pada tanggal
Baca
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Demi apa coba, pilah sampah di rumah beneran nggak mudah. Berkali-kali mau menyerah rasanya. Sulit untuk menyamakan persepsi dengan pasukan seisi rumah, apalagi yang usianya di atas Ka Acha. Ini apa pendekatan saya yang salah ya? Ujungnya, niat kuat datang dan pergi sesuka hati.
Sebenarnya, usaha untuk mulai pilah sampah begini, Ka Acha
mulai sekitar dua tahun lalu. Perjalanan underground
yang cukup panjang ya.
Namun tahapnya nggak pernah sampai ke level memaksimalkan
sampah organik untuk jadi kompos seperti mungkin yang orang lain sudah banyak
lakukan di luar sana. Saya cukup tahu kemampuan saya saat ini. Pun lahan
mengompos tiada.
It’s ok. Semuanya
kan butuh proses ya.
Saya masih terbatas dengan memisahkan sampah non organik
saja. Mulai dari plastik tebal berupa botol dan lain sebagainya. Mengumpulkan kemasan tetrapack yang nggak bisa
serta-merta digabung dengan sampah kemasan lain. Mencuci bungkus multilayer, dijemur dulu, lalu dikumpulkan pada tempatnya tersendiri.
Begitulah. Pekerjaan panjang yang rupanya bikin hati lelah
juga kalau segalanya diupayakan sebatang kara begini.
Dua tahun lalu, demi menyemangati diri, saya menayangkan
proses saya memilah sampah di rumah pada akun Instagram pribadi saya. Kamu
masih bisa menemukan post-nya, jika
sanggup skrol sampai ke reels di bulan Juni tahun 2022.
Post itu tentang
proses Ka Acha memilah pakaian tak layak pakai yang bukannya saya jadikan lap
lantai atau didonasikan ke yayasan yang – katanya – siap jadi tempat menerima,
tapi saya kirimkan pada waste management yang mampu mengolahnya
menjadi produk peredam suara dan juga benang atau kain recycle. Lokasi kirimnya di Jakarta.
Bukan karena gaya-gayaan. Saya hanya nggak ingin memberikan
pakaian nggak layak pakai pada orang lain. Bukankah memberi hadiah, sebaiknya
dengan benda yang pantas? Kalau pun pakaian tadi nggak layak guna lagi, maka tempat yang
saya tuju haruslah siap mengolah jadi benda yang baru. Itu yang saya tekadkan.
Saya pun belajar lebih banyak lagi tentang slow fashion
hingga berubah jadi rasa kepo pada kain
lantung. Semangat untuk terus mix and
match outfit tanpa rajin beli pakaian baru, menggelora, menyala. Proses
yang mengajarkan Ka Acha untuk memelihara rasa cukup atas segala rupa benda
yang masuk dalam lemari pakaian saya.
But in other hand,
saya tetaplah seorang anak. Orangtua Ka Acha senang memberi hadiah pada kami,
anak-anaknya. Paling sering, tentu saja pakaian dan segala produk fashion. Orangtua saya merasa, anak
perempuan wajib diajari tetap tampil cantik. Kesan pertama seringnya datang
dari tampilan rupa, begitulah nasihat keduanya. Walhasil, lemari Ka Acha selalu
terisi tanpa perlu saya beli sendiri.
Kenyataan lainnya, nggak semua produk fashion dan kain diterima oleh si waste management yang Ka Acha sebutkan tadi. Ada saja barang
buangan yang saking nggak tahunya harus dihibahkan kemana, teronggok begitu
saja di area loteng. Hasilnya, tentu saja si partner saya sebal. Ujungnya, ia
buang saat truk pengangkut sampah mingguan datang.
Bukannya senang, saya malah kepikiran. Sampah tadi akan
bercampur-baur dengan berbagai rupa lainnya. Jadi onggokan yang menjulang
tinggi di Tempat Pembuangan Akhir sana. Dari bagian belakang truknya saja, saya
sudah mendapati secuil penampakannya. Hhh ….
