Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Nonton Nyongkolan Di Desa Sade

Masih berada di wilayah Pujut, Lombok Tengah, mobil yang Pak Prof kendarai melaju pelan meninggalkan Pantai Kuta Mandalika di belakangan. Ka Acha yang duduk di kursi penumpang, bersisian dengan Mama dan Paca Ummi, sengaja menurunkan jendela. Enggan rasanya lekas beranjak dari sana.

Perlahan-lahan warna kebiruan dari laut menghilang oleh satu demi satu bangunan rumah tinggal yang nampak sederhana. Pepohonan hijau dan rerumputan yang tumbuh di tepi jalan mengisyaratkan kalau perjalanan selanjutnya akan dimulai kembali.

Sempat saya biarkan wajah saya diterpa angin dari jendela mobil yang terbuka, sebelum diprotes Pak Prof – papanya Ka Acha – seolah-olah sedang terjebak dalam drama dimana tokoh utamanya harus berpisah dari tempat yang disukainya. Anggap saja saya sedang bermain dalam serial melodrama.

Perhentian yang selanjutnya Pak Prof tuju adalah sebuah dewa wisata suku Sasak, Desa Sade. Berlokasi di Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Kalau kamu baru mendarat di Bandara Internasional Lombok, selepas mampir ke Masjid Al Faradis yang masih dalam kawasan airport-nya, kamu bisa langsung ke mari dengan menyewa kendaraan. Dekat kok.

gendang beleq sasak di Desa Sade Mandalika Lombok Tengah

Pesona Desa Sade Lombok Tengah

Mobil akhirnya terparkir di tepi jalan nggak jauh dari gapura dengan bagian pucuknya yang menyerupai bale lumbung khas Sasak. Tulisan besar yang menunjukkan kalau saya sudah tiba di desa adat Sasak yang tersohor namanya ini, seolah memanggil untuk segera menjelajah ke dalam.

Ramai sekali pengunjung yang datang. Tadinya, dalam benak, Ka Acha pikir bisa berkeliling sepuas-puasnya. Sayang sekali, keadaan pengunjung di dalam yang memenuhi lorong-lorong desa sudah membuat saya menghela napas. Nampaknya hanya akan sedikit cerita yang bisa saya ambil sebagai oleh-oleh.

Mas dan Pak Prof membawa saya semakin ke dalam. Sementara Mama mengekor, asyik memperhatikan beberapa dedare (sebutan untuk gadis Sasak) yang sudah nampak cantik dengan pakaian adat mereka yang didominasi warna hitam. Wajah mereka pun penuh riasan. Eh … sepertinya sedang ada perayaan nih.

dedare Sasak dari Desa Sade Lombok

Kampung suku Sasak yang budayanya terjaga kental ini masih erat sekali gotong-royongnya. Jumlah bangunannya sekira 150 bale (sebutan rumah dalam bahasa Sasak) dengan pemanfaatannya masing-masing. Mulai dari lumbung tempat menyimpan hasil bumi, bale tani sebagai rumah tinggal, dan beberapa jenis lainnya.

Jika kamu ingat cerita Ka Acha tentang sebutan Bumi Gora untuk Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bermula dari istilah cara bertanam sistem Gogo Rancah dan kemudian menjadikan NTB sebagai provinsi yang sukses berswasembada pangan, maka kamu akan memahami bahwa masyarakat NTB khususnya Lombok Tengah lebih banyak mengembangkan pertanian mereka. Dan ya … Sade masuk dalam wilayah Lombok Tengah.

Bisa diperhatikan betapa jerami dan anyaman bambu menjadi unsur utama dalam pembangunan tempat tinggal masyarakat suku Sasak, khususnya di Desa Sade. Uniknya, lantai di rumah seringnya dibuat dari tanah liat dengan campuran abu jerami dan kotoran kerbau.

Ka Acha sewaktu kecil pernah bertanya pada Pak Prof, apa lantai dengan kotoran kerbau tersebut beraroma kurang sedap? Lembek? Licin? Jawabannya, nggak.

Pak Prof sempat membawa saya mengunjungi rumah tetangga kami dulu, Ka Acha memanggil beliau dengan sebutan papuq nina (artinya Nenek) yang juga melakukan hal serupa di rumahnya. Tujuan penambahan kotoran kerbau tersebut untuk menghalau serangga, mencegah lantai berdebu, membuat permukaannya lebih halus, termasuk menangkal serangan magis. Lantainya sekeras semen.

kain tenun khas Sasak Lombok

Sebuah sudut yang memamerkan hasil tenunan masyarakat Sade menahan langkah Mama. Sebagai penyuka wastra, Mama berhenti lama di sana. Hanya melihat-lihat, nggak berniat menawar. Pun nggak ada inaq (sebutan ibu dalam bahasa Sasak) yang menjaga. Mama memang menyukai kain-kain khas daerah, dan sering mengaplikasikannya dalam pakaian untuk Pak Prof juga anak-anaknya. Tapi, Mama kurang nyaman berbelanja di lokasi wisata apalagi kalau sudah seriuh Desa Sade.

