pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ka Acha sendiri merasa cukup senang akan hype dari kemunculan
berbagai bahan bacaan yang belakangan ini banyak sekali menyinggung isu
kesehatan mental. Bertebaran sih. Bisa disesuaikan pula dengan selera pembaca
yang memang beragam alias antar satu orang dan lainnya nggak selalu bisa disamaratakan.
Buku antologi Pulih yang pembuatannya digagas oleh komunitas
Ibu Ibu Doyan Nulis ini, sebenarnya sudah lama menarik perhatian Ka Acha. Ingin
sekali berkesempatan untuk menjelajahi setiap halamannya, namun baru kesampaian
selepas menamatkan novel yang juga sama-sama mengangkat tema kesehatan mental
berjudul White Coat Syndrome.
Jika di novel yang sebelum Ka Acha lahap tadi merupakan
kisah fiksi utuh, nah … kalau di buku antologi bertema kesehatan mental kali
ini tuh, kisah di dalamnya memang dituturkan oleh para penulis yang
mengalaminya sendiri, pun mengikuti kisah menuju penerimaan diri dari orang
terdekat yang tengah berjuang menghadapi masalah jiwa tadi.
Poin terpenting yang membuat keinginan baca saya meningkat adalah
proses penulisannya yang turut didampingi sama psikolog dari Ruang Pulih lho,
gengs. That’s why, saat momen pre
order gelombang kesekian, saya merasa, kenapa nggak ikutan pesan juga.
Judul : Pulih (Perjalanan Bangkit dari Masalah Kesehatan
Mental)
Penulis : Innaistantina, Steffi Budi Fauziah, Wiwin
Pratiwanggini, Maria Julie Simbolon, Kingkin B. Prasetijo, Hana Aina, Novi
Ardiani, Triana Dewi, Rahayu Prawitri, Henny Ra, Efi R. Suwandy, Yuli Arinta
Dewi, Unga Tongeng, Noer Ima Kaltsum, Fuatuttaqwiyah El-Adiba, Dwi Anggraheni,
Nitis Sahpeni, Imawati A. Wardhani, Nova Ulya, de Laras, Indah Lestari, Susi
Hasan, Qisthy Annisa, Yunita Suryani, Rhein
Penerbit : Wonderland Publisher
Cetakan : November 2020
ISBN : 978-623-7841-76-0
Benarkah Menulis Dapat Menyembuhkan Jiwa?
Nyatanya sering saya temukan tulisan yang justru membagikan
luka, menitipkan energi negatif ke tempat pembacanya. Pulih. Ini adalah
kontribusi kecil kami di ranah penulisan untuk turut peduli dan berbuat sesuatu
terkait dengan isu kesehatan mental.
(Widyanti Yuliandari, S.T, M.T – Blogger, Penulis Buku,
Wellness and Health Enthusiast, Ketua Umum Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis)
Mengapa Pulih Begitu Penting?
Saya berharap banyak wanita sadar untuk melakukan self-care
dan self-healing serta mengambil tanggungjawab pribadi untuk pulih. Satu wanita
saja dipulihkan maka dia akan mampu mengurus kesehatan mental keluarga.
(Intan Maria Halim, S.Psi, CH. – Konselor, Founder Ruang
Pulih)
Belajar Mengkaji Rasa
Tiga puluh hari tanpa henti belajar mengenali rasa.
Menggali, mengkaji, menghubungkan dengan yang lalu, mengelola lantas membentuk
diri dengan pribadi baru. Perempuan-perempuan luar biasa! Selamat atas
terbitnya buku ini, hadiah untuk mereka yang tak henti memaknai hidup bagi diri
dan sesama.
(dr. Maria Rini Indriarti, Sp.KJ, M.Kes -- Dokter Spesialis
Kesehatan Jiwa)
Art Therapy dan Jurnal Syukur membantu saya untuk merilis
beban-beban yang saya rasakan. Bersamaan de,ngan itu, ada keputusan besar yang
saya ambil. Sekarang saya lebih mencintai diri saya sendiri, menghadiahkan diri
sendiri, merayakan ulang tahun meski sederhana.
(Wiwin Pratiwanggini – Ibu Rumah
Tangga, Blogger)
Antologi ini bukan tempat
membuang sampah melainkan membangun pembaca. Sekarang saya bisa mengurai
pikiran yang selalu penuh dan belajar lebih tenang. Terima kasih.
(Kingkin B. Prasetijo – Guru
Biologi)
Awalnya, saya nggak mau
berekspektasi banyak pada buku antologi Pulih, sebab kisah di dalamnya saya
kira akan berwarna-warni, mengisahkan urusan perasaan yang nggak kelar dan
malah berujung beban nggak berkesudahan di diri seseorang. Saya hanya ingin
mengapresiasi insan yang begitu tangguh sebab punya keberanian untuk menerima
jika dirinya nggak baik-baik saja. Lalu, berani menyuarakannya.
