pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pengetahuan dan pengalaman saya belum banyak. Masa yang saya jalani dalam sebuah pernikahan pun masih seumur jagung.
Disclaimer dulu. Saya hanya berbagi sudut pandang saya saja. Bisa diterima, bisa disanggah, silakan saja. Kolom komentar saya terbuka, selama nggak spam atau sengaja memasukkan tautan berbahaya.
Bertahun lalu, sebenarnya saya pernah menuliskan sebuah
curhatan yang bernada, ‘saya nggak sepenuhnya menganggap keluarga saya sebagai
rumah’. Kala itu, usia saya ada di range
20-an awal. But than, saya insaf
setelah jadi orangtua muda saat ini.
Pada suatu senja
kesekian di Cipete, saya lebih memilih untuk banyak menghabiskan waktu saya
sendirian saja. Hidup nyaman di perantauan, padahal rumah orangtua saya nggak
begitu jauh untuk ditempuh jika memang berniat pulang.
Ada rasa lelah yang lekas mengelayut setiap kali melangkah
ke dalam rumah orangtua. Capek sekali karena saya merasa nggak sepenuhnya disambut
kedatangannya. Lebih baik berjauhan dan berkabar lewat dunia maya, sebab
kehadiran yang sering ada tapi terasa tiada.
Bukan bermakna saya nggak disayang ya, hanya saja keadaan
dimana seluruh anggota keluarga terutama orangtua lebih fokus pada kesibukannya
masing-masing, membuat saya merasa nggak sepenuhnya dianggap ada di dalamnya.
Hanya badan saja yang pulang. Sapa dan bicara sebentar, lalu ditinggal.
Setelah semakin mendewasa seperti sekarang, memasuki usia
kepala tiga yang kata orang, harusnya di usia matang begini saya mulai
bijaksana, perlahan saya paham. Rumah dan keluarga itu punya kelekatan. Rumah
tanpa keluarga yang hangat itu, serupa ruang nggak bertuan. Pun anak-anak,
bukan salah mereka jika berujung nggak bisa dekat dengan orangtuanya, melainkan
paksaan keadaan.
Pada akhirnya saya perlahan memahami sisi anak kecil dalam
diri saya yang masih saya biarkan ada hingga sekarang. Paling nggak, ia
mencegah saya untuk bertingkah sembrono dalam hubungannya dengan anggota
keluarga terdekat saya, supaya jangan sampai perasaan saya diprogram ulang
dalam benak anak-anak.
Hingar-bingar resepsi pernikahan dari beberapa teman
seangkatan kala saya masih masuk dalam geng singlelillah
pernah menarik saya dalam pertanyaan, “gue kapan?”. Belum lagi basa-basi “kapan
nikah?” atau versi lebih halusnya, “kan usiamu sudah pantas menikah nih,
calonmu mana?” sering mampir.
Hey … saya dulu belum seperempat abad tapi sudah mencicipi
rasanya diberondong pertanyaan begitu. Hanya sebab saya sudah selesai kuliah, tengah
mendaki tangga karir, dan masuk dalam usia yang katanya sih sudah waktunya berkeluarga.
Jleb. Langsung baper menjurus bapik. Parah deh efeknya.
Sampai pada suatu titik di kehidupan saya, secercah
pengetahuan dari teman dan rekan yang lebih senior dalam berkeluarga, menegur.
Sebuah rumah yang nantinya ditinggali sepasang suami istri begitu menentukan
masa depan anak-anak yang lahir dan tumbuh besar di dalamnya.
Rumah yang nggak hanya berarti sebuah bangunan tinggal yang dengan susah-payah dibangun bersama untuk dihuni sekeluarga. Lebih dari itu, apakah bangunan rumah ini pada akhirnya bisa menjadi rumah secara utuh, tempat dimana setiap orang dalam keluarga merasa nyaman dan selalu rindu pulang setelah menjalani petualangan di kehidupan bermasyarakat?
