pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Geliat aksi peduli lingkungan belakangan ini makin marak bergerak. Menggaungkan betapa manusia sesungguhnya butuh untuk hidup berdampingan dengan alam.
Sebuah film dokumenter yang muncul di masa pandemi lalu
berjudul Diam & Dengarkan yang disutradari oleh Mahatma Putra dan dihadirkan
melalui Anatman Pictures pada 2020, seolah mengingatkan bahwa setiap orang
sebenarnya memberikan kontribusi pada keberlangsungan alam semula jadi.
Pilihan gaya hidup yang dijalani setiap orang, saling mempengaruhi
apa yang kemudian bersama-sama dinikmati di Bumi, satu-satunya planet yang
manusia huni. Maka demi ingin turut berkontribusi menjaga kelestarian alam ini,
saya mulai berajar lebih jauh mengenai langkah mengatur pola konsumsi pribadi.
Banyak sisi yang rupanya perlu dibenahi. Mulai dari urusan
konsumsi pangan, hingga sandang. Khusus pada urusan memenuhi kebutuhan sandang
alias penampilan inilah, saya terpikir untuk mulai mengikuti arus sustainable
fashion.
Selain memanfaatkan secara maksimal setiap pakaian yang
sudah saya miliki, terbiasa dengan mic and match dalam berpenampilan, ada
masanya saya terpikir pula untuk membeli produk fashion yang mendukung green lifestyle.
Hingga di suatu penelusuran di laman maya, membawa saya pada
beberapa brand karya anak bangsa yang mengusung tema sustainable fashion ini. Salah
satu brand yang pada akhirnya menarik perhatian saya sebab menghadirkan motif
kain yang cukup unik dengan teknik pewarnaan ramah lingkungan adalah Semilir
Ecoprint.
Dari brand inilah, saya pun perlahan-lahan menjadi tahu
tentang kain lantung. Sebuah kain yang bukan diolah dari pintalan kapas dan
menjadi bahan katun atau disebut juga dengan nama kain drill. Kain lantung yang
merupakan salah satu warisan budaya Bengkulu ini terbuat dari kulit kayu.
Bagaimana ceritanya selembar kulit kayu bisa berubah menjadi
kain dengan tekstur lembut dan terasa nyaman digunakan sebagai pakaian?
Pertanyaan ini tentu mengajak saya untuk menjelajah lebih jauh. Paling nggak
saya jadi sedikit banyak tahu tentang salah satu kekayaan tak benda tanah air,
bukan?
Sejarah kehadiran kain lantung di Bumi Rafflesia rupanya
menyimpan sisi cerita kelam tersendiri. Pada masa penjajahan Jepang sekitar
tahun 1943, masyarakat Bengkulu mengalami keterpurukan ekonomi. Memenuhi kebutuhan
pangan harian saja sudah berat, ditambah urusan sandang yang nggak sanggup
dijangkau oleh banyak keluarga pada masa itu. Jerat hidup sungguh menyiksa.
Nah, akibat sulitnya mendapatkan bahan kain untuk pakaian sehari-hari, masyarakat pun menghadirkan sebuah inovasi dengan memanfaatkan kulit kayu sebagai bahan kainnya. Itulah asal mula kehadiran kain lantung di tengah-tengah masyarakat Bengkulu.
Kain lantung atau kemudian banyak juga disebut sebagai ‘kain terjajah’ ini, dihasilkan dari kulit pohon bergetah. Bisa dari pohon karet hutan, ibuh, dan terap atau kedui. Hasil kainnya sering berwarna kecoklatan. Dijahit menjadi pakaian tanpa motif maupun hiasan. Seringnya dijadikan baju luaran, sementara pakaian dalam masih menggunakan kain dengan bahan drill.
Pohon yang bisa ditebang untuk kemudian kulit kayunya
dimanfaatkan sebagai kain lantung pun nggak bisa sembarang. Umur pohon
seenggaknya sudah berusia lebih dari 10 tahun sehingga hasil kain lantung yang
didapatkan pun berkualitas baik.
Saya yang sebelumnya hanya mengenal kalau dalam pembuatan
kain seringnya melewati proses pemintalan benang, dibuat terdiam sebab kain
lantung rupanya dihasilkan dengan cara dipipihkan – bila boleh saya menyebutnya
begini. Kulit pohon yang akan dibuat menjadi kain ini dipukul-pukul dengan
menggunakan perikai hingga teksturnya menjadi rata, lebar, tipis, dan lembut.
