pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Adakah planet lain yang bisa bangsa manusia huni selain di Bumi? Mungkin pertanyaan besar inilah yang memicu penelitian manusia atas planet lain yang kemungkinan bisa manusia tinggali? Seolah kabur dari suatu tempat yang sudah habis rusak lebih mudah dibanding melakukan perbaikan di sana sini?
Sungguh manusia itu egois sekali. Persis potongan lirik lagu
pembuka dari serial animasi Doraemon.
Aku ingin begini aku
ingin begitu
Ingin ini ingin itu
banyak sekali
Semua semua semua dapat
dikabulkan
Dapat dikabulkan
dengan ‘kantong ajaib’
Uang bisa membantu memenuhi kebutuhan. Tapi mengelolanya, butuh sebuah jurus mengatur pola konsumsi pribadi demi Bumi tetap lestari.
Bumi ini sesungguhnya nggak kehilangan anak-anak manusia
yang peduli lingkungan. Banyak sudah aksi yang berpuluh tahun lalu dilakukan
untuk memprotes berbagai kebijakan dari para pemangku kepentingan. Ada pula
yang menghadirkan solusi untuk menanggulangi segala kekacauan yang terlanjur
terjadi.
Sayangnya manusia adalah bangsa yang beragam. Sulit mencapai
kesepakatan bersama apalagi membina kekompakan nan harmoni. Sementara Bumi
adalah satu-satunya rumah yang dititipkan oleh Sang Maha untuk kita tinggali
bersama.
Mengulik dari apa yang disampaikan dalam sebuah artikel
berjudul “Kantong Plastik, Awalnya Dibuat untuk Selamatkan Bumi”, menurut kantor
berita BBC, kantong plastik pertama kali diproduksi pada 1959. Sten Gustaf Thulin, seorang ilmuwan asal Swedia yang
tercatat sebagai penemu benda satu ini. Hasil penelitian beliau pun dipatenkan pada
1965.
Kantong plastik hadir di tengah-tengah masyarakat dunia
sebagai bentuk solusi atas konsumsi dan produksi besar-besaran pada kantong
kertas yang banyak dimanfaatkan dalam keseharian. Tujuannya jelas mulia, bukan?
Demi mencegah penebangan hutan secara masif, supaya keberlangsungan kehidupan manusia
tetap terjaga.
Kampanye awal dari kehadiran kantong plastik dimaksudkan
agar benda satu ini dimiliki dan digunakan berulang kali. Selain agar limbah
kertas menyusut jumlahnya, hutan dan lingkungan pada umumnya tetap terjaga.
Ironisnya, manusia merindukan banyak kemudahan. Segala sesuatu
yang instan dianggap kenyamanan. Hasrat yang mudah dipenuhi menjadi dasar
kehidupan yang kemudian diberi nama modernisasi.
Kini … kantong plastik dan berbagai produk berbahan plastik lainnya begitu mudah ditemui. Dimana-mana, kehadirannya
dianggap biasa. Produksi secara massal dianggap lumrah saja.
sampah plastik terpilah di rumah Ka Acha bulan Mei lalu |
Andai saja Sten Gustaf Thulin masih ada di dunia, apa ya
yang akan beliau pikirkan jika mengetahui hasil temuannya dimanfaatkan seperti
saat ini? Menyesalkah ia?
Kecenderungan manusia untuk menemukan kemudahan dan
kenyamanan menghasilkan dampak yang nggak selalu bijak pada keberlangsungan
lingkungan. Memenuhi kebutuhan ini dan itu, tapi terlupa bagaimana cara mengelola
hasil buangannya, sampahnya.
Mundur ke masa sebelum kantong plastik berjaya dan menyebar
ke seluruh dunia. Manusia sudah lama sekali memproduksi sampah hasil
konsumsinya. Semua bentuk buangan tadi ditampung pada suatu penampungan
bersama-sama yang kemudian diberi nama Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) atau landfill.