Beberapa waktu ke belakang, setelah si sulung saya menjajaki
masa-masa adaptasi sebagai murid tadika, saya banyak dapat pengalaman baru.
Saya mengamati segala rupa yang terjadi di sekitar saya dalam diam.
Bagaimana para perempuan lebih sering mengantar dan
memikirkan urusan anak-anak. Kala pertama dalam benak saya mencuat, aih …
memang sudah kodrat. Perempuan dalam artian ibu adalah sekolah pertama
anak-anaknya. Sosok yang sepanjang hayat akan memikirkan buah hatinya.
Alamiah saja. Seringnya semua berjalan bak aliran tenang air
sebab ada proses hamil, menyusui, beserta segala drama yang terjadi.
Namun satu dua cerita – bahkan kisah serupa dituturkan pula
oleh partner saya dari rekan kerjanya di kantor – kalau ada saja para ibu yang berujung
abai pada tumbuh kembang anaknya. Bukan sepenuhnya salah si ibu kok. Hanya saja
tuntutan dan tantangan hidup ini itu mengubahnya jadi begitu.
Pertanyaan itu bermuara pada pertanyaan lainnya. Kemana
sosok ayah dalam rumah? Apakah keluarga dibangun atas pondasi cinta dua sejoli
saja, tanpa komitmen kuat untuk sepenuhnya memberi dedikasi di dalamnya?
Rupanya, berkeluarga itu bermakna membangun sebuah rumah. Bukan
hanya bangunannya saja, namun mencipta hangat, lekat, dan nyaman pula di
dalamnya. Maka, sebelum menikah, nggak ada salahnya merenungkan tujuan dari
berkeluarga sebelum benar-benar menjalaninya, bukan?
Bagi pemahaman cetek saya, poin ini paling penting
dipikirkan oleh kaum Hawa sebagai calon ibu. Penting sekali untuk berpikir
matang sebelum menikah, dan mendiskusikannya secara terbuka tanpa terlalu
terbawa perasaan bila nantinya terjadi bentrokan yang memicu keributan dengan
calon pasangan.
Apa yang selanjutnya dipikirkan selepas memutuskan menikah?
Mayoritas tentunya adalah mengharapkan kehadiran anak-anak, bukan?
Padahal sebenarnya, kehadiran anak-anak merupakan suatu ‘ujian’. Amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas rupa bentukan yang diberikan semasa ia bertumbuh dalam keluarga yang dibangun dua orang dewasa.
Dalam buku
Hijrah Sakinah karya Hanny Dewanti yang saya baca beberapa tahun lalu,
jelas tergambar betapa kompleksnya hubungan antara dua orang dewasa yang
kemudian bersepakat untuk membangun sebuah keluarga. Positif dan negatif dari
sinyal yang dihasilkan oleh keduanya, terespon juga oleh anak-anak.
Ujung-ujungnya, aliran rasa itu akan mengalir dalam pola pengasuhan.
Duh … ribetnya dunia orang dewasa.
Kembali pada apa yang belakangan ini sering sekali wara-wiri
dalam benak saya. Apakah saya sudah sepenuhnya bisa menjadi bagian dari ‘rumah’
yang nyaman dan layak huni dalam keluarga yang saya bangun kini?
Jangan sampai anak-anak berakhir dengan dibesarkan hanya
untuk disekolahkan, dirancang agar punya karir yang nampaknya gemilang, sosok
kecil yang hanya ingat untuk diberi makan dan pakaian layak, namun lupa
dihadiahi banyak pelukan. Muda-mudi nampaknya perlu diingatkan untuk lebih
banyak perpikir jauh ke depan sebelum mengambil tindakan besar bertitel
pernikahan.
Menikah juga jadi ajang bagi dua orang dewasa untuk
sama-sama belajar dalam menjadi sosok yang layak sebagai orangtua. Masa
mendidik diri yang nggak ada ujungnya.
