pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Apa sih yang bisa membuat kamu punya semangat lebih di pagi hari? Sebuah pertanyaan sederhana yang sebenarnya jika dipikirkan dampaknya secara lebih mendalam ternyata nggak bisa dikatakan sebagai kalimat yang biasa saja.
Terkadang, saya sendiri pun nggak sepenuhnya paham, apa sih
yang ingin saya lakukan di hari yang tengah berjalan. Terhenti. Demotivasi.
Tetapi akhirnya beranjak dari tempat tidur karena merasa, ya … hari itu harus
dilalui, seenggaknya dengan nggak bergelung selimut binti nggak produktif sama
sekali.
Apakah segalanya kemudian berubah menjadi menyenangkan? Kadang iya, kadang nggak juga. Maka, seusai menamatkan sebuah buku pengembangan diri bersampul abu-abu gelap dengan judul The Book of Ikigai tulisan dari Ken Mogi Ph.D inilah, saya banyak merenungi diri sendiri.
Judul : The Book of Ikigai (Untuk Hidup Seimbang, Lebih
Bahagia, dan Panjang Umur)
Penulis : Ken Mogi Ph.D
Penerjemah : Nuraini Mastura
Penerbit : Noura Publishing
Cetakan : Juni 2018
ISBN : 978-602-385-415-8
Perkenalkan, Jiro Ono, 91 tahun :
Chef Bintang Tiga Michelin paling tua di dunia yang masih
hidup.
Tak heran restoran sushi milik Ono masuk daftar resto kelas
dunia. Presiden Barack Obama bahkan memuji karya Ono sebagai sushi terlezat
yang pernah disantapnya. Apa sebenarnya kunci kesuksesan Ono? Apa yang
membuatnya mampu tetap bersemangat menjalani hari-harinya?
Ternyata Ono memiliki IKIGAI yang membuatnya tak pernah
bosan melakukan hal yang sama dan detail setiap hari. Dia menemukan ikigai dari
senyuman pelanggannya, penghargaan-penghargaan yang dia peroleh, atau dari hawa
sejuk kala fajar, saat dia bangun, dan bersiap-siap pergi ke pasar ikan. Dia
bahkan berharap bisa mati selagi membuat sushi.
Ikigai, filosofi dari Jepang akan memberikan Anda motivasi,
semangat, gairah, dan tujuan untuk menjalani hidup. Melalui berbagai kisah
inspiratif, Ken Mogi, seorang brain scientist, menunjukkan keajaiban ikigai
dalam hidup manusia. Tidakkah kini saatnya Anda menemukan ikigai Anda sendiri?
Ikigai adalah istilah Jepang untuk menjelaskan kesenangan
dan makna kehidupan. Melalui buku ikigai ini, saya belajar bahwa rupanya bangsa
Jepang nggak memerlukan dasar motivasi besar-besaran untuk terus bergerak,
tetapi lebih mengandalkan pada ritual-ritual kecil dalam rutinitas keseharian
mereka. Mungkin, bisa dianalogikan seperti bergerak dalam senyap tanpa terlalu
banyak berharap.
Kisah yang sukses menarik penuh perhatian saya sepanjang
membaca, sebenarnya bukanlah Jiro Ono yang dimunculkan pada blurb. Bukan pula
kisah para pesumo yang bertahun-tahun berjuang demi mencapai posisi Yokozuna
dimana nggak semua orang bisa mencicipinya.
Perhatian saya tersedot pada sepotong kisah sejarah
pembangunan Kuil Meiji yang berada di jantung Kota Tokyo, di distrik Shibuya
yang terkenal ramai bahkan hingga kini menjadi salah satu daya tarik wisata
kota di Jepang sana. Sebuah tempat dimana terdapat hutan buatan dengan
100.000-an pohon yang kemudian menjadi rumah bagi Elang Alap (Goshawk).
Kuil yang didirikan pada tahun 1920 sebagai persembahan bagi
Kaisar Meiji (1852-1912) ini dikelilingi oleh hutan buatan. Sebuah suasana yang
seketika membuat sesiapa saja yang berkunjung ke sana akan terlupa kalau tengah
berada di kawasan ibukota negara Jepang. Pun lokasi kuil ini mudah disambangi
dari Stasiun Shinjuku.
Dalam buku The Book of Ikigai, pada bab 6 yang
menitikberatkan bahasan antara ikigai dengan kelestarian alam, saya menikmati
sebuah kisah betapa pengelolaan kuil Meiji benar-benar dekat dengan lingkungan.
Pepohonan yang ditanam, daunnya dibiarkan beguguran di atas tanah. Hanya pada
bagian untuk para pejalan saja yang dibersihkan, pun bukan disingkirkan,
melainkan dikembalikan ke bagian hutan yang nggak dilalui orang.