Sebuah TPA pertama tercatat berada di Fresno Municipal
Sanitary Landfill di California, Amerika Serikat, pada tahun 1937. Sebagian
besar TPA terbesar di Negeri Paman Sam menghuni wilayah West Coast. Dikatakan
pula, bahkan Staten Island dulunya merupakan salah satu wilayah pembuangan
sampah terbesar di dunia.
Bagaimana dengan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang ada di
tanah air kita? Melalui artikel yang berjudul “Melihat Kondisi Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah di Luar Negeri” ada 400 TPA yang berada di
Indonesia. Sayang, hanya 10% saja yang beroperasi optimal.
Terbayang kan, betapa lamanya sejarah manusia berjuang
mengelola sampah buangan rumah tangga dan industri? Seberapa panjang pula
bangsa planet Bumi ini bertaruh di banyak lini demi menemukan sebuah solusi?
Payahnya, kehadiran TPA memang benar-benar bukan akhir dari
perjalanan manusia untuk bertanggungjawab pada alam setelah memenuhi berbagai kebutuhan
hariannya. Berjuang mengelola apa yang dihasilkan dari pola konsumsi pribadi.
Berupaya mengembalikan segala sumber daya yang telah diambilnya pada Bumi dengan
sebaik-baiknya cara yang diketahui.
Hari ini, Selasa 6 Juni 2023, ketika saya asik mengetikkan
artikel blog post saya yang akhirnya kini kamu baca, di depan teras rumah saya
tengah terparkir sebuah truk sampah. Setiap minggu pada hari yang sama dan jam
yang nggak terlalu berbeda, mobil besar dengan bak belakang dicat jingga dengan
gunungan sampah berbagai rupa, selalu berdiam sejenak di sana.
Aroma busuknya serta-merta masuk ke dalam rumah saya melalui
celah-celah ventilasi. Kipas angin akan lekas saya nyalakan di ruang tengah.
Sementara, saya mengunci diri di dalam kamar, berharap hidung saya nggak sukses
mengendus aromanya.
Saya maklum. Toh momen begini pun nggak terjadi setiap hari.
Para pekerja dari TPA hanya mengambil waktu beberapa jenak untuk ngaso di bangku cor samping TK, depan
rumah saya. Seringnya mereka hanya melepas lelah dengan menyantap sarapan
seadanya.
Walau hanya sebentar saja, sungguh saya sudah tersiksa. Bagaimanalah
nasib saudara kita yang bermukim di dekat landfill
sana?
Mengintip artikel yang membahas mengenai “Kisah Pinggiran
dari TPPAS Burangkeng: Mandi Air Lindi, Menghirup Bau Hingga Sesak di Paru-Paru”
bahwa hidup berteman air lindi alias si air hitam paripurna hasil pembilasan
beraneka ragam sampah sungguh serupa neraka. Wujudnya legam, berminyak,
berbusa, dan berbau.
bayangkan jika sampah anorganik ini dicampur sampah organik lalu diantar begitu saja ke TPA, akan seperti apa jadinya? |
Apakah mengancam kesehatan? Tentu saja. Pantas jika pada
akhirnya banyak warga lokal yang berjuang agar wilayah tinggalnya nggak
dijadikan salah satu lokasi tempat pembuangan akhir sampah.
Belum lagi dengan bencana ledakan sampah akibat timbunan gas
metana yang mengintai kehidupan di sana. Sementara, kumpulan gas metana tadi
memberikan efek gas rumah kaca jauh lebih luas lagi. Perubahan iklim pun
mengancam keberlangsungan Bumi yang dititipkan pada bangsa manusia, ya … kita.
Dari salah satu artikel yang membahas mengenai regulasi
sampah di Indonesia, disebutkan bahwa sistem regulasi sampah di negara kita masih
menganut sistem konvensional. Dari sumber pertama, sampah campuran dikumpulkan
di Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST).
Barulah kemudian dipilah berdasarkan jenis, kemudian dibawa ke TPA.
Secara teori, memang sudah cukup baik. Payahnya, regulasi di
lapangan banyak. Berita buruknya, akibat nggak dibarengi dengan pemilahan
sampah di tahap pertama, berhasil mencipta kekacauan sistem yang sudah kita
punya.