Lanjut ke proses pilah sampah plastik di rumah. Saya
pisahkan, mana jenis botol hingga plastik pembungkus makanan.
Proses ini menyadarkan Ka Acha kembali. Nggak semua benda
plastik mau diterima oleh babang rongsok dan pemulung yang lewat sesekali di
komplek perumahan tempat saya tinggal ini. Ya … bisa dipahami. Pengepulnya
mungkin enggan menerima semuanya, bukan?
Mulailah masa pencarian. Berbekal rasa penasaran, saya
menjelajahi dunia maya. Berjuang menemukan waste
management yang siap menerima sampah pilahan jenis lain yang nggak masuk
list terima si babang rongsok.
Ada waste management yang menerima, namun
saya harus mengeluarkan dana lagi saat proses membuangnya. Aih, kalau dihitung,
berat di kantong. Bahkan jumlahnya lebih besar dari iuran sampah bulanan
melalui pihak RT di komplek perumahan Ka Acha ini.
Mau minta tolong Mas alias si partner rusuh Ka Acha yang –
katanya sih – paling setia dan sayang sepenuh hati sama para bocil sebagai
tetua di sini, hhh … dia nggak siap untuk menyengaja menyediakan waktu hanya
demi ‘pergi buang sampah’ yang sudah adiknya ini pilah. Toh baginya, ada yang
lebih mudah. Tinggal keluarkan semua, dan tunggu truk pengangkutnya tiba setiap
hari selasa.
Saya paham kok. Ngapain juga mempersulit diri kan? Lagipula tujuannya pun sama, mengeluarkan sampah tadi dari rumah. Oke, si adik dan si
kakak kemudian pecah kongsi.
Akhirnya ada platform
pilah sampah yang bersedia menjemput ke rumah, terjadwal proses jemputnya, pun
bebas biaya. Nggak semua jenis sampah terpilah sih yang diterima, tapi layanan
jemput dan timbangnya ini yang berhasil memberikan dukungan pada Ka Acha untuk
tetap semangat. Gratis pula. Gimana saya nggak senyum senang, coba?
Namun sayangnya, waste management ini nggak bertahan
lama. Pun kasusnya saya ketahui selepas curhat di salah satu akun media sosial
milik saya gara-gara tim penjemput sampah yang biasa dikenal dengan sebutan
pelestari, selama berminggu-minggu nggak bisa diminta datang ke mari. Sayang sekali ya.
Padahal platform ini sempat jadi
andalan saya.
sampah terpilah yang mau dijemput si waste management yang akhirnya berkasus itu |
Perjalanan membawa saya berkenalan dengan owner dari waste management yang mengelola sampah terpilah begini secara
personal. Mandiri sistemnya, karena sering si pemiliknya ini turun tangan.
Lokasi kirimnya pun di Bogor sini, walau jaraknya cukup jauh dari tempat saya
tinggal. Catatan lain, usahanya ini skala kecil, terbatas sekali.
Pernah ada hari saya merasa beruntung mengenal beliau. Tas
spoundbond yang jumlahnya sudah sampai satu kardus saking banyaknya goodiebag
yang saya terima entah dari mana saja, bisa tersalurkan lewat beliau.
Tentu, sebab tas begini kan memang bisa digunakan
berkali-kali. Sayang, kini sering diberikan persis kantong plastik besar di
masa lalu, sebelum gerakan peduli lingkungan dengan mengurangi penggunaan
plastik banyak digaungkan.
Bila direnungkan kembali, kenapa kisahnya jadi serupa sejarah
hadirnya kantong plastik? Benda
yang dulunya diniatkan untuk kurangi penggunaan kantong kertas akibat penebangan
pohon sebagai bahan baku pembuatannya yang sudah sampai di level masif, eh
jadinya? Dari kantong plastik pindah ke spounbond
yang malah lebih ribet lagi diolahnya. Hhh … manusia.
