pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Novel Weeping Under This Same Moon karya Jana Laiz menjadi bacaan pertama yang berhasil Ka Acha tamatkan di awal tahun 2023. Masa yang saya habiskan untuk melahap buku dengan dua sudut pandang pencerita ini cukup panjang, sebab setiap kali menjeda, butuh waktu mendalami, kisah siapa yang tengah saya baca, apakah Mei yang seorang manusia perahu, atau Hannah yang menjadi fasilitator muda.
Mengangkat latar waktu di tahun 1970-an, ketika Perang
Vietnam atau yang juga dikenal sebagai Perang Indochina II antara Vietnam
Selatan dan Vietnam Utara tengah berkecamuk. Momen yang membuat banyak sekali
orang Vietnam berkulit putih melarikan diri dari negaranya demi mencari suaka
menggunakan perahu kayu, hingga mereka kemudian menyandang sebutan sebagai
manusia perahu.
Sebuah latar kisah yang saling jalin-menjalin dalam
persahabatan antara tokoh Mei dan Hannah yang dipertemukan oleh sebuah rasa
kemanusiaan, dan menjadikan mereka lekat hingga waktu yang panjang. Kisah yang
Jana Laiz tuangkan, hingga mendapat Gold Medal dari Majalah Fore Word pada
ajang penghargaan Book of the Year 2008.
Judul : Weeping Under This Same Moon
Penulis : Jana Laiz
Penerjemah : Utti Setiawati
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2011
ISBN : 978-979-27-9353-6
Ditulis berdasarkan kisah nyata dua gadis remaja dari
kebudayaan berbeda yang bertemu sehingga mengubah arah hidup mereka secara
dramatis.
Mei adalah seorang seniman yang kehidupannya dikacaukan oleh
Perang Vietnam. Orangtuanya yang tertekan mengirimnya pergi untuk melarikan
diri dengan cara membahayakan dalam eksodus ribuan pengungsi Vietnam yang dikenal
dengan sebutan “Manusia Perahu”. Dalam kata-kata Mei, kita mengetahui bahaya
yang ia hadapi saat menjaga dua adik kandungnya dalam perjalanan laut yang penuh
rasa lapar, dahaga, dan perampasan, meninggalkan semua yang dia cintai, mencari
tempat aman bagi keluarganya.
Hannah adalah siswa SMA berusia 17 tahun yang pemarah dan
berkebangsaan Amerika. Tidak punya teman, menderita gangguan emosi, canggung
dalam kehidupan sosial – kecintaannya menulis dan kondisi lingkungannya hanya membuat
Hannah makin tersisih. Lewat suaranya, kita seolah masuk ke kepalanya, untuk
menemukan jiwa lembut di balik semua kemarahan dan kekacauan. Saat tahu tentang
kondisi buruk “Manusia Perahu”, Hannah tergerak untuk bertindak.
Takdir mempertemukan Mei dan Hannah dalam selebrasi kebudayaan
dan bahasa, makanan, dan persahabatan, dan yang terutama penyelamatan kedua
gadis muda ini dari keputusasaan diri mereka sendiri.
Weeping Under This Same Moon merupakan kesaksian atas
kekuatan cinta dan semangat bekerja sukarela, menegaskan bahwa bertindak demi
orang lain itu sangat berguna bagi diri seseorang.
Beberapa kali saya menemukan nama Indonesia dalam kisah perjalanan
hidup Mei Phuong yang berusia 17 tahun beserta kedua adik kandungnya, Tuan
Phuong (14 tahun) dan Linh Phuong (2 tahun) sebagai manusia perahu. Tiga orang
yang harus saling bahu-membahu dan menguatkan, menghadapi jerinya kehidupan
yang kacau sekali di Saigon, sebuah kota pelabuhan di tepi Sungai Mekong, yang kemudian
membawa ketiganya harus duduk di atas perahu kayu nan sempit demi melarikan
diri dari tanah airnya.
Kisah Mei Phuong yang disajikan sebagai pembuka, sungguh
apik, mengajak saya merasakan sesaknya hidup dalam balutan perang saudara. Ahhh
… memang ya, urusan kepentingan antar kelompok, dampaknya bisa kemana-mana.
Perang Vietnam sendiri, dari beberapa artikel yang saya
dapatkan, berlangsung sepanjang 1955 – 1975. Masa yang cukup panjang, dengan banyaknya
keterlibatan dari dua negara adidaya di masa itu, Amerika dan Uni Soviet.
