka Acha, dan penulis, mudah sekali terjalin di dalamnya.
Kalau diingat-ingat, petualangan saya di platform menulis
dan membaca berawal dari aplikasi Webtoon. Sebuah kesan manis tersendiri ketika
si penulis cerita, membaca ulasan yang saya buat, membagikannya di akun
pribadinya, dan mendatangkan banyak pengunjung baru ke Taman Rahasia Cha.
Bertahun berlalu, belum lama ini, saya dibuat jatuh cinta sama
karakter Hayden dalam novel fantasi Winter Tea Time. Sebuah bonus bahagia
tersendiri saat penulisnya turut menyapa saya di kolom komentar karyanya.
Begitulah … daya pikat karya fiksi di platform digital. Sulit
ditolak, bukan?
Ketika menemukan info IG Live Bincang MIMDAN #8 yang kembali
digagas oleh Merajut Indonesia, nggak pakai babibu, saya memasukkannya dalam
agenda belajar saya. Ya … apalagi tema yang diangkat sungguh menggugah rasa
penasaran saya, ‘Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital’.
Sudah begitu, ada dua sosok Teteh favorit Ka Acha yang akan
mengobrol bersama. Eva Sri Rahayu (Teh Eva) selaku narasumber, dan kembarannya,
Evi Sri Rejeki (Teh Evi) yang memang selalu memandu Bincang MIMDAN. Aih,
akhirnya kedua Teteh kesayangan saya ini kolaborasi lagi.
Ka Acha benar-benar nggak sabar, menunggu harinya tiba.
Ok. Mari kembali ke sesi curhat tentang memuat karya di
platform digital ya.
Saya terpikir, betapa apa yang dibaca dan digandrungi oleh
seseorang, sedikit banyak akan memberi referensi baginya. Maka, diam-diam
terselip beban tersendiri dalam pundak penulis untuk menghadirkan karya yang memiliki
pesan dan pengetahuan, bukan?
Hal yang mau nggak mau, membawa sesiapa saja yang merasa
punya semangat besar untuk menghasilkan karya tulis, sebelum menayangkannya,
perlu mengobrol lebih jauh dulu dengan dirinya
sendiri. Kenapa
sih harus menulis tentang hal ini dan itu?
Mengutip ungkapan yang disampaikan oleh narasumbernya, Eva
Sri Rahayu, “Tulisan bisa membawa wawasan baru pada si pembaca. Jadinya,
pembaca ikut bertumbuh juga dengan penulisnya.”
Sepakat.
Kalau diingat, buku
antologi When … I Miss You yang terbit sudah cukup lama, dimana Teh Eva pun
turut ambil bagian di sana, sungguh saya sudah bertumbuh. Acha yang dulu manja
dan kekanak-kanakan, diasuh oleh perubahan hidup, berubah menjadi Ka Acha yang
sekarang.
Ketika host-nya, Teh
Evi Sri Rejeki, mulai bertanya mengenai alasan dari Teh Eva tertarik untuk
menulis fiksi berlatar sejarah dan kebudayaan, Ka Acha makin ingin tahu. Soalnya,
Teh Eva, seolah mampu melintasi banyak genre dalam berkarya. Apalagi, menelurkan karya dengan genre sejarah
dan budaya bukanlah hal yang bisa dikatakan mudah.
“Saat mencari jati diri, barulah menemukan keindahan dari
falsafah budaya lama yang menghargai perbedaan individu.” Ungkap Teh Eva.
Rupanya, awal mula dari dorongan besar bagi Teh Eva untuk
menghadirkan sebuah novela dengan genre budaya berjudul Labirin 8 yang tayang
di salah satu platform digital, bermula dari perjuangan untuk menemukan dirinya
sendiri.
Karya, baik fiksi maupun nonfiksi, merupakan sebuah proyeksi dari
pertumbuhan dan perkembangan jiwa sang penulisnya. Makin mendewasa dan luas wawasannya,
ide yang datang kepada si penulis, seringnya makin beragam, pun mampu dikulik
sedemikian rupa.
Nah, jadilah, kehadiran sebuah karya – fiksi -- sendiri,
bukan sepenuhnya hasil imajinasi semata. Nggak tiba-tiba ide datang,
dituliskan, lalu boom! No.
Ka Acha, sebagai seseorang yang sedikit banyak turut
berkecimpung juga dalam kolam literasi, menyadari bahwa kekuatan riset, akan
mematangkan karya, menjadikannya manis ranum nan bergizi.
Ada amunisi berupa riset literatur dan riset lapangan yang
sebenarnya sungguh memakan waktu panjang dalam proses pengolahannya, sebelum
kemudian disajikan dalam rupa sebuah fiksi untuk para pembaca. Proses yang terkadang nggak disadari oleh para
penikmat karya di platform digital.
Pernah nggak sih, kamu menemukan komentar seperti ini? “Ayo
dong Thor – panggilan akrab reader untuk author-nya – rajin up date. Penasaran
sama lanjutan ceritanya.”
Ka Acha cukup sering menemukan komentar serupa dan
tergelitik, rasa hati ingin ghibah sesaat. Saking si cerita terasa seru sekali,
si pembaca sampai menuntut penulisnya sedemikian rupa. Tapi memang inilah sisi
lain dari menelurkan fiksi di platform digital ya. Apalagi kalau sudah
digandrungi pembaca, waduh … penulisnya serasa dikejar-kejar.
Bagaimana dengan fiksi berlatar sejarah? Tentu perlakuan
dalam proses penulisannya butuh kehati-hatian, bukan? Serupa yang Teh Eva
sampaikan, “Menyelami sejarah dan
kebudayaan bikin kita banyak menyelami disiplin ilmu.”