Niat dan keadaan ternyata nggak selalu bisa berjalan
beriringan. Ada masa ketika kesehatan saya menurun, atau sewaktu pekerjaan
memaksa saya untuk memprioritaskan hal lain dibanding memilah sampah. Dengan
sendu saya biarkan semua terbuang begitu saja tanpa lewat proses pilah.
Terutama di jelang Idul Fitri tahun ini. Beberapa sudut
rumah tempat saya biasa menyimpan sampah non organik terpilah, harus segera
dikosongkan. Pekerjaan Ka Acha pun sedang menggila. Hingga banyak yang terpaksa
luput dari perhatian saya.
Jadilah, sampah yang telah susah payah saling dipisah
menurut jenisnya itu, raib dari rumah. Saya tahu, seisi rumah pasti gerah oleh
segala rupa benda ‘nggak berguna’ yang menumpuk, menyudut, penuh. Saya mengerti
betapa tempat tinggal kami jadi nggak bisa masuk kategori rapi. Semua karena si
anak keras kepala satu ini, that’s me.
Namun yang paling Ka Acha sayangkan, ketika urusan pilah
sampah di rumah, sedari awal hanya urusan saya seorang. Mengulik waste management yang mau mengolahnya.
Mencari tahu cara memilahnya. Bersabar mengumpulkan semua sebelum mengirimkannya.
sampah plastik multilayer yang sudah dicuci bersih dan dijemur |
Bukan berarti si partner sepenuhnya enggan. Dia hanya merasa
cukup dengan memisahkannya saja, tanpa merapikannya atau membersihkannya lebih
dulu, sebelum disalurkan.
Bagaimanalah hati saya nggak merengek minta menyerah? Dongeng
panjang saya soal bagaimana keadaan Bumi ini kini dipenuhi sampah yang saling
campur aduk, rupanya jadi angin lalu. Tahu kalau mengurusi semuanya butuh
waktu, kalau bisa dipermudah, kenapa mau saja dibuat susah? Begitulah tantangan
lewat sudut pandang keluarga Ka Acha di rumah.
Lagi dan lagi, saya merenung. Nggak semua orang lekas
tersentuh. Suatu kebiasaan, butuh waktu puluhan tahun untuk diubah. Tingkat
kesadaran setiap orang pun, nggak selalu bisa dipaksakan.
Pada akhirnya, Ka Acha jadi banyak berandai-andai. Bila saja
Indonesia proses pilah sampahnya sudah serupa di Jepang sana, jadi budaya
modern. Sampah yang dicampur dalam satu kantong, enggan diangkut para petugas
pengangkut sampah karena abai dipilah. Proses angkut tiap jenisnya pun, berbeda
harinya. Bahkan setiap orang merasa bertanggungjawab atas sampah miliknya, sehingga
ketiadaan tempat sampah di tempat umum nggak membuat kawasan di sekitarnya
kotor berantakan. Apa angan saya kejauhan?
Jika boleh disimpulkan, segalanya berawal dari sudut
pandang dan kebiasaan. Keinginan pun pengetahuan yang berakhir menetap di hati
alias bukan hanya parkir di pikiran, nggak selalu bisa dipaksakan. Benarlah
kata semua orang, mengajar orang lain lebih mudah dibanding menyampaikannya
pada keluarga terdekat.
Kendala inilah yang perlahan menghentikan saya untuk
membagikan proses pilah sampah di rumah selama ini. Buat apa? Ka Acha saja
belum sempurna prosesnya.
pembungkus alumunium foil produk susu yang selalu Ka Acha bersihkan sebelum dikumpulkan untuk disalurkan ke waste management yang mau mengelola |
Maunya naik bertahap seperti mendaki anak tangga. Ternyata
naik turun jungkir balik jumpalitan dulu dibuatnya. Hanya karena begitu
inginnya berhasil mengeluarkan sampah secara terpilah dan nggak berkontribusi
penuh pada menggunungnya sampah di TPA, saya terlalu sering diajak menghela
napas panjang sampai rasanya ingin angkat tangan.
