Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Jalan Jalan Sore Ke Masjid Agung At Tin Taman Mini

Masjid At Tin Taman Mini Indonesia Indah jelang sore kala itu membawa langkah saya menuju ke halaman luasnya. Langit masih nampak cerah ceria, namun suhu udara Jakarta Timur sudah mulai terasa lebih bersahabat.

Saya menarik napas dalam. Itulah kali pertama saya berkunjung ke sana seorang diri – walaupun memang saya ke sana karena ada janji dengan Aunty --, setelah beberapa kali bertandang karena ada urusan pekerjaan di sekitar kawasan Taman Mini.

Saya yang biasanya naik taksi bersama rekan kerja, kali ini memilih untuk menggunakan transportasi umum saja. Lagipula, saya nggak tengah diburu waktu seperti biasanya.

Perjalanan sore itu terasa panjang. Ada banyak sekali masa yang bisa saya lalui dengan menikmati perubahan pemandangan tepi jalan yang disajikan dari kawasan Jakarta Selatan hingga Jakarta Timur, tempat Masjid Agung At Tin berdiri. Kalau kamu suka memperhatikan, kamu akan menyadari perbedaan vibes-nya juga.

Rute Ke Masjid At Tin TMII dari Jakarta Selatan

Berangkat dari kawasan Cipete di Jakarta Selatan, di hari Sabtu itu, saya memilih menaiki angkot S11 dan menyambung TransJakarta di halte Jati Padang. Sebenarnya, bisa saja saya mempersingkat waktu dengan naik dari halte Pejaten yang letaknya nggak begitu jauh dari Mall Pejaten Village. Toh, lebih memudahkan.

Namun tersebab saya nggak ingin berlelah-lelah sebelum berkeliling nantinya, saya memilih turun di halte Jati Padang. Selepas turun dari S11, saya kan nggak perlu berjalan kaki cukup jauh, seperti jika saya memilih naik busway dari halte Pejaten. Cukup menyeberang jalan sebentar, saya sudah sampai ke loket pembelian tiketnya.

Sabtu siang yang jaraknya nggak begitu jauh dari lunch time di hari itu, jalanan kebetulan tengah lengang. Maka saya duduk menunggu busway yang datang sendirian sembari sesekali memotret sekitaran.

Nggak lama, bus yang saya tunggu akhirnya tiba juga. Saya naik hingga ke halte Kuningan Timur lalu berjalan ke halte Kuningan Barat untuk transit. Bus TransJakarta jurusan Pinang Ranti yang saya tuju. Nantinya, saya akan turun di halte Garuda Taman Mini.

Lagi dan lagi, jiwa malas jalan kaki di bawah teriknya matahari sore Jakarta membawa saya menumpang angkot yang memang menunggu nggak jauh dari tempat saya turun tadi. Duduk di dalamnya pun hanya sebentar saja, sebab Masjid At Tin memang nggak jauh dari sana.

Cerita Menginap Semalam Di Masjid At Tin Tapi Bukan untuk Itikaf

Saya memandangi papan nama masjid yang hurufnya dicetak timbul dengan warna ungu. Sejurus kemudian, saya terhenyak ketika tersadar kalau tulisan timbul dari Masjid Agung At-Tin Yayasan Ibu Tien Soeharto itu punya warna yang senada dengan kubah masjidnya di kejauhan, dari potret yang berhasil Ka Acha abadikan.

Senyum Ka Acha terkembang. Betapa masjid satu ini pernah jadi tempat saya menginap di suatu malam pada bulan Ramadan. Salah satu masjid -- setelah Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat -- yang akhirnya saya kunjungi selama merantau di ibukota.

Sayangnya kala itu, saya bertandang bukan sebenar-benarnya untuk itikaf seperti yang saya harapkan. Pekerjaanlah yang membawa saya merebahkan diri berbantalkan tas penuh bawaan di atas karpetnya, dalam remang malam. Di antara begitu banyak orang yang datang untuk melewatkan malam Ramadan.

