Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Menyambut Kelahiran Buku Antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa yang Bernapas Kearifan Nuswantara

Terlahir dan tumbuh besar di tanah Ibu Pertiwi nggak serta-merta membawa sesiapa saja tunas bangsa mengenal setiap lekuk elok dari budaya yang membesarkannya secara utuh. Pernahkah kamu terpikir, perlahan tapi pasti berbagai budaya lawas tergerus sesuatu yang kini dengan bangga kita elu-elukan sebagai modernisasi peradaban?

Pada Jumat, 7 Oktober 2022 lalu, saya berkesempatan untuk menjadi peserta dalam webinar yang bertajuk “Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa”. Sebuah acara yang dipersembahkan oleh komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis dan Elang Nuswantara.

Dua orang narasumber dengan pengetahuan yang sangat mumpuni dalam bidang kepenulisan, hadir, mengalirkan ilmu pengetahuan di bidang menulis yang sungguh kaya. Walau secuil – menurut kedua pembicara – tetapi telah memberikan beberapa catatan penting bagi saya, secara personal. Pun turut mengantarkan sebuah buku antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa ini, sebagai karya yang nggak bisa dianggap sebagai hasil dari imajinasi semata, melainkan kumpulan riset para penulisnya.

Apakah antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa ini merupakan kumpulan karya fiksi dari para penulisnya? Jawabannya, ya. Tapi, hati-hati, sebuah karya fiksi nggak bisa disepelekan alih-alih kisah yang diukir di dalamnya merupakan sesuatu yang nggak seutuhnya nyata.

Mungkin nggak jarang kita mendengar seloroh bernada, asik ya kalau jadi penulis fiksi? Tinggal mengkhayal saja kerjanya. Perbanyak melamun dan tuangkan keluh kesah dan jatuh cinta lewat pena.

Eitss … yakin ungkapan ini mau begitu saja kamu percaya? Jika kamu bertanya kepada para penulis yang baru saja melahirkan karyanya, tentu saja akan lekas memberi bantahan. Sebab proses menulis, nggak bisa tinggal cling lalu muncullah sebuah adikarya.

Mari kita menyamakan frekuensi kita bersama-sama. Jika memang proses menghadirkan sebuah karya tersebut hanya bermula dari khayalan semata, maka buku-buku bacaan yang dilabeli fiksi akan bertebaran dimana-mana, pun setiap orang akan dengan mudah saja terlibat dan menjadi bagian di dalam ranah ini. Toh, modalnya hanya curhat saja. Iya kan?

Sebuah quote dari Bu Kirana Kejora yang disampaikan sepanjang acara kemarin, sungguh menyadarkan sesiapa saja bahwa pekerjaan menulis nggak hanya bermodal imajinasi dan eksekusi di depan alat menulis. Penulis adalah Periset. Seorang Pengkhayal yang punya data.

Menulis Fiksi Nggak Mudah, Tapi ….

Dalam paparan yang disampaikan secara lugas nan menyenangkan oleh Mbak Widyanti Yuliandari selaku Ketua Umum Ibu-Ibu Doyan Nulis, dengan sajiannya yang diberi judul “Fiksi vs Nonfiksi” menghadirkan begitu banyak anak tangga yang mau nggak mau harus ditempuh oleh seorang penulis fiksi pemula. Jalan yang nggak jauh berbeda dari yang dilalui penulis nonfiksi.

Menempuh jalan ninja sebagai penulis fiksi, mengajarkan untuk tabah melalui memperbanyak bahan bacaan berupa karya fiksi dan nonfiksi dari penulis yang baik. Belum lagi, mencari referensi tambahan melalui video, foto, rekaman suara, cerita atau hasil wawancara, dan lain sebagainya.

Segalanya akan menunjung bagi para penulis fiksi untuk mampu menghadirkan latar cerita yang mudah baginya dibayangkan, pun tersampaikan dengan apik sehingga pembaca bisa memvisualisasikan cerita melalui sajian baris kalimat-kalimatnya. Sampai di sini, terbayang betapa melahirkan karya fiksi nggak sederhana prosesnya, kan?