Cukup sudah drama panjang ini berjalan. Mungkin, inilah
waktunya Ka Acha menghentikan langkah yang bisa jadi sudah sejauh ini. Cukuplah
saya menjadikannya kebiasaan untuk diri sendiri dulu.
Telah tiba waktunya bagi saya untuk mengusaikan paksaan atas
kebiasaan baru di rumah. Biarlah sedikit demi sedikit, lambat proses dan
progresnya. Mohon doakan saya tetap punya nyala untuk pilah sampah di rumah,
walau tertatih dan nggak bisa sesempurna orang lain di luar sana.
Saya tetap percaya, rumah adalah tempat terbaik bagi
generasi di bawah saya, belajar soal hidup. Bila bukan sepenuhnya sekarang,
mungkin nanti akan ada juga waktunya. Sebab saya mulai ingin berhenti
mengingatkan segala rupa pada sosok-sosok yang memang usianya di atas saya. It’s ok.
Saya kemudian mengamini, setiap orang ada masanya, dan
setiap masa akan ada orangnya. Mungkin bukan di saat ini, tapi nanti. Bisa jadi
bukan saat Ka Acha ada di usia yang semuda sekarang, tapi kelak saat usia saya
lebih matang. Drama ruwet pilah sampah di rumah begini, pasti ada usainya kan? Semoga
happy ending.
Emang nggak mudah menyatukan persepsi sama orang rumah soal pilah-pilah sampah, Kak. Kadang sehari dua hari oke. Eh selanjutnya lupa. HEhehe
BalasHapusTapi lama lama kalau dibiasakan dan disiplin suasananya bisa kembali kondusif. Bisa karena terbiasa, hehe
HapusSenangnya ya di sana ada waste management yang menerima sampah kain. Di sini gak ada.
BalasHapusTantangan lainnya, di sini sampah yang diambil oleh petugas gak dipisah meskipun sudah kita pisah di rumah ... ditumpuk saja semua :(
Tidak mudah memang untuk menjadi seorang pahlawan lingkungan. Apalagi tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekat. Pastinya butuh effort yang tinggi dan support. I can feel you. Tetap semangat
BalasHapussudah hampir tahun ketiga ini aku sudah belajar pilah sampah karena bersyukur di komplek rumah sudah menerapkan bank sampah. jadi banyak untungnya, karena sampah jadi ada harganya hehe
BalasHapusrelate banget ka achaaaa! saya juga pejuang pemilah sampah sendiri dirumah dan yang paling cerewet, hahaha. suami suami kek nya emang gitu ya, gak mau ribet pengen yang simple aka. pilah buang dan kasiin deh ke mang sampah. mungkin yaaa dan mungkin bila nanti....kitanya tetep konsisten suami juga luluh juga, hihihi.
BalasHapustapi anak anak sih udah alhamdulillah mulailah buang sampah ke tempatnya meski belum bisa milih yaaa, meski dibilangin ini buat botol ini buat plastik bekas kamu jajan, ini buat sisa kamu makan gak abis....hihihi. yaa gitu deh. perjuangan emang yang kadang pengen, udah deh gue nyerah! kasiin ke kang sampah aja! wkwkwkwk
Pas ibu saya sakit, saya agak bedah rumah di sana. Banyak barang yang seharusnya jadi sampah. Tapi ga boleh dibuang oleh ibu saya. Katanya ada cerita kenangan sepanjang masanya hahaha. Tapi bagus ini ada waste management yang mau membantu mengolah sampah, bahkan sampai menjemput sampah ke rumah dan gratis.
BalasHapussalut sama kakak yang sudah membudidayakan memilah sampah untuk mencintai bumi ini :')
BalasHapusSalut, saya merasakan sendiri bagaimana sulitnya memilah sampah di rumah. Saya tergolong yang belum berhasil. Tapi saya tidak akan menyerah dan akan selalu berusaha.