Sayup suara gendang beleq yang dipukul beberapa terune (sebutan pemuda dalam bahasa Sasak) sekali dua mengalihkan perhatian Mama. Ka Acha dan Mas kembali mengekor, sementara Pak Prof dan keluarga lainnya sudah hilang entah kemana.

Pawai Nyongkolan untuk Rayakan Prosesi Pernikahan Suku Sasak

Benar saja. Alasan dari pertemuan saya dengan dua dedare Sasak yang sudah berdandan cantik, lengkap dengan pakaian hitam khas itu karena sedari tadi sedang berlangsung prosesi pernikahan. Mereka akan menjadi bagian dari arak-arakan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, nyongkolan namanya.

Prosesi ini seringnya dilakukan selepas dzuhur atau tepatnya jelang sore hari. Biasanya diselenggarakan dengan tujuan mengabarkan bahwa sudah ada anak gadis di suatu desa yang dipersunting seorang pemuda dari desa tertentu. Iring-iringan akan riuh oleh alunan musik khas Sasak dengan antraksi gendang beleq sebagai instrumen utamanya.

gendang beleq di prosesi nyongkolan khas Sasak

Kebetulan sekali, saat Ka Acha berada di sana, rupanya pengantin perempuannya dari desa sebelah. Nggak terlalu jauh. Jadinya prosesi nyongkolan dimulai dari depan pintu masuk Desa Sade.

Ada pengantin yang dinaikkan ke atas tandu lalu diangkat oleh empat pemuda di keempat sisi tandunya bagi masing-masing mempelai. Namun kali ini, di pawai nyongkolan yang saya dapati nampak berbeda. Pengantin perempuan diiringi dua dedare, ikut berjalan kaki. Demikian juga si mempelai lelaki.

Entah kecamuk perasaan apa yang memenuhi kalbu si pengantin perempuan ya. Mungkin bahagia bercampur haru sebab kini waktunya ia berpisah dari keluarganya. Langkahnya teratur lagi anggun dengan tatapan lurus ke depan. Sayang ramainya keadaan menahan Ka Acha yang berniat ikut memotret lebih banyak dengan para turis lainnya.

Jalanan makin padat. Banyak sekali wisatawan asing berjuang mengambil gambar. Kendaraan roda dua yang lewat pun harus berhenti dulu, menunggu rombongan menjauh.

Sudah lama sekali saya nggak menyaksikan prosesi nyongkolan begini. Biasanya sewaktu kecil dulu, saya cukup berdiri di balik pagar besar yang langsung menghadap ke jalan utama. Dari halaman depan rumah, saya bisa menyaksikan nyongkolan tanpa perlu kemana-mana. Nggak jarang, beberapa anak sebaya dulu suka memanggil untuk ikut. Ya … rombongan pengantar mempelai seringnya makin panjang oleh warga yang ingin ikutan.

Setelah pawai makin menjauh dan jalanan di depan desa mulai kembali lancar, Pak Prof mengajak kami kembali pulang ke rumah Om, tempat kami menginap selama beberapa hari. Nggak sempat berkeliling Desa Sade memang, tapi ditutup oleh prosesi nyongkolan yang jarang sekali bisa kami saksikan.

Komentar

  1. wuah seneng banget mba pas datang bisa menyaksikan prosesi yang tidak ada dihari biasanya, aku sudah 2 kali berkunjung ke desa sade, kurang beruntung nggak bisa elihat nyongkolan hanya tahu cerita kalau disana tuh kita mau menikah, dari pihak laki-laki harus 'menculik' perempuan yang disuka dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba. Unik ya budaya Sasak. Mau nikah aja pakai acara dilarikan dulu ke rumah keluarga pihak lelaki sebelum dipersunting.

      Hapus
  2. Desa Sade ini memiliki kearifan lokal tinggi yang sangat terkenal. Pengen banget saya bisa mengunjunginya ke sanam semoga ada waktu dan kesempatan untuk eksplorasi Desa Sade dan lainnya

    BalasHapus
  3. Wah senang sekali ya kak Acha
    Kalau saat kita datang ke suatu daerah terus ada festival seperti ini
    Jadi bisa belajar kearifan lokalnya juga ya kak Acha

    BalasHapus
  4. Bayangin penambahan kotoran kerbau pada lantai apa ga bau gituuuu
    ternyata untuk menghalau serangga, mencegah lantai berdebu, membuat permukaannya lebih halus, termasuk menangkal serangan magis.Wah, baru tahu akuuuu
    Senangnya bisa sekalian melihat prosesi nyongkolan yang jarang sekali bisa disaksikan, ya Kak Acha. Bonus banget ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget Mba Dian. Berasa dapat bonus padahal datang ke Desa Sade pun awalnya nggak direncanakan alias Pak Prof nggak woro-woro ke dua bocah besarnya kalau mau diajak pelesir ke desa adat.