Jika diingat lagi, saya nggak menyesal punya pengalaman tidur di masjid karena tuntutan pekerjaan. Buktinya, kini Masjid At Tin punya tempatnya sendiri di hati Ka Acha.

Alkisah, sore sebelumnya, saya harus bertugas untuk meliput kegiatan kantor di salah satu mall besar. Sebuah konferensi pers tahunan digelar sebagai wujud syukur sebab kantor tempat saya berkarya, masih bisa menyelenggarakan event mudik bersama untuk kali kesekiannya. Menemani rekan blogger dan mengawal media sosial kantor sudah jadi tugas Ka Acha.

Ingatan saya berkelana menuju malam itu. Lelah di tubuh nggak sanggup dibendung, ditambah pengalaman di tahun sebelumnya yang saya hitung pastinya akan membuat tubuh saya serasa remuk kalau dipaksa pulang dulu ke kostan saya di Jakarta Selatan.

Kembali larut malam lalu berangkat lagi sebelum pagi menjelang. Duh … nggak terbayang kalau diulang. Belum lagi, ada tim yang jadi tanggungjawab saya, bukan? Bagaimana dengan rekan satu tim saya yang rumahnya berjauhan juga dari kawasan Taman Mini? Habislah rasanya badan kami kalau kami paksa untuk tetap pulang-pergi.

Saya yang ditemani beberapa rekan setim sebenarnya sudah meminta ijin akses kepada tim lainnya agar bisa turut menginap di hotel dekat lokasi acara. Menumpang, ceritanya. Tim saya jelas nggak punya dana menyewa kamar karena memang nggak ada post dananya. Beda dengan tim sebelah yang selalu punya, sebab harus menyediakan tempat menginap bagi para SPG yang akan turut bertugas juga.

Ironisnya, saya dan tim nggak diberi ijin untuk memakai kamar yang kosong. Berlabuhlah saya dan ketiga teman lainnya di mushola kecil sekitar lokasi acara untuk bermalam, namun rupanya nggak aman. Kami ditegur orang. Apalagi, kami berempat ini kan perempuan. Akhirnya, dengan tekad kuat ingin bisa melepas lelah di tempat yang sekiranya lebih menenangkan perasaan, kami melangkah ke Masjid At Tin yang sedikit lebih jauh.

Jadilah, malam itu, saya dan tiga teman lainnya, tidur di sana. Hhh … tapi nggak apa-apa, kalau nggak begitu, mana pernah ada kesempatan saya mengenang kalau di suatu malam Ramadan, saya pernah rebah di bawah kubahnya, melepas lelah dengan menyebut nama-Nya.

Saya dan tim juga bisa menikmati segarnya air di kamar mandinya untuk membasuh badan sebelum berangkat ke lapangan. Mandi di masjid, sesuatu yang nggak pernah terbayang akan saya cicipi rasanya di usia saya yang dua puluhan. Membasuh tubuh dengan perasaan campur aduk karena merasa nggak sanggup menjadi “kakak tim yang baik” buat teman kerja saya. Semoga saat itu, mereka menjalaninya dengan ringan hatinya ya.

Sayang, tugas yang menunggu membawa saya beranjak dari sana sebelum adzan Subuh berkumandang. Saya harus melepas keinginan menikmati khusyuknya bersujud bersama jamaah itikaf lainnya. Saya – kami tepatnya – sudah dicari, diminta berkumpul untuk sarapan yang terlalu pagi.

Dari pengalaman itu saya belajar, rekan kerja di kantor bukanlah sejatinya seorang “teman”. Keakraban kami di keseharian, nggak lekas membuatnya merasa iba dan mau membuka kedua tangan untuk saling berjuang bersama. Entah ada dinding apa, tapi ya sudah, cukup semua jadi pengalaman yang membentuk Ka Acha di masa selanjutnya saja.