Dari literatur tadi pula, saya mendapati cerita tentang
kekalahan yang dialami oleh Amerika sebagai pendukung Vietnam Selatan. Awal
keterlihatan pihak Amerika sebab mengkhawatirkan kemunculan efek domino, jika paham
komunisme dari Uni Soviet berjaya di Vietnam, lalu mempengaruhi seluruh negeri
di kawasan Asia Tenggara.
Sedikit banyak, bagian kisah ini mengingatkan Ka Acha pada novel
Kekasih Semusim yang memunculkan tokoh nyata Eyang Yono, pelajar Indonesia
di era 1960-an yang kehilangan kewarganegaraannya sebagai anak Indonesia akibat
berkembangnya komunisme di tanah air. Padahal, beliau ke tanah Eropa hanya
untuk menimba ilmu saja, niatnya, kala itu.
Kembali ke Weeping Under This Same Moon. Sedari 1955,
melalui perintah dari presiden AS kala itu, Dwight D. Eissenhower, banyak
sekali pasukan Amerika dan CIA yang turut ditempatkan di tanah Vietnam. Masa
perang selama 18 tahun yang lama-kelamaan memancing protes dari warga negeri
Paman Sam untuk menarik mundur pasukannya, sebab telah menimbulkan kerusakan fisik
dan psikologis terhadap tentara mereka sendiri.
Di lain pihak, ketika serangan dari pasukan Vietnam Utara
makin menjadi, hingga nama kota Saigon kemudian diubah menjadi kota Ho Chi Minh
– yang tentu kita kenal juga hingga saat ini – pada 1970-an itu lah, Mei
dipaksa oleh kedua orangtuanya untuk melarikan diri. Melepas semua kehidupan bahagianya
di Vietnam, dan hidup terombang-ambing di lautan lepas.
Saya membayangkan, betapa sedih dan tertekannya Mei ketika
harus menyimpan semua kenangan pada berbagai bentuk bangunan bergaya lama bercat
kuning mangga – seperti saya muncul begitu saja dalam imajinasi saya, sebab
teringat potongan kisah perjalanan di buku
Life Traveler – yang seolah jadi deretan warna khas bangunan di Vietnam. Ia
pergi tanpa bisa membawa apapun, selain pakaian seadanya.
Mei Phuong yang masih remaja, harus menjadi sosok ibu bagi
adik terkecilnya, Linh Phuong. Bersyukur adik lelakinya Tuan Phuong, sangat bisa
ia andalkan, walau ada beban lain di dadanya sepanjang dua tahun perjalanan
yang mengubah segalanya. Berat.
Bagaimana Mei harus menjaga adik kecilnya di atas perahu
dengan angin laut yang nggak menentu, bermodal selimut seadanya. Memaksa Linh
mau menelan nasi basi yang sudah mulai berbelatung demi punya tenaga untuk
bertahan hidup. Keadaan saling curiga antar sesama penumpang. Juga, melihat
sendiri sebuah aksi bunuh diri dari seorang nenek yang depresi di atas perahu
yang ia tumpangi.
Belum lagi, perasaannya ketika akhirnya perahunya bersandar
di sebuah daratan negeri di Asia Tenggara, namun ditolak sebab jumlah pengungsi
sudah terlalu banyak. Beruntung ia akhirnya bisa menjalani hidup di daratan
lagi setelah berbulan-bulan mengapung di atas perahu reot bersama pengungsi
lainnya.
Mei juga menyaksikan kematian dari beberapa orang manusia perahu yang perahunya pecah ketika hendak menepi, bersandar di tepian pantai demi mendapat pertolongan. Perasaan takut yang memeluk dalam waktu yang panjang. Khawatir jika yang berpulang adalah tiga saudara kandungnya yang berangkat juga dengan perahu kayu, setelah dirinya.
Diam-diam saya menangis. Membayangkan betapa malang dan
beratnya menjadi seorang Mei Phuong. Ia yang dulu senang melukis, harus menahan
diri, sebab koin emas yang ayahnya titipkan sangat terbatas, sementara entah
akan berapa lama waktu yang ia punya sebelum bisa diterima menjadi warga
imigran di tanah Amerika.