Anak tangga tertinggi yang perlu dipijak baik-baik, sesungguhnya adalah soal ekspektasi sepanjang menjalani proses melahirkan sebuah karya tadi. Bahkan, Mbak Widya sampai berkata, “keinginan untuk jadi sempurna dengan kesombongan, bedanya hanya tipis”. Maknanya, sungguh sebuah adikarya nggak akan bisa terlahir begitu saja. Ada proses panjang yang melelahkan di sana.

Apalagi, menulis fiksi nggak bisa hanya bermodal bakat, khayalan, dan anggapan kalau fiksi merupakan jenis tulisan yang gampang. Menulis fiksi harus kuat di risetnya. Titik.

Penulis Adalah Jiwa yang Kaya Lagi Tabah

Bu Kirana Kejora yang mengangkat topik “Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa” selaku pendiri dari Elang Nuswantara, turut menjelaskan mengenai proses awal dari cara menghadirkan tulisan fiksi yang bisa memikat pembaca. Proses yang nggak bisa dikatakan mudah, namun butuh berkali-kali latihan, pembiasaan, dan di atas segalanya, selalu membutuhkan riset.

Wajar bagi saya, mengapa Bu Kirana Kejora selanjutnya mengungkapkan bahwa penulis sesungguhnya bisa dikatakan sebagai sebagai periset sekaligus penemu. Apa pasal?

Menulis sebuah karya memang akan bermula dari sebuah ide yang muncul di kepala. Kemunculannya pun bisa dari mana saja, mulai dari bahan bacaan, pengamatan akan lingkungan sekitar, perasaan, atau juga pengalaman. Seluruh indera dan jiwa bekerjasama, mengundang sebuah ide hingga terlintas di kepala.

Selanjutnya, ide nggak akan begitu saja berubah menjadi sebuah karya nan sempurna. Ada proses menjabarkan ide tadi menjadi premis, logline, sampai dengan sinopsis. Apa sudah selesai sampai di situ? Belum. Masih ada outline yang perlu dijabarkan sebelum beranjak ke tahap eksekusi, revisi, lalu eksekusi kembali. Berulang, hingga cerita yang dihadirkan, nampak rupawan dan membuat seenggaknya editor dan pembaca pertama, jatuh hati, pun mengena di logika.

Riset yang dijalani oleh seorang penulis fiksi tadi, kemudian memunculkan poin 5W1H seperti ilmu baku yang harus dikuasai oleh para penulis nonfiksi. Poin-poin yang akan membawa penulisnya kelak mampu meramu segala bahan yang ia temui sepanjang mengembangkan ide, termasuk memberinya bumbu-bumbu drama yang masuk akal.

Nah, sampai di sini, apa kamu mulai tersadar tentang proses bekerja dari seorang penulis fiksi? Sungguh bukan proses yang tinggal duduk melamun, mengkhayal, lalu simsalabim menjadi sebuah adikarya, bukan?

Menerbangkan Kearifan Nuswantara dalam Sebuah Karya

Cover buku yang didominasi warna biru muda lembut tersebut, menghadirkan sesosok wanita anggun bersanggul. Sebuah bunga merah menghiasi rambutnya yang hitam legam. Terlihat tenang, namun menyimpan kedalaman dari bahasa tubuhnya.

Seketika, sebagai calon pembaca, saya mendapati sebuah aura bahwa buku antologi Berikan Aku Cerita yang Tak Biasa, bisa saja membuka mata tentang betapa ragam dan berlimpahnya budaya Nuswantara. Senada dengan yang diungkapkan salah satu penulisnya, Kak Rahmi, “budaya kita begitu kaya, dan kalau tidak diangkat, akan semakin tenggelam.”

Ada alasan tersendiri, mengapa akhirnya Ibu-Ibu Doyan Nulis berkolaborasi dengan Elang Nuswantara untuk menghadirkan buku antologi fiksi bertema budaya ini. Rupanya, buku ini merupakan sebuah wujud atas sebuah rasa untuk mensyukuri, menjaga, serta turut merayakan warisan budaya luhur Indonesia.

Berbagai karya cerpen filmis yang dihadirkan, berakar dari sebuah panggilan jiwa pada para perempuan yang terlibat di dalamnya. Apalagi, sesungguhnya, mengulik genre budaya begini, sebenarnya sangatlah menarik. Selain itu, ada pesan penting yang dibawa oleh 28 penulis di dalamnya, pada para pembaca, demi turut merawat kekayaan adat istiadat yang para tetua sampaikan melalui asuhannya pada kita.