Harapan saya kelak, jika akhirnya kembali bisa punya kesempatan mengasuh sebuah tim – we never know about the future kan ya – saya nggak ingin kejadian yang sama terulang. Berjuang bersama itu perlu dibuat nyaman, biar bekerjanya pun terasa menyenangkan juga bisa dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Selain itu, urusan pekerjaan memang nggak ada habisnya. Nggak pernah ada sudahnya, kecuali pekerjaan itu terlepas atau memang sengaja dilepas. Dunia sungguh penuh tuntutan, dan manusia diberi akal serta jiwa untuk memilih jalan mana yang ia ingin pijak lalu berjuang sekuat tenaga bertahan di sana.

Itulah memori yang mencipta Masjid Agung At Tin TMII punya sisi sentimentilnya sendiri untuk Ka Acha. Momen yang berputar bak film di kepala saya saat memandangi menaranya dari pelataran.

Masjid Agung At Tin dan Namanya yang Penuh Makna

Dibangun untuk mengenang Ibu Tien Soeharto – istri dari salah satu Presiden RI, Bapak Soeharto -- yang berpulang pada 1996 silam, masjid agung di kawasan Jakarta Timur ini mulai dihadirkan sejak 1997 dan kemudian diresmikan pada tahun 1999. Begitulah data yang dilansir dari situs resminya.

Kenapa akhirnya nama At Tin disematkan pada nama masjid agung indah ini? Rupanya, selain diambil dari nama salah satu surah dalam Al-Quran, At Tin, juga merupakan perwujudkan cinta dari anak keturunan dalam lingkup keluarga Cendana kepada mendiang Ibu Tien.

Di sisi lain, pemberian nama Masjid At Tin juga bertujuan untuk melukiskan peran utama yang diharapkan bisa diberikan masjid agung satu ini bagi masyarakat, yaitu memelihara dan mengaktualkan fitrah kesucian yang melekat pada jiwa manusia guna melahirkan kegiatan-kegiatan positif. Wajarlah selanjutnya jika banyak fasilitas disediakan pihak masjid, juga aktivitas yang sering digelar.

Sepanjang di sana, setelah bertemu dengan Aunty, Ka Acha juga sempat berkelakar kalau akan memasukkan masjid At Tin ini sebagai pilihan lokasi untuk menikah nantinya. Toh, saya – di waktu itu – memang sedang melirik beberapa vendor pernikahan di Jakarta Timur.

Aunty Ka Acha itu tertawa renyah. Tangannya menggamit saya, mengajak masuk ke dalam masjidnya, melirik aula yang sore itu memang tengah disewa untuk akad dan resepsi pernikahan. Beberapa rangkaian bunga dan hiasan membuat Aunty saya minta difotokan.

Setelah berkeliling sebentar di bagian dalamnya, kali ini saya mengajak Aunty untuk duduk menikmati langit jelang senja di taman luarnya. Beberapa orang yang lalu lalang seolah menjadi iklan yang menjeda obrolan penuh canda kami berdua. Bertukar kabar keseharian Nene di sana, kabar Om yang merantau jauh, juga rencana aunty saya ke depannya, menjadi pusat cerita kami.

Obrolan ringan yang didominasi tawa. Apalagi, Ka Acha dan Aunty memang bisa dibilang seangkatan, walau nggak benar-benar seumuran. Ka Acha yang sedari kecil lengket sekali dengan Om bungsu saya itu, bisa jadi tempat mengorek banyak cerita manis tentang betapa “tampannya” kelakuan om saya itu sedari Ka Acha kecil, oleh Aunty.

Hingga … mentari mulai menyemu keemasan di ufuk barat. Canda kami terjeda oleh panggilan dari kakak iparnya Aunty – Tante Ka Acha, adiknya Mama. Si Tante yang muncul kemudian, lekas merayu agar saya mau ikut menginap juga di rumahnya di bilangan Jakarta Selatan, menemani Aunty. Nah lho, saya nggak bisa pulang ke kostan.