Perikai sendiri merupakan alat pukul yang biasanya berupa
tanduk kerbau atau kayu keras dengan ukuran 10 x 40 cm. Ketika perikai
dipukulkan pada kulit kayu tadi, akan menghasilkan bunyi ‘tung tung tung’ dan
inilah awal mula kain dari kulit kayu khas Bengkulu ini kemudian diberi nama
kain lantung.
Belum lagi kulit kayu dari pohon bergetah yang menjadi cikal
bakal kain lantung pun nggak bisa asal pilih. Biasanya memanfaatkan kulit kayu
di bagian tengah yang lembarannya memang lebih lembut dan lentur. Pemilihan kayu
dari pohon bergetah pun tujuannya agar kain yang dihasilkan awet nantinya.
Perkenalan saya pada kain lantung rupanya menambah deretan
pengetahuan saya tentang berbagai warisan wastra tanah air yang makin dipelajari,
makin membuat saya terpukau pada bangsa sendiri. Bahkan di setiap daerah di
tanah air, memiliki berbagai produk kain dengan ciri khasnya masing-masing. Kain
yang cara pengolahannya pun banyak yang berfokus pada semangat sustainable fashion
nan ramah lingkungan.
Seperti yang sebelumnya sudah sedikit saya singgung di atas
mengenai Semilir Ecoprint, salah satu brand dengan semangat sustainable fashion
karya anak bangsa. Gelora dari fashion berkelanjutan ala Semilir Ecoprint yang
didirikan oleh Alfira Oktaviani sejak 2018 ini tadinya belum melirik kain
lantung di awal masa pendiriannya.
Seperti namanya, Semilir yang lahir dari tangan lihai Alfira
Oktaviani ini berfokus pada motif kain yang cara pewarnaannya menggunakan teknik
cetak dari daun, bunga, batang, atau bagian tumbuhan yang mengandung pigmen
warna.
Bahan kain yang digunakan pun semula hanya kain konvensional
yang mudah ditemui di pasaran. Biasanya memanfaatkan kain katun, sutra, linen,
atau kain-kain berbahan alam lainnya yang memang lebih mudah menyerap warna
dengan teknik pewarnaan alami ala ecoprint.
Motifnya tentu saja jadi unik dan enak dipandang mata. Apalagi
rasanya setiap lembar pakaian yang dihasilkan seolah hanya khusus untuk satu
orang saja. Kalau pun serupa, nggak benar-benar sama. Menjadikan sedari mula,
produk keluaran Semilir Ecoprint sudah punya jiwa khasnya sendiri.
Hingga pada suatu waktu, Alfira Oktaviani butuh menghadirkan
inovasi pada berbagai produk Semilir Ecoprint. Melalui diskusinya dengan sang
ayahanda, sebagai gadis berdarah Bengkulu dan telah lama mengenal kain lantung,
Alfira terpikir untuk menjajal teknik ecoprint ini pada kain khas Bengkulu
tersebut.
Alasan lainnya, tentu saja kain lantung sebenarnya sudah
banyak dikenal luas sebagai oleh-oleh wastra khas dari Bengkulu. Sayangnya,
dengan proses pembuatan kainnya yang cukup rumit dan memakan waktu, produk yang
dihadirkan pun nggak jarang berupa gantungan kunci, dompet, atau sebagai tali
keranjang bambu.
Setelah melalui proses trial and error, perlahan tapi pasti,
Semilir Ecoprint menghadirkan produk fashion yang memanfaatkan kain lantung.
Semilir mengubah kisah lama kain lantung yang tadinya di masa penjajahan Jepang
seringnya berupa kain berwarna kecoklatan tanpa motif dan hiasan, kini nampak
makin cantik sebab diberi motif menggunakan teknik pewarnaan alami.
Alfira Oktaviani pernah mengungkapkan dalam wawancaranya
dengan Republika bahwa dulunya produk dari kain lantung ini dihargai murah. Bahkan
di marketplace pun demikian. Namun melalui perjuangan Semilir Ecoprint yang
didirikan oleh Alfira Oktaviani, seorang mompreneur yang berdomisili di Jogja
ini, kain lantung yang sebenarnya membutuhkan proses panjang untuk dihasilkan
ini, patut dihargai secara pantas.