Kisah bergulir dari sebuah cerita
perjalanan pulih berjudul A Better Me yang mengawal Ka Acha untuk mencerna,
kemana arah alur yang selanjutnya disajikan. Satu demi satu saya tamatkan.
Nggak dinyana, Ka Acha ikut merasakan sesak, dan betapa sering air mata
tertumpah sepanjang proses membaca. Semua rasa dari luka tadi terasa, namun
nggak membekas, melainkan terobati perlahan-lahan di tiap akhir bagian.
Ada kisah dari seorang ibu yang
sedari lama sesungguhnya telah menyadari bahwa ada sesuatu yang nggak beres
dalam dirinya. Ia tahu, ia terluka, acapkali naik pitam pada hal sepele yang
dilakukan putri kesayangannya. Ia juga sadar secara utuh, jika kemarahannya bukanlah
sesuatu yang wajar. Rupanya, segalanya berawal dari traumanya di masa kecil,
dengan ibundanya sendiri.
Duh … hati Ka Acha serasa diremas
kuat ketika sampai di bagian ini. Ya, benar, luka yang dirasakan seorang anak
di masa kecil, bisa terus terasa dan menunjukkan dampaknya di masa depannya
dalam bentuk entah seperti apa. Mengajak saya kembali teringat kisah dalam
novel Di Batas Pelangi yang menceritakan
kacau-balaunya sebuah keluarga karena sosok ibunya sendiri.
Beruntunglah, sesiapa saja yang kemudian menyadari atas lukanya tadi, kemudian mencari jalan keluar demi membenahi diri. Berjuang untuk memutus ikatan rantai sakit hati dan ketakutan, sehingga nggak lagi diwariskan pada anak-anaknya kelak. Bagaimana, selalu ada drama mama papa muda di masa awal berkeluarga, tapi … bukankah segalanya harus dihadapi dengan kewarasan?
Selanjutnya, kisah mengenai
kehilangan orang tersayang dan menimbulkan perasaan hampa yang nggak
berkesudahan, seketika bikin Ka Acha makin sesenggukan. Sebuah kepergian
memanglah kepastian di dunia ini, nggak ada seorang manusia pun yang selamat
dari kiamat kecil bernama kematian. Sayangnya, nggak semua orang yang
ditinggalkan, sanggup dan berbesar hati menerima takdir yang datang.
Dimulai dari menyalahkan diri, “ah, andai dulu aku begini … begitu … mungkin segalanya nggak akan terjadi,” sungguh nggak ada yang bisa mengulang sedetik saja waktu yang sudah berlalu. Tapi luka batin memang senangnya begitu, menggores dalam, dan membawa nyeri lebam berlama-lama seolah nggak paham perjalanan waktu.
Ada pesan dari konselor Ruang Pulih yang membuat hati Ka Acha menghangat. Perjuangan seseorang untuk terbebas dari luka batin, dan usaha kerasnya untuk keluar dari dirinya yang terus bermental sebagai korban, merupakan jalan terbaik walau sulit. Jika begitu ingin mengubah keadaan, seberat apapun itu, diri sendiri dululah yang memulai, bukan mengharap lalu diam di tempat.
Sembuh dari sakit semacam ini, nggak harus selalu dengan minum obat. Pun ketika menyadari kalau diri sedang sakit, nggak pula lekas self diagnose. Ada proses yang harus dijalani menuju kesadaran, di bagian mana luka itu berada, sebesar apa, juga bagaimana treatment yang bisa dilakukan untuk memulihkannya.
Jika dulu saya percaya sebuah kalimat sederhana, “waktu akan menyembuhkan segalanya,” setelah menamatkan buku Pulih, saya menepis kalimat itu jauh-jauh dari pikiran. Nggak akan datang sebuah kesembuhan, tanpa diusahakan. Walau bisa jadi, prosesnya akan terasa sangat panjang dan nggak menyenangkan.
Kenyataan bahwa luka jiwa seringnya digoreskan oleh keluarga
sendiri, keluarga inti, menjadi benang merah yang selanjutnya Ka Acha dapati.
Dari awal kisah hingga menuju akhir, setiap penulisnya banyak sekali menuturkan
proses pulihnya dari masalah inner child.
Pola asuh, kejadian yang terjadi di masa anak-anak. Pilihan hidup yang
terburu-buru. Hhh … berkali-kali napas saya tercekat sepanjang membolak-balik
buku setebal 292 halaman ini.
Demi memutus semua rasa merana tadi, butuh sosok orang
dewasa yang mau mengorbankan diri demi menjadi jiwa yang lebih baik lagi bagi
penerus generasi. Sungguh buku ini, walau mengajak saya sebagai pembaca,
menangis berkali-kali, berakhir dengan rasa hangat di hati.
Menamatkan sebuah buku antologi nggak selalu terasa nyaman bagi
sebagian orang, sebab ada banyak sekali gaya bertutur di dalam satu buku. Tulisan
yang singkat dan terus berganti kisah, jadi tantangan selanjutnya bagi penikmat
buku. Bacaan apapun itu, memang selalu bermuara dengan urusan selera sih ya.