Bayangkan saja, tumpukan sampah di TPA Cipayung – yang menjadi
TPA untuk buangan sampah di domisili tempat Ka Acha tinggal – pada April 2023
saja, menurut sebuah artikel berjudul “Sampah Terus Menggunung di TPA Cipayung,
Revitalisasi Tahun Ini”, tingginya sudah mencapai 30 meter. Padahal TPA seluas 11,2
hektare tersebut hanya bisa menampung 1,3 juta meter kubik. Tapi kini terisi 2,5
juta meter kubik.
Lalu, bagaimana nih solusinya? Apa yang harus saya – dan juga
kamu -- lakukan setelah tahu banyak soal kacaunya pengolahan sampah di negeri
tercinta?
Kampanye pilah sampah dari rumah sudah banyak digaungkan,
sebenarnya. Memilah sebelum membuang disebut ampuh cegah penumpukan sampah. Pun
bisa mengubah bentuknya menjadi rupa produk yang baru setelah diolah.
ikut barisan pilah sampah juga menaikkan konsumsi akan air bersih lho ... karena sampah butuh dicuci dan dikeringkan dulu sebelum disetorkan ke tempat daur ulangnya |
Banyak pula pihak yang bahu-membahu mengambil tanggungjawab.
Mulai dari gerakan bank sampah yang menyentuh lini terkecil di masyarakat, sosialisasi
nggak berkesudahan oleh para aktivis lingkungan, hingga perusahaan besar yang
mengambil alih proses pengolahan – khususnya sampah plastik – sebagai bentuk CSR.
Seluruh manusia di Bumi pun tengah bergerak untuk kembali
menggandeng alam, menjadikannya teman. Menggalak ekonomi sirkular, green living, dan banyak sekali kampanye
‘beraroma hijau’ lainnya.
Sayangnya, satu hal terlupa dan sisi itu ada dalam diri sejati
manusia. Keinginan yang berlanjut jadi kebutuhan. Konsumerisme yang mengakar
dari rasa ingin hidup aman dan nyaman.
Masalah sampah dan pengaruhnya pada lingkungan hidup sudah
terlanjur njelimet. Berputar-putar bak
gasing. Memikirkannya bisa membuat kepala jadi pusing.
Dampak emisi karbon yang mengintai perubahan iklim sudah sedemikian
darurat. Lalu bangsa manusia – yang punya kesadaran -- bergerak untuk saling
menutupi celah-celah atas kesalahan masa lalu yang pernah dibuat.
Benar, bersama bergerak berdaya adalah kuncinya. Saling
menggandeng tangan demi sebuah bentuk ungkapan sesal atas segala upaya ‘salah
jalan’ yang terjadi pada masa hidup generasi sebelumnya.
Walau bisa saja, apa yang kita suarakan bersama hari ini,
semisal mengganti kantong plastik sekali pakai dengan tas spunbond digaungkan sebagai solusi, kelak akan bernasib sama dengan
kemunculan kantong plastik karya Sten Gustaf Thulin beberapa dekade lalu,
setidaknya kita sudah mencoba, bukan? Menghadirkan kampanye peduli Bumi.
Sedihnya, jumlah kantong spunbond kini meningkat pesat. Sulit bagi saya pribadi menemukan tempat pengolahan sampah mandiri yang mau menerimanya. Payahnya, saya nggak sepenuhnya tangguh mengerem jumlahnya yang datang satu demi satu ke dalam rumah saya. Terkadang, saat membeli sesuatu, pemberian tas ini sudah masuk SOP dari outlet yang saya sambangi, katanya. Menolak, malah dipaksa menerima.
Melihatnya menumpuk di rumah dan sulit menemukan tempat yang
mau mengolahnya saja, bagi saya sudah menjadi drama penuh dilema. Terbayang jika
ada rumah-rumah lain yang bernasib sama dengan tumpukan barang di rumah saya.