Belum lagi, sebenarnya, proses produksi kain lantung ini
nggak murni ramah lingkungan. Bak pisau bermata dua, mengenalkan kain lantung
kepada khalayak luas sebagai warisan budaya Indonesia juga menghadapi
tantangan, terutama dari para pengrajin kain lantung itu sendiri.
Penebangan liar secara besar-besaran dilakukan oleh para
pengrajin menjadi masalah yang perlu perhatian lebih. Sebab kain lantung belum
dikenal luas, pun harga yang dihadirkan di pasaran seringnya cukup rendah,
menjadikan pengrajin perlu memproduksi dalam jumlah besar.
Padahal, seperti yang sempat saya sampaikan di atas, butuh
pohon bergetah dengan usia lebih dari 10 tahun yang layak tebang untuk kemudian
bagian tengah kulit kayunya dikuliti dan diolah menggunakan perikai. Maka untuk
mengatasi masalah ini, Alfira Oktaviani bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu untuk menyediakan lahan dan menyediakan bibit pohon
terap secara gratis.
Nyala jiwa sustainable fashion yang digerakkan Alfira Oktaviani
lewat keberadaan Semilir Ecoprint, kini bukan hanya membawa kain lantung ke
kancah internasional, namun juga memberdayakan setiap sisi yang terlibat dalam
proses menghadirkan kain lantung ecoprint khas Semilir pada konsumennya.
Mulanya Semilir Ecoprint yang digagas Alfira Oktaviani
bertujuan untuk mengenalkan budaya sustainable fashion yang ramah lingkungan di
Indonesia memanfaatkan teknik pewarnaan alami ecoprint. Alfira Oktaviani
sendiri merupakan sosok mompreneur muda lulusan sarjana apoteker Universitas
Ahmad Dahlan, Jogjakarta.
Lewat kecintaannya akan seni terutama fashion, membawanya
untuk mulai mempelajari dan menggeluti ecoprint yang di masa 2016 belum banyak dikenal
di tanah air. Ia pun memulai Semilir Ecoprint dengan modal 500 ribu saja di kala
itu.
Semilir Ecoprint banyak menghadirkan produk sustainable fashion
berupa tas wanita. Kemudian, dengan makin besarnya permintaan pasar, Semilir
Ecoprint selanjutnya menghadirkan produk berupa kain, baju, hingga homedecor.
Dengan menargetkan segmen wanita perkotaan berusia di atas 25 tahun dengan kelas ekonomi A yang punya ketertarikan kuat pada green natural lifestyle, menjadikan Semilir Ecoprint makin diminati. Apalagi setiap produknya merupakan hasil buatan tangan alias handmade.
Perjalanan Alfira Oktaviani dalam mengembangkan bisnis
fashion yang mengusung jiwa sustainable fashion dan memanfaatkan kain lantung,
sebagai salah satu warisan tak benda tanah air inilah yang membawanya
mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards pada 2022. Sebuah gerakan yang
diprakarsai oleh Group Astra bagi anak bangsa untuk memajukan tanah air tercinta.
Pemanfaatan kain lantung yang lebih jauh dengan pemberian
harga yang pantas. Pemberdayaan masyarakat lokal, termasuk menggerakkan
kesadaran lingkungan dalam proses produksi kain lantung, menjadikan nyawa
sustainable fashion makin berpendar dari Semilir Ecoprint. Pantas bila Alfira Oktaviani
dianggap sebagai salah satu sosok anak bangsa yang memajukan tanah airnya.
Sumber :
Wow mantap Semilir Ecoprint ini ... semoga berkelanjutan dengan tersedianya bahan baku yang bisa memproduksi banyak kain lantung.
BalasHapusSaya suka kain lantung karena bengandung ke-tradisionalan (bahasa apa lah ini).
BalasHapusSelain dijadiin dompet, tas, dan sejenisnya, kain lantung bisa dijadiin pakaian gak ya mba Cha...
Bisa, Kak.
HapusSi kain lantung ini pun di jaman dulunya juga biasa dijadikan sebagai pakaian luar (pakaian dalam masih tetap pakai kain dari bahan kapas) di masa penjajahan Jepang dulu. Hanya saja warnanya cokelat earthy di masa itu kan nggak terlalu menarik, pun nggak diberi motif alias polosan aja gitu. Jadilah sebutan lainnya pun kain terjajah si kain lantung ini. Begitu, Kak.
Mantap nih bisa mengangkat derajat kain lantung jadi fashionable begini. Keren deh, Semilir ecoprint
BalasHapusMasyaallaah dari selembar kayu bisa jadi kain cantik.