Font dan ukuran font di dalam buku ini enak dipandang mata
dan nggak bikin lelah. Layout-nya cukup rapi sih, walau ada saja kata yang
rasanya penulisannya kurang tepat, semisal ‘merubah’ yang seharusnya menggunakan
kata ‘mengubah’, atau ‘nafas’ yang seharusnya ‘napas’. Mungkin ini sudah jadi
masalah berjamaah sih.
Last, mungkin saya akan kembali mencari buku bertema serupa,
fiksi tapinya. Biar lebih bisa menyelami saya sepanjang membaca.
Aku pun sbenernya kurang bisa menikmati antalogi mba, tapi masih mau baca apalagi kalo ditulis ceritanya menarik, bisa menjadi motivasi untuk pembaca , ya kenapa ga aku baca.
BalasHapusGa semua orang bisa beruntung lepas dari masalah penyakit mental yaaa. Apalagi kalo dia ga mendapat support dari keluarga terdekat dan lingkungan. Kebawa terus sampai punya anak 😔. Sedih sih baca curhatan teman2 yg mengalami ini. Dan itu bikin aku lebih menghargai keluargaku sendiri yg selama ini sangat support.
Benar Mba Fanny. Ternyata mengalami masalah penyakit mental itu nggak mudah, apalagi kalau nggak dapat support dari orang terdekat, bisa bikin segalanya jadi makin buruk.
HapusMakasih info yang menarik dari buku ini
BalasHapusSaya highlight apa yang dikatakan Mbak Intan Maria ini:
BalasHapus"Saya berharap banyak wanita sadar untuk melakukan self-care dan self-healing serta mengambil tanggungjawab pribadi untuk pulih."
Nah ... KESADARAN itu penting .... Mengakui sedang tidak baik2 saja dan perlu mendapat bantuan atau pertolongan penting.
Sedihnya ketika sudah merasa sadar tapi lingkungan tempat bertumbuh malah toksok dan mengajarkan untuk lekas melakukan penyangkalan dengan berbagai alasan bla bla bla yang bikin segalanya makin berantakan ya, Bun.
HapusBeberapa penulis blogger ya kak. Benerlah memang menulis bisa release ya kak. Btw saya sedang menjadi pendamping keluarga yang menghadapi masalah mental. Bibi saya pernah masuk RS karena skizo. Sekarang ini menunjukkan bipolar. Beberapa bulan lalu sudah saya bawa konsul ke psikiater. Masalahnya karena beliau lebih tua dari saya jadinya saya gak bisa maksa kalo dia gak mau. Kendalanya itu kak. Jadinya dia sekarang sedang fase down. Saya jadi gemes.
BalasHapusSemoga Mba selalu diberi keluasan hati dan keabaran yang banyak sepanjang membersamai beliau. Aamiin. Semoga bibinya lekas membaik dan tertangani dengan baik ya, Mba. Semangat selalu. Semoga Allah SWT mudahkan perjuangan Mba menemani beliau.
HapusIbu Ibu Doyan Nulis adalah komunitas penulis terbesar. Bukan cuma blogger kayak kita kita aja isinya ya mba, tapi juga mereka yang benar-benar penulis. Antologi PULIH ini pastilah isinya sangat menginspirasi, membuat hati tertarik hendak membacanya. Apa ada bedah buku onlinenya mba?
BalasHapusKurang tahu sih Mba soal launching online-nya Mba. Saya banyak tertarik sama buku ini lewat post socmed saja.
HapusAku belum baca buku pulih, dari review di atas bukunya bagus ya, Mba. Kalau aku sendiri baca antologi nonfiksi tidak ada masalah walau isinya kisah yang berbeda, sebaliknya disanalah nilai lebihnya karena bisa belajar dari kisah hidup orang lain.
BalasHapusKesehatan mental diperlukan oleh semua orang, dan bisa dilakukan dengan beragam cara guna memulihkannya, salah satu dengan menulis ya Kak Acha.
BalasHapusApalagi dapat berbagi kisah "pulih" sehingga dapat saling menguatkan bagi para pembacanya
saya udah punya buku ini juga Cha, tapi sayangnya belum baca tuntas nih, banyak ditsraksinya sih huhuh.
BalasHapuskisah-kisah yang bisa diangkat di buku ini benar-benar bikin mewek sih ya apalagi cara bangkitnya, duuuh syukurnya didampingi langsung oleh Spesialis ya yang emang tau ilmunya, jadi mereka pun bisa pulih.
Sepertinya harus coba ditamatkan deh Kak. Nyaman banget dibaca sambil santai sepotong sepotong.
HapusWaktu buku ini launching, langsung bikin penasaran dengan sinopsisnya. Wuih, buku yang keren emang. Dari, oleh dan untuk wanita hebat.
BalasHapus