Semoga segala rupa diskusi dan perbincangan panjang di waktu
senggang berdua calon pasangan, bisa menjadikan topik berkeluarga itu bermakna membangun
sebuah rumah mencuat lebih banyak dibanding perintilan resepsi pernikahan yang nantinya
hanya berlangsung beberapa jam saja. Lebih penting daripada pesta dan gaya. Ya
nggak?
Jangan sampai jumlah orang dewasa yang merasa punya keluarga,
ada rumah untuk pulang, tapi enggan karena rasa nggak sepenuhnya nyaman, angkanya
melonjak tajam. Semoga saja yang tengah mempersiapkan pernikahannya, merenungi lebih
jauh tentang berumahtangga.
Dalem banget, saya pun merasa masih banyak kurang dan ngga ngeti juga ini harus diapakan. Endingnya mengalir saja, diupayakan sebisana tiap melihat masa depan makin was-was. Yang jelas pernikahan memang seperti taman indah dengan banyak bunga berduri, kliatan indah tapi sakit juga
BalasHapusaku juga mulai berpikir dan berprinsip akan selalu menghadirkan kehangatan buat keluarga. mencoba selalu hadir dalam perkembangan anak mulai dari lahir sampai beranjak dewasa. sayang sekali kalau kita sibuk mencari nafkah namun "menelantarkan" yang diberi nafkah.
BalasHapusAku juga udah baca Hijrah Sakinah yang memberi banyak insight buatku. Jangan sampe pernikahan yang menggabungkan 2 kepala hanya menghasilkan anak2 yg "cukup" disekolahkan aja. Anak juga amanah yaaaa.
BalasHapusRumah seharusnya memang tempat ternyaman untuk pulang bagi seluruh anggota keluarga ya,kak.
BalasHapusTulisan yang dalam banget, pengingat sebelum memasuki dunia pernikahan, harus menyiapkan diri sendiri dulu. Jadi ingin membaca buku Hijrah Sakinah.
Bagus banget nih tulisannya, suka deh. Setelah belajar ilmu parenting beberapa tahun yang lalu, aku mulai memperbaiki diri. Sekarang terus berusaha memantaskan diri menjadi orang tua bagi anak-anak.
BalasHapusSebuah kisah perkembangan wawasan dan kepribadian seorang Acha. Saya pun sependapat, Cha, saya meyakini keluarga/pulang, terutama ibu adalah rumah. Tetapi saya masih terus belajar juga
BalasHapusAgree kak. Bahkan kadang ya, di tengah circle yang memang berusaha menjadikan rumah sebagai pendidikan dan homey buat anak, ketika terjun ke masyarakat saya cukup terbelalak karena gak sedikit yang mendidik anak bukan hanya ala kadarmya, tapi juga sebagian menyesatkan. Perilaku toxic orang tua ditularkan ke anaknya. Hikssss
BalasHapusSeolah jadi warisan ya, Kak. Tapi mudah-mudahan pengetahuan menjadi penjaga yang baik agar yang terperosok ke jalan yang sama.
HapusYahhh memang gak cukup disekolahkan saja.
BalasHapusSedangkan untuk kata disekolahkan saja, butuh penyelidikan dalam. Apa sekolah ini cocok untuk anak saya?
Jangan sampai anak-anak cuma jadi orang pintar saja, tapi gak ada adabnya, ye kan...
Pengennya sih, kemana pun anak-anak terbang nantinya, setinggi apa pun itu, kehangatan rumah lah yang paling dirindukannya ...
Semoga begitu
Aamiin ya rabbal alamin.
Hapusdari tadi daku blogwalking entah mengapa bertemu bacaannya tentang berumahtangga, mungkinkah ini sinyal dari semesta buat daku yang dalam waktu dekat ini akan berumahtangga, aamiin saja dulu hehe.