BalasHapusKenapa orang pada kreatif2 banget sih ya, hehee
Semoga sustainable beneran jadi bisa sekaligus menjaga lingkungan untuk keberlangsungan masa depan generasi juga ya..
Aamiin. Semoga terus berkembang dan berkelanjutan.
HapusSuka pengen banget mengkoleksi berbagai kain nusantara. Karena banyak banget yang cakep. Apalagi ini saya baru tau kalau bahannya bukan dari kapas.
BalasHapusSeandainya pas ke Bengkulu lalu sudah baca tentang SEMILIR ini, saya pasti minta waktu untuk ketemu, memotret dan meliput. Kebetulan saya lagi in deep interest dengan wastra tanah air. Apalagi yang memiliki ciri khas, karakter kuat, dan menampilkan keunggulan bahan baku yang dimiliki oleh daerah penghasilnya.
BalasHapusBase-nya Semilir Ecoprint ini malah di Jogja untuk ruang workshop-nya, Kak Annie. Sementara kain lantung sendiri, dari beberapa sumber yang kubaca dalam menyusun artikel ini, memang diproduksi di Bengkulu. Semilir Ecoprint ini mengembangkan dua wilayah sih, Jogja dan Bengkulu.
HapusMenarik sih ini kain lantung, keren bisa menghasilkan kain dari alam. CUman emang harus dipikirin banget jika harus menggunakan hasil alam buat fashion, jangan sampai asal tebang pohondan jadinya malah merugikan alam :(
BalasHapusBetul. Rasanya hal ini juga yang bergemuruh di perasaan Alfira Oktaviani selaku founder Semilir Ecoprint sehingga menggandeng DLHK Bengkulu untuk menyediakan lahan dan bibit pohon karet sehingga kelak pohon yang ditebang oleh para pengrajin kain lantung bukanlah yang berasal dari hutan lagi sehingga merugikan. Pun nilai kain lantung kan diangkat lewat teknik ecoprint sehingga nilai jualnya jadi lebih tinggi, nggak seperti sebelumnya yang bahkan dimanfaatkan sebagai tali keranjang dengan nilai jual yang nggak terlalu bisa menutupi lelah dan panjangnya proses produksi kain lantung.
HapusSuka banget bacanya
BalasHapusSustainable fashion dicetuskan dan dipromosikan Alfira Oktaviani yang masih muda banget
Sehingga kita bisa yakin alam akan baik-baik saja karena dirawat anak muda yang peduli
Prosesnya panjang juga ya untuk sampai jadi baju, dari kulit kayu kemudian proses ecoprint. Pengen tahu juga nih pohon lantung seperti apa. Apakah harus ditebang dulu, atau bisa dahan-dahan aja yang dipotong, pohonnya utuh. Setuju dengan mbak Suci, semoga lingkungan tetap terjaga
BalasHapusInformasi yang menarik untuk dibaca, thanks Kak Acha.
BalasHapusNamun saya sedikit punya ganjalan. Mengenai asal mula pembuatan kain lantung terutama dari bahan yang digunakan, yakni kulit kayu dari pohon usia 10 tahun. Apakah pengggunaan kulit kayu tersebut harus menebang pohon terlebih dahulu, atau cukup diambil kulitnya saja? Saya menyayangkan kalau cara ini lestari, karena sama halnya dengan membinasakan pohon yang seharusnya tetep hidup. Kalau Mbak Alfira nya enggak ya, karena menggunakan teknik ecoprint.
Kalau dirunut dari kisah awal mula hadirnya kain lantung di tanah Bengkulu, sebenarnya memang agak bagaimana gitu ya, Mba. Jadi awalnya memang pengrajinnya membabat hutan dan menebang tanaman bergetah semisal pohon karet, sebab bagian kulit kayu yang diambil untuk diubah jadi kain kan memang bagian dalamnya yang lebih lentur dan lembut sehingga mudah ditipiskan dengan perikai untuk bisa jadi selembar kain.