Setelah satu abad berlalu, terbayang bagaimana sebuah
kawasan hutan kota seketika menjadi rumah bagi burung Elang Alap yang
menandakan bahwa kawasan tersebut dilingkupi udara
bersih dan tanah yang terbilang subur bagi keberadaan para burung. Ada
perasaan iri yang lekas menyeruak, mengingatkan saya pada berbagai kebiasaan
bangsa Jepang yang sungguh baik bagi kelestarian alam, sesederhana kewajiban
masyarakatnya untuk memilah sampah rumah tangga.
Perlakuan kecil yang dijadikan keseharian dan terus-menerus
tanpa perlu digembar-gemborkan ala kampanye besar, memberikan dampak yang
sungguh nggak terduga. Dimulai dari pilar pertama hingga kelima ikigai yang
berlangsung terus-menerus tanpa membayangkan dampak baiknya di masa depan akan
seperti apa.
Hey … andai di tanah air kita bisa menerapkan pola yang sama
ya. Sendunya, kawasan kota penunjang ibukota saja makin sering mengalami banjir
dan tanah longsor seperti yang baru-baru ini meneror kawasan kota dan kabupaten
Bogor. Mungkinkah selama ini, sisi pembangunan di tanah air kurang memberikan
penghargaan pada alam melalui hal-hal kecil seperti yang bangsa Jepang
terapkan?
Ada lagi poin menarik yang saya dapati melalui sepotong
cerita dari seorang animator terkenal, si pemilik Studio Ghibli yang hingga
kini masih banyak digemari karena kisah-kisahnya yang menyentuh hati, Hayao
Miyazaki. Kamukah salah satu penggemar karyanya?
Di usia beliau yang telah memasuki senja, ia masih saja
menghabiskan waktu berjam-jam di meja kerjanya, bukan karena terdorong oleh
“imbalan” melainkan karena menemukan kesenangan di setiap aktivitas membuat
anime. Rencana pensiunnya saja belum jua terlaksana hingga The Book of Ikigai
ini dicetak pertama kali pada 2017 lalu.
Sepotong kisah yang Hayao Miyazaki tuturkan pada sang
penulis buku ini, menyentuh perasaan saya tentang kehidupan yang harus dijalani
dengan baik pada satu hari saja. Beliau berkisah, pada suatu waktu, ada anak
berusia 5 tahun yang datang mengunjungi Studio Ghibli. Setelah bermain beberapa
waktu di studio, Miyazaki mengajak si anak beserta orangtuanya ke studio
terdekat menggunakan mobilnya.
Kala itu, Miyazaki memiliki mobil dengan kap konvertibel.
“Anak itu senang berkendara dengan kap diturunkan”, pikir Mizayaki. Sayang,
ketika sedang berusaha menurunkan kap mobilnya, gerimis turun sehingga Miyazaki
urung, dan beranggapan kalau lain kali saja ia melakukan hal itu, sehingga
berakhir berkendara dengan kap tertutup.
Beberapa saat kemudian, Miyazaki menuturkan kalau dirinya
merasa sangat menyesal. Ia menyadari, bahwa bagi seorang anak, satu hari itu
adalah segalanya, dan satu hari tadi nggak akan pernah kembali lagi. Setiap
anak tumbuh dengan cepat. Jika pun ia datang satu tahun kemudian dan mencoba
mengulang kejadian yang sama, tentu rasanya nggak akan sama lagi.
Sungguh pelajaran berharga dari Hayao Miyazaki tentang
melakukan apa saja sebaik-baiknya di hari sekarang, dengan anggapan bahwa
kesempatan nggak akan selalu datang lagi. Kalau pun kembali, maka perasaan yang
dibawa sudah tentu berbeda. Persis dengan bagaimana kita menjalani kehidupan,
bukan?
Saya selalu percaya, bahwa segala yang kita akhirnya cicipi
dalam hidup saat ini adalah sebuah hasil dari rentetan pilihan di hari kemarin.
Menyadarkan, bahwa kalau akhirnya muncul penyesalan, ya sudah. Berkata bahwa
esok hari masih bisa dicoba kembali, bisa jadi pilihan yang di kemudian hari
menjadi masalah besar yang membuat sesal tiada henti.
Sepanjang menghabiskan buku pengembangan diri ini, selama
sebulan, saya diingatkan untuk belajar nggak menyia-nyiakan hidup yang
diberikan. Melalui segalanya, menikmati apa yang saat ini ada, pun hadir
sepenuhnya pada waktu yang tengah berjalan. Bukan hidup dengan berbagai angan
atau “bagaimana nanti”.