BalasHapuspersiapan matang diperlukan pastinya ya kak, serta cerita seperti ini jadi inspirasi bagaimana ketika besoknya menghadapi dan menjalani biduk rumahtangga itu
aamiin
HapusRenungan yang dalam banget tentang berkeluarga dari Kak Acha
BalasHapusUntuk yang belum berkeluarga, semoga tetap semangat menjalani hari di tengah banyaknya pertanyaan 'kapan nikah?' karena pernikahan memang bukan kompetisi.
Dengan banyaknya kasus keluarga yang tidak sempurna, mudah-mudahan juga tidak menyurutkan rasa untuk berkeluarga, karena berkeluarga juga tidak seburuk apa-apa yang dilihat dari contoh keluarga yang broken.
Beneran deh. Harusnya semua orang berpikir begitu. Bahwa menikah tuh bukan hanya untuk melegalkan hal-hal yang awalnya nggak boleh. Tapi gimana membangun sebuah tempat pulang yanng nggak hanya sebagai bangunan saja. Oke deh.
BalasHapusMenikah emg tujuannya macam2 sih. Tinggal persepsi kita masing2. Berbeda pendapat tentu blh aja kok kak. Emg membangun rumah tangga tuh ga gampang krn menyatukan 2 kepala yg bs jd berbeda pandangan hdp. Namun dstulah keunikannya. Bgm kita bs berkomunikasi, slg memahami utk mencapai tujuan yg sama, meski kdg berbeda pendapat dlm mengelola/melaluinya.
BalasHapusSetuju Kak dengan renungan yang dalam sangat itu. Memang tak hanya kuantitas yang kita pikirkan setelah berumah tangga itu, tapi juga kualitas. Apalagi sudah ada anak, pemikiran yang ada harus disaring lagi sebanyak mungkin ya
BalasHapusDulu waktu saya masih muda usia 20 an menganggap pernikahan itu hanyalah sebatas aku suka kamu, kamu suka aku, ayo kita menikah. Titik. Seiring berjalannya waktu, aku sadar kalau menikah itu nggak sekadar suka sama suka doang. lebih kompleks daripada itu
BalasHapusWaktu, pengalaman, sama banyak kejadian akhirnya perlahan mendewasakan ya Mba. I feel you.
HapusRumah agar hidup memamng bukan hanya diisi dengan barang, namun juga diisi dengan berbagai aktivitas yang membangun kebersamaan keliarga, dan bounding orang tua dan anak
BalasHapusPas banget kak aku juga habis nulis tentang wedding dalam rangka anniversary.
BalasHapusRumah memang bukan sekadar bangunan. Namun ada cinta di dalamnya. Orang tua adalah tempat untuk pulang, bukan sekadar kasih uang dan fasilitas dll.
Happy anniversary ya Mba. Semoga rumah tangga Mba selalu sakinah mawaddah wa rahmah. Aamiin.
Hapuswaw ini tuh deep banget sih kak klo ngomong soal berkeluarga tuh, memang butuh lebih dari cinta juga sih untuk tetap bersama sampai akhir hayat tuh
BalasHapusMasyaaAllah. Ceritanya penuh perjuangan yah, Kak. Memang setiap orang punya makna sendiri tentang keluarga. Jujur, sebagai anak rumahan, alhamdulillah bisa deket banget sama keluarga.
BalasHapussama seperti ka acha yang juga membutuhkan proses menemukan rumah, saya juga ka. rumah secara harfiah memang bangunan fisik yaa, tapi bagi aku pribadi rumah adalah keluarga saat ini. suami dan anak-anak. dimanapun kami tinggal dalam kondisi apapun, mereka lah rumah saya. pemahaman ini saya amini sejak saya masih tinggal dengan orang tua yang broken (jadi berasa banget nih feel butuh "rumah" ). alhamdulillah, rumah hangat yang saya idamkan terwujud sekarang.
BalasHapusMasyaAllah. Alhamdulillah. Barakallah Kak Eka.
