pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Memangnya kalau kesasar di suatu tempat antah berantah itu ada faedahnya? Eh … kok Prof. Rhenald Kasali malah meminta mahasiswanya buat tersasar sendiri di empat benua? Buat apa sih?
Menamatkan buku seri pertama dari 30 Paspor Di Kelas Sang
Profesor yang dihadirkan oleh J.S. Khairen, saya baru paham kalau tersasar ya
nggak apa-apa. Bahkan nyasar di negeri orang dengan segala keterbatasan yang
dipunya pada akhirnya membawa cerita nan berkesan untuk bekal menghadapi
kehidupan selepas lulus kuliah.
Judul :
30 Paspor Di Kelas Sang Profesor Jilid 1 (Kisah Anak-Anak Muda Kesasar di Empat
Benua)
Penulis :
J.S. Khairen
Penerbit :
Noura Books
e-Book via :
Rakata
Tayang : 16 Desember 2020
ISBN :
978-602-1306-73-4
Paling lambat 1,5 bulan ke depan, kalian semua harus sudah
berangkat! Demikian ucapan Prof. Rhenald Kasali di hari pertama masuk kuliah
Pemasaran Internasional yang sontak membuat kelas gaduh luar biasa.
Negara tujuan ditentukan saat itu juga. Sementara paspor
harus didapatkan dalam waktu dua minggu ke depan.
Metode kuliah yang awalnya ditentang banyak orang tersebut –
dari orangtua mahasiswa sampai sesama dosen terbukti menjadi ajang latihan
terbang bagi para calon rajawali. Demikian Prof. Rhenald mengibaratkannya.
Tersasar di negeri orang dapat menumbuhkan self driving, syarat untuk menjadi
pribadi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab menentukan arah hidup
sendiri.
Dalam jilid pertama buku ini, para mahasiswa mengalami
sendiri pengalaman unik. Ketinggalan pesawat, tidak punya uang sehingga
terpaksa mencari negara miskin, kena tipu pengemis, adalah beberapa di
antaranya.
Nama Prof. Rhenald Kasali dengan Rumah Perubahan yang
digerakkannya sebenarnya sudah lama menggaung di antara banyak anak muda tanah
air. Walaupun sayangnya, Ka Acha sendiri baru tahu tentang beliau setelah beberapa
kali menemukan bukunya di rak perpustakaan kampus, lalu bertahun kemudian
rupanya beliau mau digandeng oleh perusahaan tempat saya berkarya dulu.
Prof Rhenald Kasali adalah seorang guru besar di bidang ilmu
manajemen yang mengajar di Universitas indonesia. Mendapatkan gelar Ph.D dari
University of Illinois, beliau bukan hanya seorang akademisi, melainkan juga
praktisi di bidang bisnis. Di sisi lain, beliau pun menularkan berbagai
pengetahuannya lewat berbagai buku karyanya yang bertema bisnis.
Kalau kamu sering menyambangi akun Instagram maupun Youtube
channel beliau, mungkin akan familiar dengan jargonnya, keep it relevant. Senada dengan semangat yang dihadirkan oleh Rumah
Perubahan, suatu wadah untuk pengabdian masyarakat. Ruang yang dibangun sebagai
contoh social entrepreneurship di Indonesia.
Pesan bahwa kemandirian, inovasi, dan orientasi pada hasil lewat tindakan nyata, tergambar jelas dalam berbagai cerita perjalanan dari para mahasiswanya di buku seri pertama 30 Paspor Di Kelas Sang Profesor ini. Semangat yang terus ditularkan kepada setiap mahasiswa yang beruntung bisa masuk ke dalam kelas beliau, Pemasaran Internasional.
Menamatkan buku yang merangkum setiap pesan dari para
mahasiswa yang akhirnya berangkat ke luar negeri seorang diri demi meraup
pengalaman hidup ini, menyadarkan Ka Acha – sebagai pembaca – kalau hidup
bergelimang teori tanpa praktik di kehidupan nyata seolah menyia-nyiakan waktu
yang telah dihabiskan untuk mempelajari suatu mata kuliah.
Ya … walau pada akhirnya, mata kuliah mana yang mengubah
masa depan seorang sarjana itu baru disadari selepas lulus kuliah. Seperti Ka
Acha yang akhirnya menekuni
dunia blogging gara-gara tugas kuliah beberapa tahun lalu.