Buku prosa budaya yang diampu oleh Bu Kirana Kejora bersama tim dari Ibu-Ibu Doyan Nulis, memunculkan 28 karya prosa budaya dari para penulis Elang Biru. Mengenalkan berbagai macam latar budaya yang sungguh rupa-rupa di tanah air tercinta kita.

Para penulis Elang Biru tadi, memparadekan berbagai budaya dengan bubuhan makna tersirat nan filosofis dari Aceh, Jawa, Bugis, dan berbagai tempat lainnya di tanah air. Menyadari hal ini, tentu buku antologi Beri Aku Sesuatu yang Tak Biasa, bisa memanjakan pembaca dengan kisah-kisah yang juga mengandung ragam kekayaan kita.

Mulai dari adat kebiasaan di berbagai wilayah Nuswantara, keindahan wastra Tidore yang sempat punah hingga 100 tahun, hingga sedapnya kuliner yang penuh ragam rasa. Semuanya dikemas dalam roman indah dan mudah dinikmati ceritanya. Begitulah sedikit yang sempat saya catat dari apa yang dipaparkan sepanjang acara.

Catatan tambahan, sebelum bergabung, menjadi bagian dari Elang Nuswantara, komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) membuka kelas menulis cerpen dasar. Setelah itu, para pesertanya diberikan kelas khusus tentang menulis prosa budaya oleh Bu Kirana Kejora. Barulah, setiap penulis di dalamnya, mulai menggarap ide prosa budayanya masing-masing.

Nggak mengalir begitu saja. Selepas para penulis menyelesaikan naskah masing-masing, ada tahap review, juga revisi, sebelum penyaringan kelayakan naskah, sampai akhirnya menjadi bagian dalam rangkaian prosa budaya di buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa ini. Proses panjang yang sudah bisa memperlihatkan kualitas bukunya, bukan?

Senang sekali, saya bisa mengambil bagian dalam menyambut kelahiran buku antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa yang bernapas kearifan nuswantara ini. Semoga, pesan-pesan yang tersirat di dalamnya, sampai ke hati pembacanya, mengena, mengenalkan kembali budaya Nuswantara yang bisa jadi perlahan memudar, terlupa dijejaki oleh para tunas bangsa penerus seperti kita.


Komentar

  1. aku pernah ikut kelas nulis fiksi, ya ampun susah banget ternyata, ga bisa cuma modal khayalan, harus riset, banyak baca, banyak informasi dan wawasan, pokoknya justru harus jd orang yang serba tau, belum lagi cara nulis, milih diksi juga mumet, salut deh buat para penulis fiksi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Kebayang kalau harus menulis karya fiksi panjang. Perjuangan dan nggak mudah. Butuh ketangguhan dan kegigihan pula.

      Hapus
  2. Bagi orang yang tidak suka menulis, bahkan membaca, memang terkadang menggampangkan soal menulis. Padahal saat dia melakukan, baru awal saja sudah menyerah.
    Dan setuju sekali, menulis fiksi juga tidak hanya sakadar menulis. Ada riset juga, misalnya settingnya di mana. Terus misalnya profesi tokohnya apa, itu memang harus diriset semua. Jadi nantinya, fiksi tidak sekadar membaca cerita, tapi ada pengetahuan baru juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, betul Mas Bams. Nggak jarang sih desas-desus begini tertangkap telingaku. Tapi, sesungguhnya yang menjalani prosesnyalah yang paham ya.

      Hapus
  3. Keren banget nih pasti antologinya. Jadi penasaran ada cerita apa aja di sana.

    BalasHapus
  4. Bagi seorang yang nggak menekuni dunia fiksi. Mungkin beranggapan bahwa menulis fiksi itu hanya tinggal banyakin menghayal.

    Padahal, biar kita bisa mendapat bayangan peristiwa hanya dari serangkaian kata itu bukan perkara mudah.

    BalasHapus
  5. Keren jalan ceritanya hingga terlahir antologi ini. Temanya eh ceritanya juga unik unik kalau melihat nama mau sekadar memanggil mereka. Kita bangun disini saja, katanya.