Pada akhirnya, saya tercerahkan pada sebuah buku berjudul Danshari karya Hideko Yamashita. Konsep kepemilikan atas barang di dalam rumah, menguatkan saya untuk banyak berbenah. Bukankah hidup sederhana dan secukupnya juga berdampak besar pada kelestarian lingkungan?
Persis pesan yang saya dapati sepanjang menonton film
dokumenter berjudul Diam dan Dengarkan karya sutradara Mahatma Putra. Bahwa suku-suku
yang kita anggap tertinggal karena hidup di hutan belantara, sesungguhnya
banyak menerapkan Danshari, yaitu mengambil secukupnya sebagai bentuk investasi
untuk keesokan harinya.
Ya … semua dimanfaatkan sesuai kebutuhan saja, dan nggak
menumpuknya. Sementara kita yang mengaku sebagai masyarakat nan teredukasi lagi
modern, apa sanggup melakukan hal yang serupa?
Padahal, barang-barang yang menumpuk tanpa guna di dalam
rumah, bukan hanya mengambil tempat-tempat kosong yang tersedia, tapi berubah
menjadi sampah yang kelak dibuang begitu saja. Awalnya hanya satu atau dua, eh …
lama-kelamaan bisa jadi nggak terhingga.
Sadar saat membeli, paham cara membuang barang, dan menahan
diri dari banyak keinginan, sungguh nggak mudah. Tapi, saya dan kamu, bisa kok.
Apalagi kalau tahu dampak baiknya bagi kesehatan Bumi yang kita tinggali
bersama ini.
pakaian nggak layak pakai yang menumpuk di rumah akhirnya Ka Acha kirimkan pada tempat daur ulang limbah tekstil di Jakarta untuk diubah jadi produk peredam suara |
Ada lagi konsep Ikigai yang saya temukan dari buku karya Ken
Mogi Ph.D. Konsep bahwa merasa cukup malah membuat sesiapa saja yang menerapkannya
menemukan rasa bahagia sehingga bisa hidup lebih lama.
Ikigai mengajarkan pembacanya untuk mencari tujuan hidupnya lalu menggerakkannya menjadi sebuah kebiasaan sederhana yang dilakukan setiap hari secara berkesinambungan. Hal sederhana yang bisa membuat bahagia tanpa perlu mengintip pencapaian muluk orang lain.
Dari sana, saya tahu bahwa segala hal sepele yang saya perjuangkan dalam senyap di rumah saya, kelak akan memberi dampak baik sehingga Bumi tetap lestari. Saya sadar, saya masih banyak kekurangan, tapi nggak apa-apa kan? Memulai dan konsisten lebih baik daripada berkoar tanpa tindakan nyata dari rumah.
Doa saya, semoga banyak pula yang tergerak untuk melakukan hal yang sama. Lebih hebat lagi jika kamu malah sudah melakukan jauh lebih banyak daripada saya di hari ini.
Maka, jika saya punya daya untuk menentukan kebijakan yang
bertujuan mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim, ingin rasanya mengajarkan
pola hidup sederhana melalui nilai-nilai baik dari konsep Danshari dan Ikigai yang
dibuat melokal sesuai budaya Indonesia melalui institusi pendidikan dasar
hingga menengah di tanah air kita. Mengarahkan generasi selanjutnya untuk
bersuara lebih lantang dan berbuat lebih banyak, dibanding generasi saya
sekarang, atau generasi sebelum saya.
Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh
dong tulis di kolom komentar ya!
Daftar Pustaka :
Edukasi peduli lingkungan susah, ya. Kalau di sini orang-orangnya juga cenderung cuek, peliharaan mereka aja sering buang air di gang umum atau rumah tetangga.
BalasHapusSusah bangetttt. Jadi inget juga kucing tetangga yang sering pup di rumahku deh mbak. Huhu kesel banget.
HapusTerdemiiii Kak Putu, Kak Palupi, kotoran hewan peliharaan tetangga tuh bikin keki. Aku saking sebelnya karena lelah bersihin pup mereka yang kadang sesuka jiwa banget dibuang di teras depan rumah (huhuhu ... emang teras rumahku toilet apa?) kutaburi pakai potongan kulit jeruk. Kan kucing nggak suka aroma citrus tuh ya. Berhasil sih sejauh ini. Sesuka-sukanya aku belai-belai kucing peliharaan teman, aku nggak sanggup ngurusin kotorannya kalo dibuang sembarangan.