HapusRasanya, ganjalan yang sama pun sempat terbersit di benak Alfira Oktaviani ini, sehingga selanjutnya beliau menggandeng DLHK Bengkulu untuk menyediakan lahan di desa Papahan (desa penghasil kain lantung) dan bibit pohon terap (karena kalau mintanya dana tentu pengelolaannya punya kemungkinan menghasilkan masalah baru di ranah pengrajin) sebagai bahan baku pembuatan kain lantung. Hal ini dilakukan dengan tujuan, sehingga para pengrajin kain lantung nggak menebang serampangan pohon terap di hutan demi menghasilkan selembar kain lantung (1 pohon menurut sumber yang kubaca sih, bisa menghasilkan 2 - 3 lembar kain lantung selebar 1 meter). Selain itu, Semilir Ecoprint juga membatasi penggunaan kain lantungnya hanya 100 lembar per tahun saja sih, demi menjaga keberlangsungan pohon terap sehingga nggak terlalu banyak ditebang.
Selanjutnya, aku merasakan sih, usaha beliau dengan mengangkat derajat kain lantung menjadi kain untuk pakaian dan aksesoris fashion lainnya dengan kreativitas ecoprint, bisa membuat nilai jual kainnya naik. Tujuannya agar pengrajin kain lantung nggak fokus menghasilkan banyak, tapi menghasilkan kain berkualitas sehingga bisa dicetak motif-motif ecoprint-nya.
Begitu sih Mba Rien yang kutangkap dari berkeliling ke beberapa sumber bacaan untuk kain lantung ini.
Wah...semakin lengkap penjelasan tentang kain lantung ini. Makasih mbak Acha.
HapusEngga boleh serampangan ya produksinya, harus dibatasi ya hanya 100 lembar per tahun. Hasil akhir Semilir Ecoprint keren-keren yah. Aku suka warna-warnanya kalem gitu, terlihat eksklusif.
Kain dengan teknik tradisional gini memang ada peminat sendiri, apalagi kain lantung ecoprint punya ciri khas yang warna dan motif yang natural. Apalagi udah pasti gak akan ada yang samain. Gak heran harga jualnya juga bisa bersaing dengan produk brand. Semoga semilir nantinya bisa go internasional
BalasHapusKeren banget, kagum deh setelah tau mereka terus menggiatkan kain lantung ini ke kancah dunia, nilai seninya tinggi, memang pantas dihargai mahal karena berkat ketekunan dan ketrampilan kerajinan tangan mereka bisa menghasilkan kain yang bisa digunakan bermacam-macam. Sukses terus buat Semilir Ecoprint
BalasHapusMembaca keterangan tentang kain lantung membuat saya ingat pada awal abad ke-20 itu di kota kami kabarnya masyarakat jelata banyak yang pakai karung goni sebagai baju. Kebetulan ada pabriknya.
BalasHapusBtw, saya selalu berbinar kalau membaca succes story tentang eco print
Wah iya, jamanku kecil pun nenekku sempat berkisah sih Mba soal pakaian dari karung goni begini di masa penjajahan. Saking sulitnya memenuhi kebutuhan sandang ya, Mba. Menurut nenekku dulu, kalau jadi rok atau celana, sering bikin gatal.
HapusJadi penasaran deh bagaimana sejarah penggunaan kain goni ini. Semoga Mba Susi bisa mengisahkannya buatku di lain kesempatan ya, Mba.
Mbak aku penasaran kain lantung kalau dipakai di Indonesia tu bisa menyerap keringat gak ya? Kok rasa2nya kain ini tebal dan mungkin cucok dipakai di negara luar, diekspor aja apa ya hihihi #sokteu
BalasHapusWah sekarang emang lagi heits yaa ecoprint, tapi bagus sih penuh kreativitas dan gak akan sama motif satu dengan yang lain karena punya keunikan masing2
Beragam kain ada di Indonesia. Dan salah satunya kain lantung yang unik dari proses pembuatannya ya, Mbak.Dan Mbak Fira berhasil mengangkat kain lantung ini jadi lebih bernilai. Tidak saja terus melestarikan, tapi juga meningkatkan ekonomi banyak orang.
BalasHapusPanjang sekali perjalanan membuat sebuah kain Lantung yaa..
BalasHapusDan dengan kegigihan Alfira Oktaviani, semoga bisa semakin membawa Semilir Ecoprint menjadi sebuah trend fashion global.
Semilir Ecoprint menjadi ruh baru dalam dunia fashion, dan bisa menjadi trend fashion global yang sangat erat dengan lingkungan
BalasHapusKeren nih kak Alfira, bisa memanfaatkan teknik eco print dan kain khas Bengkulu untuk menciptakan karya yang indah
BalasHapusPatut kita hargai dan apresiasi kain Lantung ini. Unik cara buatnya itu bikin terpukau. Membayangkan kulit kayu dipukul-pukul hingga lentur dan tipis banget sehingga bisa menjadi kain itu luar biasa lho...