      Hapus
  5. Kebudayaan dan adat di Indonesia memang unik-unik ya kak, sehingga memang harus dilestarikan. Apalagi pas banget itu momennya Kak Acha ke sana lagi ada perayaan prosesi nyongkolan jadi liburan yang mengesankan

    BalasHapus
  6. Desa Sade unik banget ya Acha. Tiba-tiba saya terpikir ini ... kalau mau shalat di rumah yang pakai kotoran kerbau gimana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, iya ya Bunda Niar, Acha tuh baru kepikiran lho. Gimana ya shalatnya. Sah nggak ya? Secara kan ada campuran kotoran di lantai dasar tempat mereka tinggal.

      Hapus
  7. Budaya makin lama makin mudar.kalau dahulu dekat bisa nonton sekarang berbeda tapi alhamdullilah masih ada yang mencintai dan praktekan prosesi nyokolan

    BalasHapus
  8. Mbaaa, pasti seru dan menyenangkan banget, ya, bisa menyaksikan prosesi adat seperti nyongkolan.

    Ternyata lantai dipakein kotoran kerbau banyak manfaatnya juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kayaknya aku nggak berniat mempraktekkannya di rumah sih. Hahaha ....

      Hapus
  9. Menarik sekali prosesi pernikahan suku sasak ini ya..
    Terbayang betapa khidmatnya dan keramaian setelahnya membuat bahagia keluarga hingga tetangga dan masyarakat sekitar oleh prosesi nyongkolan Desa Sade, Lombok.

    BalasHapus
  10. masih penasaran saya gimana cara mencampur dan menjadikan tanahnya jadi lantai yang kayak semen gitu. memang kalau dipikir teknologi zaman dulu itu terkesan biasa tapi kuat yaa kayak rumah dari kayu tapi nggak pakai paku di daerah mana gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya deh Mba Antung, kayaknya akan jadi pengalaman tersendiri kalau sesi mencampur dan bikin si kotoran kerbau sedemikian rupa hingga jadi lantai gitu. Bisa nih jadi salah satu bagian dari pengenalan budaya Sasak.

      Hapus
  11. aku belum prosesi adat seperti nyongkolan, menarik ya :D

    BalasHapus
  12. Tapi lantai dari kotoran kerbau itu, berarti ga bisa dipake untuk sholat ya mba? Atau cukup dilapisi sejadah? Eh btw, aku ga tau juga sih, mayoritas kepercayaan d sana 😅

    Menarik nih. Dan sama kayak mamanya mba, aku pun paling menghindari beli sesuatu dari tempat wisata begini. Krn biasanya jauuh LBH mahal 😄

    BalasHapus
  13. Saya pernah ke Desa Sade dan Ende kak, selalu kagum sama budayanya.
    Nanti ke Lombok lagi pasti mau visit kesana lagi

    BalasHapus
  14. Dua kali ke Sade blm pernah dpt nih lihat Nyongkolan. Cuma diantar berkeliling dan ngobrol dgn warga lokal. Termasuk yg bikin aku ternganga, lantainya itu dr kotoran hewan loh. Dan uniknya ga bau sama sekali.

    Dan emg bener sih tradisi pernikahan di sana emg ada dibawa kayak kawin lari dulu ama calon pengantin prianya. Baru nanti akan diminta ke calon. Apakah berminat utk menikahinya. Tradisi yg unik khas nusantara.

    BalasHapus
  15. wah seru banget ya bisa ke Desa Sade, saya terakhir ke sini sekitar tahun 2016 kayaknya, udah lama lagi ga ke sana, pasti banyak yang berubah ya mba, dan saya ga pernah menyaksikan Nyongkolan ini

    BalasHapus
  16. Saya sering lihat adat nyongkolan di salah satu channel YouTube ABS TV Lombok. Di situ sering tampil group Irama Dopang yang mengiringi pengantin atau tradisi nyongkolan. Saya jadi ketagihan untuk nonton channel tersebut.

    Kalo saya perhatiin, sekarang tradisi nyongkolan semakin modern ya. Iringan musiknya pun mengalami pergeseran, jadi musik dangdut. Kalo dulu kan musik Sasak gitu ya. Tapi keren banget, saya suka saya suka Irama Dopang.... Makasih artikel yang super duper keren pisan ini. Great job!!

    BalasHapus
  17. Terlepas kontroversi dari muslim yang kaffah, dari segi fikih maksudnya terkait ibadah yg harus suci badan tempat dan pikiran, tapi tradisi ini emang unik dan patut kita lestarikan ya

    BalasHapus
  18. Aku terakhir ke Desa Sade pas lebaran lalu, Kak, tapi cuma lewat aja sih, haha.. Penasaran juga lihat nyongkolan yg khas itu di seputaran Sade, pasti serunya.

    BalasHapus

Posting Komentar