HapusSampai saat ini belum ditemukan tempat lain yang layak huni selain bumi. Memang sudah seharusnya kita jaga kelestariannya, ya
BalasHapusApa jadinya yang 20 tahun lagi kalau Bumi sudah makin penuh dan sesak dengan sampah.
Hapusterimakasih remindernya kak, setuju kita harus melakukan hal-hal walau kecil seperit mengatur pola konsumsi pribadi agar menyelamatkan bumi kita. saya jg suka sharing sm anak saya kalau mau beli sesuatu, kira2 ini diperlukan ngga.. sayangnya nih masih banyak PR di rumah ada aja anggota keluarga yg masih seneng belanja yg menurut kita belum perlu
BalasHapusTerkadang menyampaikan apa yang sudah kita pelajari dan kemudian kita terapkan pelan-pelan dalam keseharian tuh, tantangan besarnya lebih sering datang dari keluarga terdekat. Pilah sampah rumah tangga pun sebenarnya, sering bikin lelah sih karena aku melakukannya baru seorang diri. Anggota keluarga di rumah nggak jarang mengaku lupa dan dibuang gitu aja. Cuma pelan-pelan lah ya, Mba. Biasanya yang cepat mengena sama kebiasaan begini tuh malah anak-anak. Makanya, kalau pengetahuan soal pilah sampah, peduli lingkungan, dan segala rupanya disasarkan ke anak-anak (walau orangtuanya pun harus ikut menerapkan juga) lebih nendang aja. Apalagi mereka penerus generasi yang selanjutnya akan memegang tampuk amanah untuk turut menjaga Bumi.
Hapuskalo udah bahas sampah dan bumi, Aku cuma bisa memulai dari diriku sendiri... ngurangi pemakaian plastik, memilah sampah plastik, cuma itu yang baru bisa kulakukan sejak beberapa tahun lalu.
BalasHapusSepakat Mba. Paling mudah dan satu-satunya yang bisa kita kendalikan tuh, diri sendiri.
Hapussemua sebenarnya berawal dari kebiasaan pribadi ya mbak. semua mau serba diplastikin yang akhirnya malah jadi limbah sampah yang susah terurai. semoga kita bisa mulai berubah dengan mengurangi penggunaan plastik demi selamatkan bumi (riafasha)
BalasHapusAamiin, hayuuk bareng² diwujudkan meminimalisir penggunaan plastik, biar bumi ini lekas pulih, karena kan dampaknya balik lagi ke kita juga
HapusDoa dan harapan saya sama dengan Kak Acha, semoga makin banyak orang-orang yang bergerak nyata untuk menjaga bumi kita bersama-sama dengan apapun yang kita bisa, karena sekecil apapun kontribusi kita, jika dilakukan bersama-sama, pasti akan membawa dampak yang baik
BalasHapusbener bangettt, aku pun terasa dijajah sampah hiks, rasanya setiap makan apapun kok ada sampahnya, aku misahin sampah pun orang-orang kayak pada aneh. Sekarang aku coba misahin sampah dan mengurangi sampah kalau beli sayur atau daging, bawa ziplock sendiri dr rumah
BalasHapusMba Tetty keren. Biasanya memang yang berbeda dari kebiasaan khalayak ramai di sekitarnya ya akan dianggap aneh dulu sih, Mba. Sama kayak makan makanan yang satu selalu sampai piring bersih, satunya selalu menyisakan makanannya. Nah, kalau kebiasaan umumnya nyisain makanan, walhasil yang makannya bersih bakalan dikatain.
