Novel Once in a Moon dan Sepasang Gajah Sumatra Di Sampulnya

Berkeluarga Itu Bermakna Membangun Sebuah Rumah

Pengetahuan dan pengalaman saya belum banyak. Masa yang saya jalani dalam sebuah pernikahan pun masih seumur jagung.

Disclaimer dulu. Saya hanya berbagi sudut pandang saya saja. Bisa diterima, bisa disanggah, silakan saja. Kolom komentar saya terbuka, selama nggak spam atau sengaja memasukkan tautan berbahaya.

menikah itu membangun rumah tangga

Bertahun lalu, sebenarnya saya pernah menuliskan sebuah curhatan yang bernada, ‘saya nggak sepenuhnya menganggap keluarga saya sebagai rumah’. Kala itu, usia saya ada di range 20-an awal. But than, saya insaf setelah jadi orangtua muda saat ini.

Pada suatu senja kesekian di Cipete, saya lebih memilih untuk banyak menghabiskan waktu saya sendirian saja. Hidup nyaman di perantauan, padahal rumah orangtua saya nggak begitu jauh untuk ditempuh jika memang berniat pulang.

Ada rasa lelah yang lekas mengelayut setiap kali melangkah ke dalam rumah orangtua. Capek sekali karena saya merasa nggak sepenuhnya disambut kedatangannya. Lebih baik berjauhan dan berkabar lewat dunia maya, sebab kehadiran yang sering ada tapi terasa tiada.

Bukan bermakna saya nggak disayang ya, hanya saja keadaan dimana seluruh anggota keluarga terutama orangtua lebih fokus pada kesibukannya masing-masing, membuat saya merasa nggak sepenuhnya dianggap ada di dalamnya. Hanya badan saja yang pulang. Sapa dan bicara sebentar, lalu ditinggal.

Setelah semakin mendewasa seperti sekarang, memasuki usia kepala tiga yang kata orang, harusnya di usia matang begini saya mulai bijaksana, perlahan saya paham. Rumah dan keluarga itu punya kelekatan. Rumah tanpa keluarga yang hangat itu, serupa ruang nggak bertuan. Pun anak-anak, bukan salah mereka jika berujung nggak bisa dekat dengan orangtuanya, melainkan paksaan keadaan.

Pada akhirnya saya perlahan memahami sisi anak kecil dalam diri saya yang masih saya biarkan ada hingga sekarang. Paling nggak, ia mencegah saya untuk bertingkah sembrono dalam hubungannya dengan anggota keluarga terdekat saya, supaya jangan sampai perasaan saya diprogram ulang dalam benak anak-anak.

Tujuan Membangun Keluarga Dari Dirimu Itu Apa?

Hingar-bingar resepsi pernikahan dari beberapa teman seangkatan kala saya masih masuk dalam geng singlelillah pernah menarik saya dalam pertanyaan, “gue kapan?”. Belum lagi basa-basi “kapan nikah?” atau versi lebih halusnya, “kan usiamu sudah pantas menikah nih, calonmu mana?” sering mampir.

Hey … saya dulu belum seperempat abad tapi sudah mencicipi rasanya diberondong pertanyaan begitu. Hanya sebab saya sudah selesai kuliah, tengah mendaki tangga karir, dan masuk dalam usia yang katanya sih sudah waktunya berkeluarga.

Jleb. Langsung baper menjurus bapik. Parah deh efeknya.

Sampai pada suatu titik di kehidupan saya, secercah pengetahuan dari teman dan rekan yang lebih senior dalam berkeluarga, menegur. Sebuah rumah yang nantinya ditinggali sepasang suami istri begitu menentukan masa depan anak-anak yang lahir dan tumbuh besar di dalamnya.

Rumah yang nggak hanya berarti sebuah bangunan tinggal yang dengan susah-payah dibangun bersama untuk dihuni sekeluarga. Lebih dari itu, apakah bangunan rumah ini pada akhirnya bisa menjadi rumah secara utuh, tempat dimana setiap orang dalam keluarga merasa nyaman dan selalu rindu pulang setelah menjalani petualangan di kehidupan bermasyarakat?