Sedari kata pengantar yang Prof. Rhenald Kasali hadirkan dalam buku 30 Paspor Di Kelas Sang Profesor Jilid 1 ini hingga halaman terakhir, saya menyadari bahwa ketika tengah berada dalam suatu keadaan seorang diri, setiap insan tadi akan memiliki keleluasaan untuk memilih sekaligus memilah risiko yang harus dijalani. Istilahnya, ia duduk di kursi kemudi dan bertanggungjawab sepanjang perjalanan, bukan bersantai saja di kursi penumpang yang kebanyakan duduk melamun memperhatikan sekitar.
That’s a self driving
exercise mean. Sepotong pesan yang saya bisa cecap sepanjang membaca buku
digital yang saya beli lewat aplikasi menulis dan membaca milik penerbit besar Mizan
ini, Rakata.
Hampir semua cerita perjalanan di buku yang menghadirkan
nama dari salah seorang penulis terkenal tanah air, J.S. Khairen ini. Mulai
dari cerita seorang mahasiswi yang karena keterbatasan dana akhirnya memilih
negara yang masih berada di lingkup ASEAN. Catatan pentingnya, destinasi
tujuannya kan nggak boleh berbahasa Melayu ya.
Perjalanan si mahasiswa membawa saya kembali mengenang
setiap kisah dalam buku Life
Traveler karya Windy Ariestanty. Kisahnya mengajarkan bahwa ada banyak sekali
pengetahuan yang nggak sepenuhnya bisa ditemukan dari berbagai buku bacaan. Perlu
usaha untuk keluar rumah dan melakukan perjalanan untuk menemukannya.
Ada pula cerita seorang mahasiswa yang sedari awal nampak sulit sekali memenuhi tugas ‘jalan-jalan keluar negeri’ yang diberikan di kelas. Ia benar-benar kesulitan secara finansial. Namun semangatnya membawanya mengejar sponsor demi tugas yang Prof. Rhenald Kasali berikan, akhirnya terlaksana. Pun ia memilih Bangladesh, sebuah negara yang belum seberkembang tanah air kita. Eh tahunya, ia pulang dengan banyak cerita yang menyentil.
Ada satu cerita dari seorang mahasiswa yang paling membuat
Ka Acha terkesan. Bukan sebab kisah perjalananya sih, tapi di momen ia mengurus
paspor. Ia yang terbiasa santai saja – bahkan menganggap remeh urusan paspor
karena ke luar negeri sama keluarga sudah masuk kategori ‘biasa’ baginya – mendadak
harus pakai jasa ordal alias orang dalam karena ternyata masa berlaku paspornya
sudah mepet.
Proses yang membawa dia harus banyak mengaku-ngaku sebagai saudara
dari bapak ini, lalu pura-pura kenal dengan si bapak itu, eh … tahunya
urusannya bukan sama si sesebapak melainkan sama bagian lain di kantor imigrasi
tuh, membuat saya ingin memberinya tepukan tangan. Jadi orang yang mengurus sesuatu
dengan status sebagai ‘bawaan seseorang ordal’ tuh, bikin hati nggak tenang.
Menyindir tentang bagaimana proses administrasi di tanah air
tercinta yang masih bisa digesek atau digoyang dengan nama si ini si itu dan
menjadikan segala urusan berubah mudah. Hhh … nggak bisa dipungkiri sih ya,
bisa jadi hingga hari ini cerita begini masih saja ada.
Cerita dari si mahasiswa santai ini rupanya nggak berakhir
hingga ia akhirnya berangkat ke negara tujuan wisatanya. Masalah yang sama pun
terjadi ketika ia akan kembali terbang pulang ke Indonesia. Semuanya bermula
akibat menyepelekan waktu alias time management yang kurang rapi. Walhasil, ia
harus mengalami ketinggalan pesawat lalu mencicipi rasanya bermalam di bandara.
Pengalaman yang ia bagikan dalam buku 30 Paspor Di Kelas Sang Profesor Jilid 1 sungguh menyentil Ka Acha yang bisa jadi selama ini masih cukup berantakan dalam mengatur waktu dan nggak jarang menyepelekan sesuatu hal yang kecil. Sepele tapi sebenarnya berakibat fatal.
Kesimpulan dari kesemua perjalanan yang bisa saya baca dalam
30 Paspor Di Kelas Sang Profesor adalah betapa diri sendiri tuh perlu banget
diberi kesempatan untuk merasa nyaman dalam menentukan jalan hidup. Ada kalanya
pihak di luar diri itu perlu ditepikan sejenak, biar nggak terlalu memengaruhi
sampai mengaburkan kemandirian atas diri.