HapusDari yang tadinya untuk hal kebaikan, demi membantu ternyata makin ke sini eh makin ke sana ya kak, sehingga menimbulkan kesalahpahaman niat awalnya. Yuk lebih peduli lagi dengan lingkungan, minimalisir sampah plastik
BalasHapusKesadaran akan buang sampah itu memang harus dari diri sendiri. Karena terkadang kita terpengaruh juga dengan orang lain. Kalau bisa tetap teguh hati dan atur pola konsumsi pribadi
BalasHapusKetemu sama teman yang sefrekuensi pada akhirnya jadi kunci sih, Mas.
HapusSampai saat ini, planet bumi yang layak dan bisa ditinggali oleh manusia. jadi sudah jadi kewajiban kita semua untuk terus menjaga bumi. Karena kalau bumi rusak, kita mau pindah ke mana? ke planet mars? Pindah dari Gombong ke Depok saja besar biaya hahaha.
BalasHapusTapi memang harus ada langkah bersama bergerak berdaya ya, Mbak. terus bersama-sama menjaga bumi. Dan itu bisa dilakukan dari hal-hal sederhana dari rumah dan diri sendiri. Misalnya membawa botol minum sendiri.
Bumi milik kita bersama
BalasHapusSudah selayaknya kita jaga bersama ya mbak
Klo aku jaga bumi dgn prinsip cegah, pilah, dan olah
Baru tau kalau kantong plastik tuh justru lahir untuk upaya selamatkan bumi ya pada awalnya. Karena kebermanfaatan penggunaannya yang bukan sekali pakai. Namun, memang ironi saat kini tuh kita jadi kayak dijajah sampah. Sudah waktunya berbenah dan bergerak untuk menyamakan tujuan, yes untuk melindungi bumi.
BalasHapusSekarang tragedi yang hampir serupa malah terjadi sama tas spounbond nih. Tiap pesan apa-apa atau ngasih tentengan habis belanja apa gitu, ya bungkusnya tas pakai ulang begini. Lama-kelamaan numpuk juga di rumah dan kemudian berubah jadi sampah. Sedihnya nggak banyak tempat daur ulang yang mau terima tas spounbond lho. Aku kemarin sukses nemu satu di Bogor. Eh nggak lama dia tutup alias nggak beroperasi lagi. Bersyukur sih udah pada disumbangin buat didaur ulang, tapi deg-degan kalau bakalan kembali menumpuk ya ada. Makanya aku melirik Danshari nih, terutama poin menahan diri biar nggak memasukkan barang yang nggak akan diperlukan ke dalam rumah alias nggak beli atau nggak ambil. Walaupun susaaahhh kadang-kadang.
Hapusaku baru tau klo pilah sampah sampai dicuci-cuci juga loh mba. Belajar Hidup minimalis dan melepas kemelekatan emang salah satu cara buat ikut kontribusi jaga bumi yaa
BalasHapusHuum Mba Wulan. Sampah yang disetorkan memang sebaiknya sudah dalam keadaan bersih. Kebayang kalau aku lagi bikin mi instan ya, si saset kecil-kecilnya harus digunting dulu, dibilas air dulu, dijemur dulu, baru disatukan sama sampah saset sejenis. Habis itu baru ditimbang dan dikirim ke tempat daur ulangnya. Pilah sampah itu beneran proses yang panjang dan butuh tekad kuat biar tetap sabar ngelakuinnya setiap hari. Semoga jadi kebiasaan baik yang dilakukan persis Ikigai.
Hapussebenarnya jaga bumi bisa dari rumah yaa mba, langkah kecil tapi berdampak nyata..
BalasHapusWaahh aku juga mauuu alih fungsikan limbah pakaian buat bikin peredam ruangan.. di Malang sini ada ngga yaa yang nerima limbah pakaian kayak kak Acha lakukan di atas itu
BalasHapusAcha kemarin udah kulik sana-sini, Kak Jihan. Nah, tempat pengolahan pakaian nggak layak pakai tuh kebanyakan akan didaur ulang jadi produk pakaian baru yang tambal sulam gitu atau kerajinan kan (dan sejujurnya aku bukan penikmat barang yang dikolaborasiin sama warna campur-campur karena hasil daur ulang), jadi pas nemu tempat daur ulang yang bisa diubah jadi peredam suara ini ya aku gembira. Sayang banget jangkauannya baru di Jakarta sama Bandung aja sih, Kak. Mungkin karena kapasitas yang mereka mampu terima juga produknya yang belum dimanfaatkan secara massal makanya baru terbatas di dua kota besar Pulau Jawa ini aja. Semoga berkembanglah ya usaha daur ulang textile waste begini. Aamiin.