Harapan yang timbul tenggelam. Hari-hari yang terasa sangat
panjang dan menyesakkan. Ketakutan yang seolah nggak berujung. Keseharian yang
nggak bisa dikatakan nyaman. Semua terangkum dengan sendu yang selalu
dihadirkan dalam tuturan cerita Mei.
Di lain kehidupan, ada Hannah yang pemarah dan nggak punya teman. Semua orang seolah nggak mampu memahami Hannah. Terkucil di sekolah, bahkan nggak diperhitungkan oleh gurunya sendiri, menjadikan Hannah seorang yang penyendiri. Ia lebih memilih nggak punya teman, dan sedikit benci untuk berangkat ke sekolah.
Rupanya, kehidupan remaja Amerika di era 1970-an memang sedikit
seram sih, menurut saya. Peredaran ganja yang legal, menjadikan remaja saling
berlomba untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan menjadi sosok “anak nakal”
atas nama kebebasan berekspresi. Begitu kalau yang bisa Ka Acha tangkap dari
perjalanan hidup Hannah.
Namun, Hannah yang dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang cukup
taat ini, dikisahkan berbeda. Mungkin karena perbedaan cara pandang menjalani hidup,
menjadikan ia betah saja dianggap “ada dan tiada” di sekolahnya, termasuk oleh
guru-guru di kelasnya.
Hidup Hannah pun sedikit banyak memunculkan kehidupan ala american dream, dengan rumah yang punya taman, anak remaja usia 17 tahun yang dihadiahi mobil saat ulang tahunnya, pekerjaan paruh waktu nggak jauh dari rumah, ya … mapan lah ya orangtuanya walau tinggal di kawasan suburban. Tokoh yang dimunculkan dengan gaya khas Amerika.
Sementara di sisi lain, Hannah dikisahkan pernah menjadi “tawanan
perang” di Vietnam pada usianya yang masih 4 tahun sebab mengikuti perjalanan
ayahnya – beserta ibunya – sebagai pasukan pembela Vietnam Selatan, sehingga
ketika tahu tentang Manusia Perahu, ia lekas tergerak. Jadi memang, hubungan
Hannah dengan Mei yang berasal dari Vietnam, nggak serta-merta berawal dari
rasa iba.
Sayangnya, setelah Mei dan Hannah bertemu, kisahnya jadi
terasa mengambang sih. Manisnya nggak tetlalu, cerianya juga nggak terlalu.
Mungkin bagi Jana Laiz, akan menjadi cerita yang terlalu panjang kalau semua
kisah hidup dan persahabatan antara Mei dan Hannah dikisahkan.
Novel ini menurut Ka Acha, boleh lah ya menjadi bacaan bagi
kamu yang sedikit butuh cerita fiksi yang diangkat dari kisah nyata. Sesekali
memang ada penggunaan dialog di bagian Hannah yang agak terasa kurang pas. Tapi,
biasa sih, kalau buku terjemahan kan nggak selalu sama dengan sensasi membaca
novel dalam bahasa aslinya.
Bahkan saya jadi tahu, mengapa orang-orang Tionghoa yang
bermukim di suatu negara, selalu membuat kawasan pecinan. Ya … di sanalah
tempat bagi mereka menemukan inti jiwa, kawasan dimana kebudayaan asal leluhur
mereka, nggak lekang, tetap melekat. Walau kemudian, mereka berbaur, dan
terbiasa dengan bahasa dan budaya setempat, hingga beranak-pinak.
Pengen baca bukunya Mbaaa 👍❤️. Aku ngebayangin mereka naik perahu kecil dengan jumlah orang yang lumayan banyak 😢. Ga kebayang sempit dan pengapnya terlebih ada anak2 juga. Jadi inget perahu yang membawa imigran Muslim myanmar yang sempet ke Aceh Bbrp waktu lalu.
BalasHapusHidup sebagai imigran di negara asing pun bukannya enak. Mereka sering dipandang sebelah mata Krn dianggab orang asing mencurigakan . Setiap ada kejadian seperti ada yang terbunuh atau rampok dll, yg disalahkan dulu juga mereka. Sedih sih terusir dari negara sendiri.
Kondisi perahunya juga bukan yg bagus dan besar. Pantes aja banyak yang tidak survive saat terjadi badai di laut :(
Nah iya kak aku juga jadi keinget sama Rohingya dan Suriah yang terombang ambing di atas laut dengan kapal yang sekecil ituu :(( jadi penasaran juga ini sama bukunyaa.