Beberapa waktu ke belakang, setelah si sulung saya menjajaki masa-masa adaptasi sebagai murid tadika, saya banyak dapat pengalaman baru. Saya mengamati segala rupa yang terjadi di sekitar saya dalam diam.

Bagaimana para perempuan lebih sering mengantar dan memikirkan urusan anak-anak. Kala pertama dalam benak saya mencuat, aih … memang sudah kodrat. Perempuan dalam artian ibu adalah sekolah pertama anak-anaknya. Sosok yang sepanjang hayat akan memikirkan buah hatinya.

Alamiah saja. Seringnya semua berjalan bak aliran tenang air sebab ada proses hamil, menyusui, beserta segala drama yang terjadi.

Namun satu dua cerita – bahkan kisah serupa dituturkan pula oleh partner saya dari rekan kerjanya di kantor – kalau ada saja para ibu yang berujung abai pada tumbuh kembang anaknya. Bukan sepenuhnya salah si ibu kok. Hanya saja tuntutan dan tantangan hidup ini itu mengubahnya jadi begitu.

Pertanyaan itu bermuara pada pertanyaan lainnya. Kemana sosok ayah dalam rumah? Apakah keluarga dibangun atas pondasi cinta dua sejoli saja, tanpa komitmen kuat untuk sepenuhnya memberi dedikasi di dalamnya?

makna berkeluarga

Rupanya, berkeluarga itu bermakna membangun sebuah rumah. Bukan hanya bangunannya saja, namun mencipta hangat, lekat, dan nyaman pula di dalamnya. Maka, sebelum menikah, nggak ada salahnya merenungkan tujuan dari berkeluarga sebelum benar-benar menjalaninya, bukan?

Bagi pemahaman cetek saya, poin ini paling penting dipikirkan oleh kaum Hawa sebagai calon ibu. Penting sekali untuk berpikir matang sebelum menikah, dan mendiskusikannya secara terbuka tanpa terlalu terbawa perasaan bila nantinya terjadi bentrokan yang memicu keributan dengan calon pasangan.

Siapkah Membangun Sebuah Rumah untuk Anak-Anak?

Apa yang selanjutnya dipikirkan selepas memutuskan menikah? Mayoritas tentunya adalah mengharapkan kehadiran anak-anak, bukan?

Padahal sebenarnya, kehadiran anak-anak merupakan suatu ‘ujian’. Amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas rupa bentukan yang diberikan semasa ia bertumbuh dalam keluarga yang dibangun dua orang dewasa.

Dalam buku Hijrah Sakinah karya Hanny Dewanti yang saya baca beberapa tahun lalu, jelas tergambar betapa kompleksnya hubungan antara dua orang dewasa yang kemudian bersepakat untuk membangun sebuah keluarga. Positif dan negatif dari sinyal yang dihasilkan oleh keduanya, terespon juga oleh anak-anak.

Ujung-ujungnya, aliran rasa itu akan mengalir dalam pola pengasuhan. Duh … ribetnya dunia orang dewasa.

Kembali pada apa yang belakangan ini sering sekali wara-wiri dalam benak saya. Apakah saya sudah sepenuhnya bisa menjadi bagian dari ‘rumah’ yang nyaman dan layak huni dalam keluarga yang saya bangun kini?

Jangan sampai anak-anak berakhir dengan dibesarkan hanya untuk disekolahkan, dirancang agar punya karir yang nampaknya gemilang, sosok kecil yang hanya ingat untuk diberi makan dan pakaian layak, namun lupa dihadiahi banyak pelukan. Muda-mudi nampaknya perlu diingatkan untuk lebih banyak perpikir jauh ke depan sebelum mengambil tindakan besar bertitel pernikahan.

Menikah juga jadi ajang bagi dua orang dewasa untuk sama-sama belajar dalam menjadi sosok yang layak sebagai orangtua. Masa mendidik diri yang nggak ada ujungnya.