Selepas menamatkan jilid pertama dari 30 Paspor Di Kelas
Sang Profesor, Ka Acha pun jadi banyak tergoda untuk bisa melakukan perjalanan
seorang diri. Tapi, apa saya berani?
Para pejalan yang akhirnya mampu solo traveling kemudian saya sadari punya sisi self driving yang tajam. Serupa sosok Rahma Ahmad yang dari bukunya
yang berjudul Discovering
Uzbekistan bisa membawa saya menyecap kalau kehidupan di sebuah negeri nun
jauh di tengah benua Asia sana, begitu punya banyak kedekatan dengan tanah air
kita.
Aih … sejauh ini, saya memang menyenangi buku bertema perjalanan
sih ya. And than, 30 Paspor Di Kelas Sang Profesor Jilid 1 melengkapi
perjalanan imajiner yang entah kapan bisa benar-benar saya wujudkan nantinya. One day, insyaAllah.
Kebayang kisah perjalanan 30 paspor yang mewakili 30 orang ini, seru pasti! Idenya Prof Rhenald Kasali memang out of the box, dari sini mahasiswmanya jadi dapat banyak pengalaman dan wawasan baru dari perjalanannya. Aku sendiri dulu pas masih sendiri/atau belum ada anak sesekali solo traveling. Kini kalau perjalanan jauh dah ga pernah lagi, pasti sama suami, anak, keluarga atau teman..kangen bisa solo traveling begini:)
BalasHapusKeren nih Mba Dian, berani solo traveling. Sensasinya memang beda banget ya Mba kalau jalan jauh sendirian tuh. Benar-benar segala yang terjadi tuh keputusannya ya diputuskan sendiri.
HapusPernah denger cerita ini bertahun yang lalu. Salut sama prof Rhenald Kasali dgn cara ngajarnya yg out of the box. Kita yg terbiasa di zona nyaman mungkin terkaget-kaget ya. Tugasnya sebangsa uji nyali! Hehe
BalasHapusBaru dikasih tahu aja bisa-bisa auto bingung harus gimana mengusahakan biar tugasnya kelar ya.
HapusBeragam kisah para mahasiswa yang melakukan self driving ya kak. Tapi semuanya penuh Hikmah. Bahkan soal time management sekalipun yang terlihat sepele Karena kita biasa melakukannya ternyata gak selalu mudah.
BalasHapusAh Bahkan yang gak mudah dalam urusan finansial pun bisa asalkan ia teguh.
Mantabb bukunya kak.
Saat peluncuran buku ini lupa tahun brp di ibf aku hadir, ketemu penulisnya JS khairen sekaligus prof. Reinald Kasali, salut sihh ajaran di prof yang kudu mahasiswa nya punya pasport dan coba jalan sendiri, mengasah keberanian hehe. Setelah nya waktu itu aku juga kepoin rumah peradaban dan coba ikut eh gak lolos hihihi
BalasHapusHuum. Kuperhatikan untuk bergabung di Rumah Peradaban ternyata memang harus melewati seleksi ketat dulu. Baru-baru ini aku temukan infonya kalau seleksinya dibuka lagi.
HapusIni ditiru oleh kakak saya, walaupun beliau ngga sampai pergi juga sih akhirnya tapi paspor ada. Dan sudah bertahun-tahun yang lalu "cerita" tentang tantangan profesor ini saya dengar dari kakak dan sempat heboh juga masa itu Sayangnya sampai sekarnag saya pun belum berhasil mengaplikasikan ilmu beliau dan menjawab tantangannya.
BalasHapusAku tuh ngefans banget sii kaa sama beliau, Prof Rhenald Kasali. Baca ini tentu saja bikin perasaan, jantung ikut berdebar ga karuan berasa ikutan jalan2 bareng mereka. Dan banyak banget pelajaran yang bisa diambil tentang kehidupan dan bikin aku kangen solo traveling juga!
BalasHapusTraveling menyadarkan kita kalo di luar sana msh bnyk ilmu yg prlu kita gali, bljr rendah hati dgn org lain, bljr menerima hingga pelajaran lain yg ga bs disebutin satu2.
BalasHapusPraktek khas Prof Rheinald ini keren sekali sih kalo diterapin. Tp ya kembali lg ke kemampuan mhs jtk bs traveling dgb modal sendiri. Tp ada td yg bs cari sponsor utk bs travelubg. Keren bgt nih.