HapusSayangnya enggak semua rumah bisa dijadikan keluarga
BalasHapusAda yang sekedar menjalani peran tanpa nyawa
Bahkan pergi karena lelah dengan rutinitasnya
Hhhh ... iya banget Kak Amma.
Hapussetuju banget sih mba, dan membangun rumah tangga itu penuh proses. ngga ujug2 jadi.. semuanya kudu dipertimbangkan dengn matang kudu kuat pondasinya juga dalam berkeluarga
BalasHapusDeep meaning with teh deep thinking, kak Acha.
BalasHapusSejak menikah dan akhirnya punya anak, selalu ada yang berubah. Dan perubahan itu menjadikan kita yang gak sempurna ini untuk terus belajar dan memperbaiki apa yang menurut kita paling ideal dalam sebuah keluarga. Karena kondisi ideal ini tentunya bisa berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. The point is, kita mau senantiasa belajar, jadi orang yang adaptif dan flexible.
Agree. Perubahan itu seperti sebuah kepastian ya, Teh.
HapusSuamiku saat kecil tidak diasuh sendiri oleh ortunya karena satu dan lain hal. Akhirnya dia merasa tidak pernah punya "rumah". Berbeda denganku yang memang sampai saat ini - karena kedua ortu masih sehat- menganggap rumah masa kecilku itu adalah 'rumah'. Semoga anak-anakku nanti juga sama. Btw, setuju jika sebelum memutuskan berkeluarga sebaiknya calon pasutri mendiskusikan dan mempersiapkan diri untuk sebuah ''rumah' bagi anak-anaknya nanti.
BalasHapusJaman sekarang punya rumah pada besar besar tapi cuma berisi segelintir orang. Ditambah tiap manusia punya handphone malah mengurangi kesempatan untuk intimate
BalasHapusPonsel tuh seperti mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat nggak sih Mba jadinya.
HapusItu yg aku rasain dulu pas tinggal dengan orangtua. Ga merasa itu rumah, malah aku berkali2 pengen sekolah jauh, supaya ga Deket sebenernya. Krn sama sih mba, dulu aku lebih memilih mendingan jauh, tapi hubungan kami baik2 aja, dan seperti normal, drpd Deket tapi berantem Mulu.
BalasHapusTerkabul memang. Aku lebih ngerasa Deket Ama ortu di saat Skr, jauh lokasi tapi Deket di hati ceileee 🤣
Naah pas nikah, untungnya aku dpt suami yg memang sangat mentingin keluarga. Krn dia pun diraised dari orangtua yang bener2 perhatian. Beda ya memang pola pengasuhan bisa membentuk karakter seseorang.
Jadi aku belajar untuk bisa menyukai anak, Krn dulu aku pun penganut childfree kok. Mengingat cara didik ortuku yg terkesan sangat keras, aku jadi ga tertarik punya anak.
Dari suami akhirnya belajar kalo punya anak ga seserem itu. Tanggung jawab memang besar, tapi kami toh berdua. Itu yg aku syukuri, Krn dia selalu mau membantu didik anak. Jadi buatku, rumah yg skr, lebih berasa rumah memang, di mana ada suami dan anak2 yang malah bisa aku jadiin temen Skr ini.
Beda banget Ama hubungan ku dengan ortu di zaman dulu 😅
Aku pun semasa kecil bawaannya ingin tinggal jauh dari orangtua juga Mba. Nggak betah karena di rumah yang besar itu terasa terlalu ramai, riuh sama om tante yang datang ikut tinggal bersama. Akhirnya mama papa pun (bisa jadi karena merasa anak-anaknya aman ada yang menemani pun ada tuntutan finansial lainnya) jadi seolah-olah tenggelam pada profesi mereka masing-masing. Ujungnya aku merasa nggak sepenuhnya dikenali oleh ortu. Tapi setelah besar dan berjarak sama keduanya, malah merasa lengket sekali. Pola asuh mempengaruhi karakter anak, pada akhirnya ya.
Hapus