Semoga segala rupa diskusi dan perbincangan panjang di waktu senggang berdua calon pasangan, bisa menjadikan topik berkeluarga itu bermakna membangun sebuah rumah mencuat lebih banyak dibanding perintilan resepsi pernikahan yang nantinya hanya berlangsung beberapa jam saja. Lebih penting daripada pesta dan gaya. Ya nggak?

Jangan sampai jumlah orang dewasa yang merasa punya keluarga, ada rumah untuk pulang, tapi enggan karena rasa nggak sepenuhnya nyaman, angkanya melonjak tajam. Semoga saja yang tengah mempersiapkan pernikahannya, merenungi lebih jauh tentang berumahtangga.

 

 

 

Komentar

  1. Dalem banget, saya pun merasa masih banyak kurang dan ngga ngeti juga ini harus diapakan. Endingnya mengalir saja, diupayakan sebisana tiap melihat masa depan makin was-was. Yang jelas pernikahan memang seperti taman indah dengan banyak bunga berduri, kliatan indah tapi sakit juga

    BalasHapus
  2. aku juga mulai berpikir dan berprinsip akan selalu menghadirkan kehangatan buat keluarga. mencoba selalu hadir dalam perkembangan anak mulai dari lahir sampai beranjak dewasa. sayang sekali kalau kita sibuk mencari nafkah namun "menelantarkan" yang diberi nafkah.

    BalasHapus
  3. Aku juga udah baca Hijrah Sakinah yang memberi banyak insight buatku. Jangan sampe pernikahan yang menggabungkan 2 kepala hanya menghasilkan anak2 yg "cukup" disekolahkan aja. Anak juga amanah yaaaa.

    BalasHapus
  4. Rumah seharusnya memang tempat ternyaman untuk pulang bagi seluruh anggota keluarga ya,kak.
    Tulisan yang dalam banget, pengingat sebelum memasuki dunia pernikahan, harus menyiapkan diri sendiri dulu. Jadi ingin membaca buku Hijrah Sakinah.

    BalasHapus
  5. Bagus banget nih tulisannya, suka deh. Setelah belajar ilmu parenting beberapa tahun yang lalu, aku mulai memperbaiki diri. Sekarang terus berusaha memantaskan diri menjadi orang tua bagi anak-anak.

    BalasHapus
  6. Sebuah kisah perkembangan wawasan dan kepribadian seorang Acha. Saya pun sependapat, Cha, saya meyakini keluarga/pulang, terutama ibu adalah rumah. Tetapi saya masih terus belajar juga

    BalasHapus
  7. Agree kak. Bahkan kadang ya, di tengah circle yang memang berusaha menjadikan rumah sebagai pendidikan dan homey buat anak, ketika terjun ke masyarakat saya cukup terbelalak karena gak sedikit yang mendidik anak bukan hanya ala kadarmya, tapi juga sebagian menyesatkan. Perilaku toxic orang tua ditularkan ke anaknya. Hikssss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seolah jadi warisan ya, Kak. Tapi mudah-mudahan pengetahuan menjadi penjaga yang baik agar yang terperosok ke jalan yang sama.

      Hapus
  8. Yahhh memang gak cukup disekolahkan saja.
    Sedangkan untuk kata disekolahkan saja, butuh penyelidikan dalam. Apa sekolah ini cocok untuk anak saya?
    Jangan sampai anak-anak cuma jadi orang pintar saja, tapi gak ada adabnya, ye kan...
    Pengennya sih, kemana pun anak-anak terbang nantinya, setinggi apa pun itu, kehangatan rumah lah yang paling dirindukannya ...
    Semoga begitu

    BalasHapus
  9. dari tadi daku blogwalking entah mengapa bertemu bacaannya tentang berumahtangga, mungkinkah ini sinyal dari semesta buat daku yang dalam waktu dekat ini akan berumahtangga, aamiin saja dulu hehe.
    persiapan matang diperlukan pastinya ya kak, serta cerita seperti ini jadi inspirasi bagaimana ketika besoknya menghadapi dan menjalani biduk rumahtangga itu