HapusKonsep berbenah ala Danshari ini yang justru sedang saya terapkan saat ini. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin juga ya...
BalasHapusKalau #BersamaBergerakBerdaya versiku lebih ke mengubah pola hidup jadi lebih ramah lingkungan
BalasHapusMulai sekarang harus lebih rajin lagi nih nikah sampah sebelum dibuang. Soalnya kadang masih suka nyampur sampah anorganik dan organik.
BalasHapusPengen juga nih kak, mengirimkan pakaian nggak layak pakai yang sudah menumpuk di rumah ke tempat daur ulang limbah, sayangnya di tempatku blm ada, mau dikasihkan ke orang kayaknya gak layak, disimpan bikin sumpek, dijadikan kain lap kok terlalu banyak
BalasHapusMungkin ada Kak tempat daur ulang pakaian di sekitar tempat Kakak tinggal. Biasanya aku cari lewat search artikel dulu baru mampir ke medsosnya dan mulai tanya-tanya sih. Hampir di semua kota besar sepertinya ada sih, Kak.
HapusBanyak baju yang kudonasikan karena pakai yang sehari hari saja sudah cukup
BalasHapusLagipula dalam agama hisab-nya tambah banyak kalau makin banyak barang
Iyaaa. Persis Danshari lho Kak Amma. Agama kita malah sudah sedari lama mengajarkan agar sebaiknya sebagai umat muslim ya kita menjalani hidup sederhana nan minimalis sih ya. Biar gampang bebenahnya juga. Waktu baca buku Danshari, banyak hal yang akhirnya kusetujui konsepnya.
HapusKalopun ada, saya kok takut ya bund, hidup di planet lain. Jadi sebenernya kitanya yang harus sadar diri menjaga kelestarian alam, demi anak cucu kita nanti
BalasHapusPendidikan berbasis lingkungan seharusnya dimulai dari sedini mungkin, ya Kak
BalasHapusBetul Mba. Anak anak akan lebih mudah belajar dan menjadikannya kebiasaan sih dibanding yang sudah besar seperti kita. Kalau sudah besar ya kalau nggak nyari tahu dan bergerak biasanya nggak kuat.
HapusAlhamdulillah di rumah ada beberapa rumah sampah (bank sampah), sehingga sampah plastik baik berupa botol, gelas, dan kantong plastik bisa dikumpulkan dan dijadikan tabungan di bank sampah.
BalasHapusKeren mbakkkk .. aku jadi semakin merasa bersalah nih . Sampah dirumah belum di pilah dan tampaknya aku harus memulai dari sekarang ya...
BalasHapusiya nie betul banget kalau bukan kita yg menjaga lingkungan ya siapa lagi yaa a ... padahal ini semua untuk kebaikan kita bersama
BalasHapusKalau di kota-kota memang alur pembuangan sampah sudah cukup baik, tetapi di kampung aku tidak. Karena gak ada tempat pembuangan khusus, malah sampah dibuang ditempat yang tidak layak. Segala jenis sampah ada di sana, padahal sampah itu penyumbang terbesar perubahan iklim. Jadi, kita memang harus bisa mengatur pola konsumsi pribadi.