Tante saya itu berkelakar kalau saya dan Aunty yang hampir seumuran ini akan lebih akrab dan bikin malam minggu Tante saya bisa semarak. Sudah lama juga Ka Acha memang nggak menginap, padahal di awal bekerja, saya tinggal cukup lama di rumah beliau sebagai perantau baru. Tante saya ini selalu beralasan, dirinya serasa sepi sendiri karena anak-anaknya yang sudah pada tumbuh besar, jadi senang sekali kalau saya temani.

Ya sudah, hari itu akhirnya sesi jalan-jalan sore Ka Acha menjelajahi Masjid At Tin TMII berakhir dengan perjalanan pulang yang lebih nyaman. Mengekori Tante, Om, dan juga Aunty, lalu bersikap selayaknya ponakan yang “menggemaskan”.

 

 

Komentar

  1. udah lama ga ke mesjid At Tiin, kangenn. Dulu kesini pas antar anak mau sanlat di Bogor, ngumpul disini..

    BalasHapus
  2. masjid ini terkenal pada zamannya yaa.. saya dulu juga pernah ke sana pas masih kecil sama ayah dan ibu saya. sekarang sudah ngga pernah lagi malah hehe

    BalasHapus
  3. Terakhir ke taman mini ini pas tahun baru, nikmatin tahun baru disana, sayangnya ga mampir ke Masjid At-tin ini penasaran pengen lihat dalamnya kayaknya bagus banget ya pengen nyobain sholat di sana

    BalasHapus
  4. Suka sekali dengan suasananya saat sunset. Terasa begitu tenang, nyaman. Atmosfernya benar-benar nyaman. Pastinya ibadah di At Tin ini akan bertambah nikmat dan khusyuknya

    BalasHapus
  5. Masya Allah, senengnya bisa beribadah di Masjid At Tin. Salah satu jejak peninggalan masjid dari Ibu Negara kala itu. Semoga selalu menjadi tempat yang ramai untuk beribadah memuji Allah SWT.

    BalasHapus
  6. Banyak cerita yang bisa disampaikan dan penuh kenangan di masjid At Tin ya kak Acha. Semoga bisa berkesempatan lagi ke sana, dan menginapnya untuk itikaf, aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya rabbal alamin. Salah satu impian yang belum belum juga kesampean belakangan ini, mampir lagi ke masjid masjid cantik.

      Hapus
  7. Saya masih ingat, pada jamannya masjid ini sangat diagungkan sebagaimana menghormati istri RI 1 saat itu. Gak lama merasa jadi biasa aja ...
    Terakhir ke sana sekitar 12 tahun lalu. Waktu ada acara kepenulisan di TMII

    BalasHapus
  8. 14 tahun di jakarta baru 2 x ke Masjis At Tiin, baguss yaa masjid dalam rangka mengenang istri alm pak harto yg sangat di cintai (gusti yeni)

    BalasHapus
  9. Pernah ke TMII pas kecil, tapi lupa mampir ke masjid ini ngga ya..

    BalasHapus
  10. wah aku kalau ke jakarta pengen juga nih mampir ke mesjid at tin ini. dulu pernah sih ke TMII tapi waktu itu belum ada masjid in

    BalasHapus
  11. MasyaAllah bagus banget masjidnya. Sunset juga bisa terlihat dari Masjid At-Tin ini

    BalasHapus
  12. Masyaallah...indahnya Masjid At Tin. Semoga nanti pas mudik bisa/sempat mampir di masjid ini, aamin...

    BalasHapus
  13. Aku baru tau, kak Cha kalau TMII ini milik Presiden ke 2 Indonesia.
    Sehingga Masjid Agung At Tin TMII dibangun dengan indahnya untuk menjadi pengayom masyarakat yang memuliakan Masjid sebagai tempat ibadah shalat.