    BalasHapus
  10. Renungan yang dalam banget tentang berkeluarga dari Kak Acha
    Untuk yang belum berkeluarga, semoga tetap semangat menjalani hari di tengah banyaknya pertanyaan 'kapan nikah?' karena pernikahan memang bukan kompetisi.
    Dengan banyaknya kasus keluarga yang tidak sempurna, mudah-mudahan juga tidak menyurutkan rasa untuk berkeluarga, karena berkeluarga juga tidak seburuk apa-apa yang dilihat dari contoh keluarga yang broken.

    BalasHapus
  11. Beneran deh. Harusnya semua orang berpikir begitu. Bahwa menikah tuh bukan hanya untuk melegalkan hal-hal yang awalnya nggak boleh. Tapi gimana membangun sebuah tempat pulang yanng nggak hanya sebagai bangunan saja. Oke deh.

    BalasHapus
  12. Menikah emg tujuannya macam2 sih. Tinggal persepsi kita masing2. Berbeda pendapat tentu blh aja kok kak. Emg membangun rumah tangga tuh ga gampang krn menyatukan 2 kepala yg bs jd berbeda pandangan hdp. Namun dstulah keunikannya. Bgm kita bs berkomunikasi, slg memahami utk mencapai tujuan yg sama, meski kdg berbeda pendapat dlm mengelola/melaluinya.

    BalasHapus
  13. Setuju Kak dengan renungan yang dalam sangat itu. Memang tak hanya kuantitas yang kita pikirkan setelah berumah tangga itu, tapi juga kualitas. Apalagi sudah ada anak, pemikiran yang ada harus disaring lagi sebanyak mungkin ya

    BalasHapus
  14. Dulu waktu saya masih muda usia 20 an menganggap pernikahan itu hanyalah sebatas aku suka kamu, kamu suka aku, ayo kita menikah. Titik. Seiring berjalannya waktu, aku sadar kalau menikah itu nggak sekadar suka sama suka doang. lebih kompleks daripada itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu, pengalaman, sama banyak kejadian akhirnya perlahan mendewasakan ya Mba. I feel you.

      Hapus
  15. Rumah agar hidup memamng bukan hanya diisi dengan barang, namun juga diisi dengan berbagai aktivitas yang membangun kebersamaan keliarga, dan bounding orang tua dan anak

    BalasHapus
  16. Pas banget kak aku juga habis nulis tentang wedding dalam rangka anniversary.
    Rumah memang bukan sekadar bangunan. Namun ada cinta di dalamnya. Orang tua adalah tempat untuk pulang, bukan sekadar kasih uang dan fasilitas dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Happy anniversary ya Mba. Semoga rumah tangga Mba selalu sakinah mawaddah wa rahmah. Aamiin.

      Hapus
  17. waw ini tuh deep banget sih kak klo ngomong soal berkeluarga tuh, memang butuh lebih dari cinta juga sih untuk tetap bersama sampai akhir hayat tuh

    BalasHapus
  18. MasyaaAllah. Ceritanya penuh perjuangan yah, Kak. Memang setiap orang punya makna sendiri tentang keluarga. Jujur, sebagai anak rumahan, alhamdulillah bisa deket banget sama keluarga.

    BalasHapus
  19. sama seperti ka acha yang juga membutuhkan proses menemukan rumah, saya juga ka. rumah secara harfiah memang bangunan fisik yaa, tapi bagi aku pribadi rumah adalah keluarga saat ini. suami dan anak-anak. dimanapun kami tinggal dalam kondisi apapun, mereka lah rumah saya. pemahaman ini saya amini sejak saya masih tinggal dengan orang tua yang broken (jadi berasa banget nih feel butuh "rumah" ). alhamdulillah, rumah hangat yang saya idamkan terwujud sekarang.