    BalasHapus
  6. Betul, menulis fiksi jg ada risetnya. Akan terasa hambar kalau hanya sekedar menuangkan khayalan tanpa didasari fakta yg ada. Misalnya nulis fiksi soal naik balon udara tapi gak riset bagaimana soal balon udara, malah nulis naik balon udara di Surabaya contohnya...kan malah ntar diketawai pembaca. Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lho Mba, bener banget. Kecuali situasinya si karakter lagi berandai-andai tuh, masuk logika, hihihi.

      Hapus
  7. Setuju menulis itu tak mudah apalagi fiksi karena perlu riset agar gak asal hasilnya

    BalasHapus
  8. Aku juga pas lihat teaser bukunyaa suka bangett jadi ikut penasaran pengen baca bukunyaa

    BalasHapus
  9. Waaah bikin takjub, apalagi membaca judul dari buku ini rasanya ingin membaca rangkaian cerita yang tersirat didalamnya. Pastinya buku ini bertujuan untuk meleatarikan budaya yang ada di Indonesia ya supaya para generasi muda tidak abagi pada budaya dan sejarah yang merangkai budaya tersebut.

    BalasHapus
  10. Bosen dan capek banget ngadepin orang yang komen "Enak ya nulis fiksi, cuma modal ngayal dapat duit." Yang parah sih, kalau penulis pun berpikiran begitu. Hasilnya? Yaaaah.... cerita ngawang-ngawang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh? Emang ada juga penulis yang berpikiran begitu, Teh? Waduuuww.

      Hapus
  11. Sangat sulit juga ya untuk membangun karya fiksi. Perlu ada passsion dan minat baca agar menghasilkan karya fiksi yang bagus dan mengena di pembaca

    BalasHapus
  12. Menulis fiksi gak segampang menulis status di medsos, eaaa..
    Apalagi kalau udah asik nih nulis fiksi eh tetiba nulis artikel, terus mau nulis fiksi ya udah buyar hahah (curcol dah).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu. Pas mau balik lagi, susah jaga taste-nya. (curcol ugha)

      Hapus
  13. gue akui nulis fiksi itu ada sedikit kesusahan, tapi jangan pernah patah semangat. Apalagi klo kita punya komunitas yg saling share ilmu lebih ok ya

    BalasHapus
  14. Aku pernah menulis antalogi cerpen berdua dengan temanku. Dan setelah aku baca ulang karya tersebut, beuhh.. Kesalahan ada dimana-mana. Nggak puas banget rasanya. Emang menulis itu nggak mudah. Walau penulis fiksi yang katanya kerjanya cuma menghayal doank. Huhuu.. Keren ya ibu-ibu doyan nulis. Udah punya karya keren kayak gini.

    BalasHapus
  15. Ih keren banget ini antologi. Aku selalu suka baca cerita fiksi dan emang sih sepakat, nulis fiksi itu nggak semudah kelihatannya sayanggg hahahhaa. Salut sama IIDN mewadahi hobi nulis cerita fiksi

    BalasHapus
  16. Paling kagum sama penulis fiksi karena bikin cerita fiksi itu susaaaah banget. Zaman smp dulu pernah coba bikin novel ala-ala, yaa gitu deh susah setengah mati bikinnya. Hehe

    BalasHapus
  17. Wah keren komunitas IIDN melahirkan buku antologi untuk yang kesekian kalinya. Saya salut dengan para perempuan yang bisa menulis fiksi karena bagi saya tidak mudah menulis fiksi.

    BalasHapus
  18. Penasaran sama bukunya. Hmmm.. ternyata kalau ingin menulis buku itu prosesnya panjang juga ya mba..apalagi yang bertema budaya seperti ini..well.. rasanya ikut bangga menyaksikan karya teman-teman terbit

    BalasHapus
  19. Menulis cerita fiksi itu menurut saya lebih susah. Soalnya harus tetap riset plus ada imajinasinya juga. Plot ga boleh bolong. Dan pemeran juga kudu berkarakter. Hehe. Keren ya iidn terbit lagi bukunya

    BalasHapus
  20. Udah banyak baca review antologi buku ini. Juga cerita dibaliknya terbitnya buku ini. Luar biasa ya perjuangannya.

    BalasHapus

Posting Komentar