Sebuah perjalanan membaca yang membawa saya banyak merenungi momen-momen yang sebenarnya dahulu sering saya tunggu, sesederhana setiap menikmati waktu matahari beranjak naik saat terbit. Ya, dulu sekali, sebuah pengalaman berharga menyaksikan matahari pagi terbit di Ponorogo begitu membekas diingatan, dan seperti penyataan Hayao Miyazaki, perasaan atas pengalaman yang sama nggak bisa diulang.
Rasanya, buku The Book of Ikigai bisa menjadi bahan bacaan
dengan gaya bahasa ringan dan berbagai kisah perjalanan orang-orang Jepang yang
terasa nggak perlu muluk, tapi ada dampak besar yang kedatangannya diundang
oleh kesinambungan. Sungguh memang, segala hal besar dimulai dari hal-hal
terkecil dalam keseharian ya.
Wah aku kok jadi pengen baca bukunya
BalasHapusKebetulan aku juga lagi tertarik mempelajari ikigai ini mbak
Sungguh semua itu dimulai dari hal hal yang kecil ya
Silakan Mba. Semoga tulisanku bermanfaat ya, Mba.
HapusAku tuh selalu suka buku yang ceritanya tema jepang berasa khayalannya membayangkan bunga sakura melihat rumah bambu sma pengen lihat geisha dengan dandanan tebal tapi cantik
BalasHapusHhihi memang budaya di sana punya ciri khas sekali. Tapi kalo mungkin ada kesempatan menetap di sana, ternyata nggak selalu begitu.
HapusSaya masih maju mundur beli buku Ikigai. Tapi, setelah baca review ini jadi semakin tertarik, deh. Ulasannya cukup lengkap. Makanya saya jadi yakin butuh bacaan ini
BalasHapusTerima kasih banyak Teh Myra.
HapusSuka banget dengan cara berpikir orang Jepang. Mereka tuh bisa menjadi hebat dan luar biasa karena mulai dari hal kecil dan sederhana, lalu diterapkan terus2an. Seperti Ikigai ini ya mbak
BalasHapusSelain kisah Chef Jiro Ono, aku jadi teringat dengan Marie Kondo.
BalasHapusJadi kesimpulannya memang orangtua menghargai apapun yang dilakukan anak selama itu bermanfaat dan merupakan life skills yaa..
Dan apapun yang menjadi habit ini bisa membuat kita berbinar, bertahan dan pada akhirnya menghasilkan.
Bagus banget filosofi Ikigai.
Kita gak perlu melakukan hal hebat. Karena dari hal-hal kecil, maka lama-lama bisa menjadi kebiasaan yang hebat.
Haturnuhun sudah berbagi, kak Acha.
Hatur nuhun juga Teh Lendy sudah mampir ke post Acha.
HapusMenarik juga filosofi ikigai. Jalani ritme hidup dengan tidak menggebu. Mulai hal-hal kecil yang bikin happy, konsisten, rajin yang akhirnya akan membuat kita hebat.
BalasHapusKisah dan perjalanan orang-orang Jepang selalu menginspirasi untuk kita agar lebih terpacu untuk mencapai kesuksesan, seperti buku ini yg makin kepo aku bacanya
BalasHapusdari kemarin pengen baca buku ini nih. padahal sudah beli versi ebooknya tapi belum sempat baca. cus ah habis ini aku baca bukunya
BalasHapusDari filosofi Ikigai ada hal-hal bermanfaat yang menjadi inspirasi buat kita.
BalasHapusTinggal diterapkan biar semangat lagi buat raih kesuksesan, dan jangan lupa berdoa juga itu teteup
Buku yang cakep ini kak Acha.
Yesss. Kalo kita mah diselipin kebiasaan berdoa juga ya biar nggak patah semangat, Kak Fenni. Agree.
HapusSaya punya hard copynya tapi ketinggalan di Tabanan. Padahal isinya bagus.
BalasHapusPernah liat bukunya n baca di toko buku, menarik konsepnya terutama kaitannya sama usia harapan hidup orang Jepang yang terkenal lama itu
BalasHapusNah iya Mas. Dalam buku ini pun dijabarkan, mengapa ikigai yang dimiliki seseorang bisa memberi pengaruh pada usia si orang tadi juga.
HapusKonsep Hidup Ikigai ini memang banyak diminati banyak orang. Bahkan bukunya juga banyak sesuai masing-masing penulis. Untuk Book of Ikigai karya Ken Mogi belum aku baca, next baca juga deh. Karena, Ikigai itu memang mengajarkan tentang bagaimana hidup sederhana namun memiliki dampak besar bagi diri sendiri maupun lingkungan.
BalasHapusmenarik banget nih buku Ikigai, kalau saya punya buku Ikigai versi yang lain mba. Sama-sama isinya tentang bagaimana kita hidup bahagia dan mensyukuri kehidupan ini
BalasHapusWah, jadi penasaran, menarik
BalasHapus