    BalasHapus
  20. Sayangnya enggak semua rumah bisa dijadikan keluarga
    Ada yang sekedar menjalani peran tanpa nyawa
    Bahkan pergi karena lelah dengan rutinitasnya

    BalasHapus
  21. setuju banget sih mba, dan membangun rumah tangga itu penuh proses. ngga ujug2 jadi.. semuanya kudu dipertimbangkan dengn matang kudu kuat pondasinya juga dalam berkeluarga

    BalasHapus
  22. Deep meaning with teh deep thinking, kak Acha.
    Sejak menikah dan akhirnya punya anak, selalu ada yang berubah. Dan perubahan itu menjadikan kita yang gak sempurna ini untuk terus belajar dan memperbaiki apa yang menurut kita paling ideal dalam sebuah keluarga. Karena kondisi ideal ini tentunya bisa berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. The point is, kita mau senantiasa belajar, jadi orang yang adaptif dan flexible.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agree. Perubahan itu seperti sebuah kepastian ya, Teh.

      Hapus
  23. Suamiku saat kecil tidak diasuh sendiri oleh ortunya karena satu dan lain hal. Akhirnya dia merasa tidak pernah punya "rumah". Berbeda denganku yang memang sampai saat ini - karena kedua ortu masih sehat- menganggap rumah masa kecilku itu adalah 'rumah'. Semoga anak-anakku nanti juga sama. Btw, setuju jika sebelum memutuskan berkeluarga sebaiknya calon pasutri mendiskusikan dan mempersiapkan diri untuk sebuah ''rumah' bagi anak-anaknya nanti.

    BalasHapus
  24. Jaman sekarang punya rumah pada besar besar tapi cuma berisi segelintir orang. Ditambah tiap manusia punya handphone malah mengurangi kesempatan untuk intimate

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ponsel tuh seperti mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat nggak sih Mba jadinya.

      Hapus
  25. Itu yg aku rasain dulu pas tinggal dengan orangtua. Ga merasa itu rumah, malah aku berkali2 pengen sekolah jauh, supaya ga Deket sebenernya. Krn sama sih mba, dulu aku lebih memilih mendingan jauh, tapi hubungan kami baik2 aja, dan seperti normal, drpd Deket tapi berantem Mulu.

    Terkabul memang. Aku lebih ngerasa Deket Ama ortu di saat Skr, jauh lokasi tapi Deket di hati ceileee 🤣

    Naah pas nikah, untungnya aku dpt suami yg memang sangat mentingin keluarga. Krn dia pun diraised dari orangtua yang bener2 perhatian. Beda ya memang pola pengasuhan bisa membentuk karakter seseorang.

    Jadi aku belajar untuk bisa menyukai anak, Krn dulu aku pun penganut childfree kok. Mengingat cara didik ortuku yg terkesan sangat keras, aku jadi ga tertarik punya anak.

    Dari suami akhirnya belajar kalo punya anak ga seserem itu. Tanggung jawab memang besar, tapi kami toh berdua. Itu yg aku syukuri, Krn dia selalu mau membantu didik anak. Jadi buatku, rumah yg skr, lebih berasa rumah memang, di mana ada suami dan anak2 yang malah bisa aku jadiin temen Skr ini.

    Beda banget Ama hubungan ku dengan ortu di zaman dulu 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pun semasa kecil bawaannya ingin tinggal jauh dari orangtua juga Mba. Nggak betah karena di rumah yang besar itu terasa terlalu ramai, riuh sama om tante yang datang ikut tinggal bersama. Akhirnya mama papa pun (bisa jadi karena merasa anak-anaknya aman ada yang menemani pun ada tuntutan finansial lainnya) jadi seolah-olah tenggelam pada profesi mereka masing-masing. Ujungnya aku merasa nggak sepenuhnya dikenali oleh ortu. Tapi setelah besar dan berjarak sama keduanya, malah merasa lengket sekali. Pola asuh mempengaruhi karakter anak, pada akhirnya ya.

      Hapus

Posting Komentar