HapusIni serem yah..
HapusMembayangkan aja gak sanggup karena beratnya masa-masa tersebut tergambarkan dengan jelas di buku ini.
Kisah Weeping Under this same moon yang diambil dari kisah nyata memang banyak relate dengan kisah-kisah saat ini di negeri-negeri yang mengalami peperangan. Rohingya dan Suriah adalah bukti nyata bahwa perang banyak menyisakan duka
HapusKeren sih masih 17 tahun udah punya empati tinggi. Pasti ini buku bagus banget buat dibaca
BalasHapusNovel yang menarik ya apalagi ini based on true story'. Saya selalu suka dengan kisah yang memiliki nilai historisnya seperti layar belakang perang. Saya gak mampu membayangkan hidup dalam kondisi perang hingga hampir 25 tahun seperti perang Vietnam ini apalagi jika harus menyelamatkan diri dengan menjadi manusia perahu. Dan yaaa, little China atau Pecinan bukan semata mata kawasan yang khusus dihuni warga China tapi merupakan simbol rindunya akan kampung halaman ya.
BalasHapusMembaca ulasan novel ini, saya jadi pengin membaca cerita lengkapnya, Mbak. Bagaimana perjuangan mereka selama menjadi manusia perahu. Kalau misalnya, sudah difilmkan, pasti film yang bagus dan wajib ditonton.
BalasHapusNah, saya juga baru tahu soal kawasan pecinan. Di setiap negara, pasti ada. Bahkan di Indonesia, kawasan pecinan itu ada di berbagai kota.
betul betul seram ya kak, menjadikan remaja saling berlomba untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan menjadi sosok “anak nakal”.. kaget aku
BalasHapusSeru banget baca ulasannya kak Acha. Aku jadi makin yakin kalau menang atau kalah, manusia selalu jadi korban perang terutama mereka yang terusir, terpaksa meninggalkan tanah kelahiran dan berjuang dalam keterbatasan. Generasi muda macem Mei dan Hannah ini contohnya. Aah, aku jadi keinget film perang EMPIRE OF THE SUN (1987) sama GRAVE OF THE FIREFLIES (1988), dua film sukaanku dengan pov perjuangan anak/remaja di masa perang
BalasHapus(Arai)
Aku nonton nih yang Grave of the Fureflies dan berkali-kali ditonton pun sudah dipastikan aku nangis bercucuran airmata. Bagaimana beratnya dua kakak beradik hidup berdua di tengah perang, kelaparan pula adiknya, dan cuma punya sekaleng kecil permen. Ya Allah, dampak perang paling mengerikan itu ke masyarakat sipilnya deh.
HapusMelihat review Novel Weeping Under this Same ini benar-benar menggugah saya untuk membaca. Apalagi konflik dibangun dengan sangat apik di dalamnya. Belum lagi dengan kisah nyata yang diangkat. Benar-benar kaya informasi. Bukan sekedar novel untuk dinikmati
BalasHapuscerita yang menyentuh, emang suka mengoyak-ngoyak emosi pembacanya ya kak, bisa nangis, emosi, marah, aku pun :(
BalasHapusapalagi ini tuh ada sentilan emosional sendiri, karena ada cerita-cerita tentang Indonesia nya juga
Jadi menge-sedih dengan Linh yang harus makan nasi basi, agar tetap hidup 😭.
BalasHapusKisah tentang masa peperangan lalu diangkat menjadi novel jadi ringan ya kak Acha buat dicerna, apalagi penulisnya juga keren meramu kisahnya
Akuu sukaak sukak ceritanya, jadi kebawa suasana ketika membaca diatas. Terima kasih atas hiburannya tadi (gusti yeni)
BalasHapusWah, aku baca ini berasa bgt alur filmnya
BalasHapusIni novel sejarah ya mbak? Berdasarkan kisah nyata ya
Berdasarkan kisah nyata sih iya, Mba DK. Tapi kalau masuk ke ranah sejarah, mungkin hanya sedikit saja sih, soalnya lebih kental ke pergolakan diri sama persahabatan beda budaya.