Sososk Eva Sri Rahayu buat Ka Acha secara personal, memang serupa “pintu menuju ke banyak tempat”, kalau boleh digambarkan seperti itu. Salah satu quote manis yang selalu terngiang di kepala ketika menikmati momen belajar atau berdiskusi dengan Teh Eva, persis seperti yang Teteh munculkan di blog pribadinya.
Novela Labirin 8 karya Eva Sri Rahayu mengisahkan tentang
petualangan 8 orang yang terjebak di ruang rahasia Candi Borobudur. Sebuah
labirin yang muncul akibat gempa, dan kedelapan orang tadi terus saja dihantui
gempa susulan, kematian, kelaparan, kegelapan, termasuk kebersamaan dengan
orang-orang yang nggak saling mengenal satu sama lain dan tentu nggak
serta-merta membuat setiap individunya merasa aman.
Kesemuanya harus memecahkan sandi dari relief-relief yang mereka temukan, agar bisa keluar hidup-hidup. Sayangnya, ketika rahasia akhirnya terbuka, mereka semua dihadang pada rahasia dan bahaya yang lebih besar.
Senang sekali Ka Acha bisa mengikuti sesi Instgram Live dari
akun Merajut Indonesia yang sering sekali menyajikan pengetahuan baru tentang
budaya Indonesia. Bahkan, beberapa waktu lalu, saya pun bisa mengenal aksara
nusantara melalui program yang sama.
Merajut Indonesia sendiri dibentuk oleh Pengelola Nama
Domain Internet Indonesia (PANDI) yang dihadirkan sebagai respons terhadap
globalisasi dan modernisasi, namun tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang
merupakan ciri dari masyarakat Indonesia.
Lebih jauh, PANDI
lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)
memang cukup rutin menghadirkan Bincang MIMDAN dalam bentuk IG Live dengan
berbagai bahasan yang berjiwa Indonesia banget. Banyak sudah narasumber yang
ikut menyampaikan kecintaannya terhadap Indonesia melalui karya yang mereka
persembahkan pada khalayak.
Kalau kamu tertarik lebih jauh tentang budaya tanah air
tercinta, nggak ada salahnya untuk mengikuti akun Instagram @merajut_indonesia
ya.
Menyalakan lentera sejarah dan budaya melalui fiksi di
platform digital, bisa menjadi langkah awal untuk membawa cinta tanah air pada
jiwa-jiwa pembaca muda Indonesia. Harapan Ka Acha, semoga makin banyak anak
muda yang mempersembahkan rasa sayangnya pada Ibu Pertiwi dalam bentuk karya.
Tidak bisa dipungkiri ya, saat ini platform digital dirasa paling ampuh untuk segala pemasaran. Oleh karena itu sejarah pun kini bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas terutama para penikmat gawai
BalasHapusMembaca di platform digital semakin marak dilakukan. Memang lebih praktis tentunya ya, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Penasaran nih sama 'Merajut Indonesia' :D Kisah yang berbalut seni dan budaya tentu dapat mempeluas wawasan dan pengetahuan negeri kita. Ada keseruan tentang Candi Borobudur...ah kepengen buru2 baca.
BalasHapusSalut dengan Eva yang mampu menghidupkan imajinasi dengan latar belakang budaya Indonesia. Semoga karyanya mendapatkan sambutan yang luar biasa dari pembacanya.
BalasHapusSenang sekali ada platform yang memperluas informasi sejara dan budaya, karena di era digital saat ini memang ada banyak ya caranya. Btwe saya sudah follow @merajut_indonesia di instagram ❤️
BalasHapusKegiatan membaca memang ajaib, punya daya tarik dan magisnya tersendiri. Ntah bagaimana untuk mengungkapkannya, begitu sulit sepertinya untuk diungkapkan. Bahkan, meski era terus berganti dan kini semuanya serba digital kegiatan membaca buku masihlah sesuau yang amat begitu spesial.
BalasHapusSaya suka dengan tulisan ini, poinnya menarik dan make sense banget. Sebuah pemikiran menarik yang dikemas dalam sebuah tulisan yang begitu cakap. Thanks for Sharing Kak Cha
Wah setuju banget Kak, digitalisasi seperti ini memang membantu banget buat menjangkau hal-hal yang mungkin dulu susah banget buat didapatkan.. Mulai dari komunikasi, mencari informasi, membaca buku, bercerita, berekspresi, dan lain sebagainya. Semoga aja yaa, dengan adanya event-event seperti ini bisa memunculkan motivasi bagi siapapun baik yang muda ataupun yang tua untuk bisa berkarya lebih tinggi lagi dan mampu bersaing dengan negara negara di dunia. Amin.
BalasHapusWalopun aku lebih suka membaca buku fisik, tapi membaca dari platform digital tetep aku lakuin juga mba. Walopun ga terlalu sering yaaa, soalnya mataku minus parah 🤣🤣. Jadi kalo baca dari digital, ga bisa terlalu lama 😁. Dan supaya ga rugi, mengingat buku fisik ku msh banyak yg blm dibaca, jadi LBH milih platform digital gratisan drpd yg berbayar.
BalasHapusDua teteh Eva dan Evi ini hebaaat yaaa memang. Udahlah miriiiip, sama2 jago nulis. Aku baru sekali baca bukunya yg menceritakan ttg kisah2 mereka sebagai anak kembar 😁. Seru..
Jujur saya belum pernah dengar siapa pembicara satu ini. Tapi melihat temanya saya juga ikutan berpacu kalau pas dengan jam kosong
BalasHapus