    Selalu percaya bahwa di Masjid kita mendapatkan semua ketenangan hati dan segala kemudahan.
    Semoga Allah berkahi selalu bagi para pecinta masjid dan hatinya yang tertaut dengan masjid.

    Seru banget ngikutin perjalanan kak Cha.
    Rasanya pengalaman bermalam di masjid ini juga pernah aku rasakan. HIhii.. tapi gak di masjid sebesar At-Tiin. Rasanya nano-nano banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku jadi penasaran deh, Teh Lendy pernah merasakan sesi nginap di masjid apa?

      Kalau nggak ngiderin artikel berita, aku beneran nggak eungeuh juga sih. Dengar sedikit sedikit saja ceritanya dari orangtua saja tapi kan serasa kurang aja kalau nggak beneran nyari dan sendiri.

      Hapus
  14. wah senja viewnya warm banget yaaaa. saya belum pernah ke masjid at tin, emang jarang juga ke jakarta, hahahaha. semoga bisa kesana suatu hari nanti.

    BalasHapus
  15. Wah aku belum pernah mba ke Mesjid At-Tin pengalaman jadinya ya mba meski bukan itikaf ehhee semoga bisa ajak anak2 ke sana nih sekalian mampir ke TMII

    BalasHapus
  16. Salah satu wishlistku kalau ke Jakarta nanti bisa mampir kesini, bismillaah.. hehehe. masjid yang menurutku legend bangett

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga impiannya Kak Jihan buat mampir ke Masjid At Tin TMII tercapai di waktu yang sesuai. Aamiin.

      Hapus
  17. MasyaAllah mbak.. aku kepengen kesitu dari kecil.. belum kesampean sampe sekarang. Alhamdulillah bisa baca ceritanya disini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga lekas ada kesempatannya untuk mengunjungi At Tin sesuai impian sedari kecil ya, kak. Aamiin.

      Hapus
  18. Aku cuma sekali ke mesjid ini, inget banget pas nikahan temen suami. Setelah itu ga oernah lagi. Jadi jujur, aku ga bakal inget tulisannya Ama warna kubah sama mba 🤣.

    So sorry pas baca yg ttg temen sekantor beda dept yg ga mau ngizinin numpang di kamarnya. Tapi bener sih mba, temen kantor itu susah utk diajak jadi temen Deket. Mungkin Krn diam2 akan selalu ada aura persaingan kali yaaa. Setelah resign, aku bisa dibilang ga Deket lagi Ama twmen2 kantor, selain utk say hi.

    Masih lebih Deket Ama twmen2 bloggers 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teman kantorku yang jadi bestie sampe sekarang akhirnya cuma 2 orang. Satunya karena sama-sama belajar lebih dalam soal agama dan doi segitu sabar dan baik menghadapi anak kepo dan ribet kalau dikasih tahu kayak aku karena harus dikasih banyak data dan informasi pendukung (termasuk saran buku bacaan). Nah, 1 orang lagi karena sama sama ambis banget dan emang sefrekuensi walau beda jurusan yang dikejar. Udah. Sisanya cuma sekadar say hi karena berterima kasih kalau mereka dulu nggak jahara-jahara amat ngegodok aku di kantor. Hihihi .... Di depanku ya, di belakang, aku nggak mikirin sih.

      Hapus
  19. Udah lama banget ga main ke TMII, termasuk ke masjid At-Tiin yang legend banget dengan nama Ibu Tien Soeharto nya
    Seru banget baca perjalanan Kak Acha sampe punya pengalaman nginep di Masjid At-tiin. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan nginep plus itikap di sana ya

    BalasHapus
  20. Aku ke TMII waktu natar adik wisuda dan belum mampir ke masjid At-Tiin, soalnya luas banget TMII. Next, kalau main ke TMII bisa shalat di sana.

    BalasHapus

Posting Komentar