HapusKasus kemanusiaan sampai terusir dari tanah air sendiri masih berlangsung dari dulu sampai saat ini. Saudara-saudara kita di Rohingya dan Suriah adalah kejadian-kejadian nyata kekinian yang mungkin serupa penggambarannya dengan karakter Mei di Weeping under this same moon yang bahkan harus mengalami pengusiran setelah menemukan daratan di negeri orang
BalasHapusAduh resensinya menarik banget. Aku jadi pengen berburu bukunya juga biar bisa baca sendiri
BalasHapusJadi sedikit teringat dengan drama Pachinko Lee Min Ho.
BalasHapusKehidupan yang dijalani memang bisa jadi menjadi trauma yang berefek panjang dan bisa menjadi karakter seseorang secara tidak disadari. Butuh bantuan ahli untuk melepaskan trauma tersebut.
Aku belum juga nih Teh dapat kesempatan nonton Pachinko. Padahal banyak yang bilang bagus banget.
HapusPantesan bukunya dapet Gold Medal dari Majalah Fore Word pada ajang penghargaan Book of the Year 2008 ya kak Acha. Isi ceritanya keren. Salut sama Hannah yang peduli sama manusia perahu karena sempat jadi tawanan perang Vietnam.
BalasHapusSudah lama rasanya gak baca novel, padahal novel menjadi salah satu hiburan yang asyik diakhir pekan. Setelah membaca resensi novel ini jadi tertarik sama ceritanya yang menyentuh dan menguras emosi.
BalasHapusCeritanya menarik ya, Kak...meski memang pasti beda ya baca cerita terjemahan itu, ada feel yang enggak pas gitu, jadi kepo apalagi saat disebut alasan kawasan pecinan, iya juga ya...tujuannya itu
BalasHapusWah novel ini ceritanya nggak hanya menarik, tetapi juga punya kisah yang inspiratif ya mbak
BalasHapusBiasanya suka ada rasa nyesek membaca novel seperti ini. Apalagi berangkat dari kisah nyata. Jadi suka lebih menbayangkan kalau di luar sana memang ada yang harus mengalami beratnya perjalanan hidup
BalasHapusudah lama gak baca buku mba, baca review weeping under this same moon ini jadi tertarik baca lagi deh
BalasHapuswah menarik banget pastinya membaca buku yang diangkat dari kisah nyata terutama dengan latar peristiwa penting begini. cuma mungkin untuk tipe aku membaca buku begini harus sabar karena biasanya alurnya lambat ya
BalasHapusAku udha lama baca novel atau mengenai buku cerita gini, pas tadi baca ini menceritakan kisah nyata aq biasanya sambil menghayati gitu
BalasHapusCerita novel yang diangkat dari kisah nyata selalu menarik dan seru ya mbak
BalasHapusBikin penasaran juga
Aku pernah baca buku ini tahun 2018 atau 2017an lupa, ingatnya samar-samar tentang persahabatan antara dua orang dari latar belajang yang berbeda. Baca ke sini untuk mengingat kembali alurnya hihi. Tapi dulu pas aku baca, jadi salah satu buku yang aku sukai.
BalasHapusKayaknya ini buku ceritanya syedih ya...
BalasHapusAmerika kalah juga sama vietnam ya.
Padahal di film amerika, si Rambo menang sendirian melawan pemberontak vietnam (entah vietnam utara atau selatan).
Sepertinya menarik sekali bukunya. Manusia perahu yang berkaitan dengan Perang Indochina dalam sejarah. Saya lihat ada beberapa tokoh wanita di sini, seperti Mei yang seniman dan Hannah siswa SMA. Latarnya Sungai Mekong. Bacanya kayaknya harus tenang ya Mbak Acha, sebab ceritanya cukup kompleks.
BalasHapuskeren nih ka cha, bs konsisten baca buku beda saya yang konsisten main hape aja. btw suami saya jg doyan banget lo kl suruh baca apalagi berkaitan dengan dunia psikologi dan hmmmm pasti bis berjam2
BalasHapusSudah lama gak baca buku yang dibawakan dari dua sudut pandang. Cocok juga nih novel Weeping Under This Same Moon sebagai bacaan awal tahun. Apalagi ada kisah tentang perang juga, jadi bisa dapat informasi baru.
BalasHapusAku tuh kalau baca novel ada bagian yang harus aku baca ulang, apalagi cerita kisah nyata kayak gini, soalmya kalau bacanya asal jd gak berasa masuk dalam cerita. Thank you rekomendasinya kak
BalasHapus