BalasHapusDemi apa, Semilir Ecoprint bisa sekeren ini. Idenya Mbak Al masuk akal sekali, dan pastinya bisa bantu jaga alam plus bisa hasilkan produk super cantik.
BalasHapusKalau orang asing, pasti sangat menghargai karya tradisional/etnik. Beda dgn warga dsini yg kadang suka memandang sebelah mata kerajinan tangan dr anak bangsa (gina)
BalasHapusKainnya juga keknya adem yaa mba kain Lantung ini. Bagusnyaaa motifnya bisa the one and only nihh karena eco print biasanyaa ngga ada yang sama motifnya satu sama lain, kereeen!
BalasHapusunik banget yaaaa konsepnya ecoprint kain lantung ini, unik sih dan pastinya lebih ramah lingkungan juga, nice konsepnya, semoga makin sukses berkiprah dan jg kasih nilai plus buat kebaikan lingkungan yg sustainable
BalasHapusSenang sekali membaca cerita inspiratif seperti ini
BalasHapusSalut dengan anak muda yang kreatif dan peduli terhadap warisan budaya seperti ini
Inovasi orang-orang zaman terdahulu memang ajib, siapa sangka yang awalnya hanya sebuah kulit kayu bisa disulap menjadi kain yang cantik. Dan...sekarang dilanjutkan oleh Alfira Oktaviani, keren banget.
BalasHapusKak Alfira ini emg kreatif bgt ya kak. Smua bahan penbuatan batik berasal dr dedaunan yg seharusnya oleh bnyk pihak selalu dibuang begitu saja. Atau hingga dibakar aja biar ga bikin kotor halaman rumah.
BalasHapusDgn hny berbahan daun ini, kita bs ttp modern berpakaian. Idenya unik bgt.
sustainable fashion sekarang lagi hype ya mengikuti perkembangan semakin meningkatnya awareness orang-orang terhadap perubahan iklim dan masalah sampah fashion. aku baru tahu loh kalau ada pakaian dari kulit pohon. pakaian sustainable begini udah pasti kalau jadi "sampah" akan mudah terurai ya. cuman yang jadi PR, setiap menebang satu pohon untuk dimanfaatkan baik kayu maupun kulitnya harus diimbangi dengan penanaman satu pohon lagi ya, mengingat dibutuhkan pohon berusia 10 tahun yang bisa dijadikan bahan sandang
BalasHapusKeren banget sih mbak Alfira. Gak cuma bisnis, tapi juga mikirin dampak baik buat lingkungan dan budaya kita. Apalagi itu ide sustainable fashion di Indo yang masih kurang dikenal. Bener-bener inspiratif! Semoga makin banyak entrepreneur muda kayak mbak Alfira yang peduli sama warisan dan lingkungan kita. Salut! 👏🍃👜
BalasHapuswah saya baru tau ini pakaian dari kulit pohon seperti kain lantung ini, sungguh kreatif ya mba.. saya seblum lihat langsung seperti apa, tapi sudah cukup terbayangkan melalui tulisan ini :D
BalasHapusWah baru tahu ada kain yang terbuat dari kulit kayu bernama kain latung. Unik sekali ya kainnya even dalam proses pembuatan kain ini tidak sepenuhnya ramah lingkungan tapi syukurlah biasa diatasi oleh Mbak Alfira dengan menggandeng DLHK Bengkulu
BalasHapusKok aku jdi pengen punya 1 baju ecoprint dari kain lantung 😍😍😍. Unik bangeeeet, baru tau kalo kainnya terbuat dari kulit kayu dan dipukul2 sampe tipis ❤️❤️. Ini mah kalo dijual murah kebangetan. Dikira ga effort apa mukulin sampe beneran halus begitu 😱❤️.
BalasHapusOrang zaman dulu kepikir aja untuk bikin kain dari kulit kayu ya mba. Beneran ih aku mau cari di market place apa ada yg jual kain ini.
Aku pernah belajar bikin ecoprint gini dan sekarang anak-anak TK juga banyak yang udah diajarin bikin kain ecoprint kek gini yaaah, mana mahalmahal pula kalo udah jadi dan dijual
BalasHapusWah ini kain Lantung Bengkulu ya. Bagus sekali saat diaplikasikan dengan teknik ecoprint
BalasHapus