Btw penasaran dgn Rakata, ini kyk Gramedia Digital gt ya. Mau cek jg ah. Aku pgn langganan.
Rakata ini punyanya Mizan. Iya, mirip-miriplah. Tapi kadang aku merasa, Rakata ini perpaduan antara Gramedia Digital sama Cabaca sih. Asik banget aplikasinya, bisa buat beli ebook legal yang memang ada buku cetaknya, bisa nulis-nulis juga di Rakata.
HapusKalau membaca buku solo traveling memang bikin takjub.. dan huaaa, ini malah diminta tersesat biar mengalami solo traveling, ckckck, terbayangkan itu antara harus panik, dibikin asik, dan segala macemnya ya hehe.
BalasHapusAah, ternyata makna dari challenge Prof tuh ini yaa..
BalasHapusAku selalu suka dengan buku-buku karya Prof. Rhenald.
Karena bak seorang peramal, Prof Rhenald ini jeli sekali dalam "melihat" kehidupan sosial yang sedang kita alami dan bagaimana perubahan serta apa penyebabnya.
Ini sih yang paling penting dalam hidup.
Kita memahami apa yang sedang ada di sekitar kita dan ikut adaptasi untuk bisa terus membuka peluang kebaikan.
Tapi emang bener sih, pas kuliah kita cuma menjalani mata kuliah satu per satu berusaha mendapatkan nilai sebaik mungkin. Barulah aplikasi dari "rutinitas kuliah" ini kerasa pas kerja nantinya
BalasHapusBener Mas. Aku jadi tersadar nih. Memang sih kebanyakan momen berkuliah ya hanya belajar tapi jarang yang benar-benar ditantang untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat sampai meninggalkan kesan di diri untuk bekal selepas kuliah nanti.
HapusWaduh, saya malah baru tahu tentang Prof. Rhenald Kasali ini, keren banget ya kasih tugas ke mahasiswanya untuk "jalan-jalan ke luar negeri". Tugas yang tentu saja tidak mudah, apalagi yang belum ada pengalamannya sama sekali ke luar negeri dan tiba-tiba dikasih tugas begitu. Jadi tantangan banget ya, belum lagi masalah dana yang harus dikeluarkan tapi akhirnya semua hambatan yang ada bisa diatasi ya dan merek (mahasiswa-mahasiswanya) akhirnya bisa jalan2 ke luar negeri dan pulang membawa berbagai cerita uang kemudian dirangkum dalam buku ini. Jadi penasaran akunya, pengen baca langsung buku ini, sepertinya menarik dan siapa tahu bisa memotivasi saya juga buat berani solo travelling, hehe
BalasHapusIdolaku nih Prof Rhenald Kasali, banyak pemikiran dan pandangan beliau yang emang bisa banget bantu grow up kita untuk bisa terus bertumbuh. Salah satunya sih dorongan untuk traveling buat anak muda biar bisa mandiri, ini bagus banget
BalasHapusSelalu suka lihat Prof Rhenald Kasali kalo lagi bahas apa-apa tuh. Dari cara ngajarnya yg out of the box itu lah jadi bikin mahasiswanya tertantang yah, kak.
BalasHapusYa ampuuuuuun kenapa dulh aku ga dpt dosen kayak beginiiiii ππππ. Happy to the max sih kalo bisa, mungkin Krn ini berkaitan ama traveling sih yaa mba. Passionku byangeeetttt.
BalasHapusKeren caranya ππ. Tadinya sempet kepikir gimana dengan mahasiswa/i yg kurang mampu. Apa bisa memaksakan diri kesana? Ternyata mereka malah cari sponsor yaπ. Ngelatih Skil negosiasi kan
Ahahaha aku jadi kebayang gimana happy-nya ekspresi Mba Fanny di antara mahasiswa lain yang pada panik kebingungan milih destinasi dan segala macamnya. Mba Fanny tuh emang berasa banget se-passionate itu suka jalan-jalannya. Blog Mba aja suka jadi referensi aku. Makasih ya, Mba.
HapusKe luar negeri gampang ya asal ada duitnyaπ. Tapi salut ama Prof. Rhenald karena menghadirkan metode pengajaran yg tak biasa tetapi berkesan untuk seumur hidup.
BalasHapusDaku masih belum berani solo traveling euy.