BalasHapusSekarang semakin banyak ya bentuk kegiatan yang mengarah pada kepedulian lingkungan, karena sekarang gak pake lama kalau kegiatan manusia serampangan dan merusak kelestarian alam langsung kena dampaknya misal, cuaca panas karena pemanasan global, atau banjir kala musim hujan karena banyak aliran sungai tertutup sampah alurnya
BalasHapusBanyak barang yang tak kayak pakai mau dibuang tapi bingung kemana .kalau kirim ke jakarta lumayan jauh jugaaaa... kalo banyak barangnya ongkirnya juga lumayan.. apa dapat bagaran nggak ya..wkwkwk..duh emak2 banget
BalasHapusSetuju banget
BalasHapusKita harus mengatur pols konsumsi kita agar tidak menghasilkan banyak sampah
Kalau aku, barang barang yang bisa didaur ulang, aku setor ke bank sampah
Iya ya, aku ga kepikiran untuk kirim beberapa barang ke tempat daur ulang. Sejauh ini ya buang2 aja hehe. Kayaknya habis ini aku mau cari2 info deh tentang tempat daur ulang di dekat rumah.
BalasHapusngomongin masalah sampah saya jadi ingat salah satu buku karya Dewi Lestari yg berjudul Aroma Karsa, buku yg berhasil memperkaya pengetahuan saya soal tempat pembuangan sampah. mba Dee kok brilian ya hehe. btw tuk ikigai saya udah sering dengar. tapi tuk konsep danshari saya baru tahu setelah baca artikel ini. menarik nih.
BalasHapusPakaian bekas termasuk limbah yang tidak bisa didaur ulang ya mbak. Maka dari itu sangat mulia kalau kita bisa menyumbangkan pakaian bekas layak pakai untuk mengurangi limbah ya mbak
BalasHapusNgerasa banget, kalau beberes mingguan kok banyak banget barang numpuk yang akhirnya dibuang begitu saja. Tapi kadang bingung juga daur ulangnya, kecuali ada yang menampung semisal sampah sisa alat elektronik, ada pengepulnya.
BalasHapusMemang benar sih ya kalau yang namanya konsomsi pribadi ini bisa Kita atur dengan lebih baik setidaknya udah melakukan langkah kecil buat menjaga bumi. Mengurangi penggunaan kantong plastik dan wadah makanan dari plastik contohnya
BalasHapusSungguh merinding ketika melihat gunungan sampah di TPS dekat rumah, benar-benar tidak menyangka bakal sebanyak itu. Semoga semakin bnyk masyarakat yg sadar akan pentingnya menjaga lingkungan
BalasHapusSemua dimulai dari rumah sendiri oleh Kita sendiri. Kita mesti konsisten mengolah sampah deng lebih baik dan mengurangi penggunaan plastik dengan signifikan.
BalasHapusGitu ya, awalnya solusi, eh sekarang jadi masalah. Kadang sebagai manusia kita gak boleh berhenti berbenah memang. Selalu bijak dan mikir ke depan yang panjang. Enggak hanya mikir sekarang aja.
BalasHapusMenarik, Ka Cha. Jadi memang tujuan awalnya meminimalisir penebangan hutan ya. Tapi makin ke sini penggunaannya makin masif dan justru jadi bawa dampak buruk bagi Bumi. Aku pribadi masih terus belajar dan berupaya menekan konsumsi sampah plastik sih. Semoga konsisten dengan langkah-langkah kecil
BalasHapuskalau sudah begini rasanya kita perlu meredefinisi lagi ya, apa maksud dari menjadi manusia modern itu ya? karena fakta yang ada justru modernisasi malah medekonstruksi ciptaan Tuhan yang begitu melimpahnya
BalasHapusharus dengan sadar untuk mau mengatur kembali pola konsumsi pribadi kita ya, demi keberlangsungan hidup kita di Bumi juga ini.
BalasHapusSalut banget deh Kak Acha udah dengan detail gitu pilah-pilah sampahnya.
saya masih suka nyerah, udah pilah sampah kering dan basah tapi saat Kang sampahnya lewat tetap aja itu sampah digabung jadi satu, mbuhlaahh di TPAnya seperti apa, belum sedetail itu di sini :(
Sebenernya salut sih, karena saat ini teknologi kelola limbah sampah dari TPS ini sudah mulai diperbarui terus menerus sehingga selain bisa dimanfaatkan kembali. Semoga ke depannya, selain gerakan bijak memanfaatkan barang-barang yang kita pakai, juga bijak dalam kelola sampah yang kita hasilkan.
BalasHapus