BalasHapusKalau saya drama nya sama suami. Dia ngumpulin plastik bekas minyak atau detergen gitu buat jadi polibag. Tapi lamaaa... Ga dipakai akhirnya berantakan dan bikin kotor. Ya saya buang. Eh marah dia
BalasHapusHahaha
Gemes ya, Teh. Kok didiamin lama banget nggak langsung dimanfaatkan. Ngerti banget rasanya.
HapusJujur ya mba, aku pun menyerah urusan pilah sampah di rumah. Capeeek karena ngelakuin cuma sendiri. Yg lainnya yaaa gitu deh. Ga bisa konsisten. Ujung2nya, aku yg emosi mba, dan itu ga bagus buat mood ku sendiri. Kalo keseringan bad mood yg ada aku jadinya happy, lama2 bisa ke mental yg kena.
BalasHapusDah laaah, aku nyerah. Ntah kapan Indonesia bisa memproses pilah sampah kayak di Jepang, korsel dan negara maju lain.
Toh sampah yg udah dipilah pun, ujung2nya digabungin juga di tempat sampah. Trus ngapain aku capek milahnya 😞. Masa harus ke waste management baru mereka bisa olah.
Aku pernah hubungin salah satu di daerah kb jeruk, trus dia bilang baru bisa pick up kalo beratnya minimal 500kg !! Aku langsung ngakak🤣🤣🤣🤣. Niat ga sih.. Emang dikira rumahku pusat pembuangan sampah nungguin numpuk sebanyak 500 kg dulu.
Yg penting ngajarin anak2 dulu utk buang sampah selalu di tempatnya deh. Masalah pilah2 ntr aja. Nguras tenaga dan emosi
Mau pingsan. Nerbener maunya apa sih, masa harus nunggu sampai 500 kg dulu. Kan jadinya kalau yang pilah sampah rumahan alias perorangan jadi nggak mudah. Masa harus jadi tempat pemilahan mandiri dulu baru bisa dibantu. Huhuhu ....
Hapuspilah sampah ini memang PR
BalasHapusadakalanya si petugas sampah menerima yang sudah terpilah, adakalanya pula malah tetep digabung gitu.
yang penting semangat selalu dimulai dari diri sendiri
Wah kak sama kaya aku belum bisa maksimal mengelola sampah hingga jadi kompos, padahal aku punya lahan yang lumayan dan banyak daun yang jatuh juga dari pohon buat dijadikan kompos kan bisa juga ya.
BalasHapusTapi, baru sampai tahap pisahkan yang botol plastik saja, kemudian ditukar di pengepul. Gitu aja aku udah seneng, wkwk.
Menjadi penggiat lingkungan memang tidak mudah, tapi tekad dan usahamu patut diacungi jempol. Memisahkan sampah non-organik seperti plastik, tetrapack, dan bungkus multilayer memang membutuhkan dedikasi dan ketelatenan.
BalasHapussemoga banya yang ngikutin yah
Mengelola sampah di rumah saya masib sekedar memilah mana sampah yg kira-kira bisa dimanfaatkan lagi, mana yang tidak.
BalasHapusBiasanya kami memisahkan seperti kaleng, bot9l plastik, dan wadah plastik. Tek jadikan tempat tanaman, kalau tidak saya kasihkan ke pemulung.
Emang tantangan banget sih mengedukasi org rumah terkait pemilahan sampah ini. Padahal udah aku kasih dua tempat sampah berbeda. Yang satu utk organik, satunya utk plastik dan kertas. Itu aja masih dicampur2. Ribet juga sih. Tapi ya gmn lagi. Emg hrs bersabar kalau ngasih edukasi, bahkan ke keluarga kita sendiri.
BalasHapusEmang yaa ada aja tantangannya padahal niatnya baik yaahh agar lingkungan terjaga, tapi gak begitulah emang perlu efort banget.
BalasHapusAchaaaa, aku paham betul rasanya, karena di rumahku juga begitu. Kadang-kadang rasanya pengen ngamuk ngeliat sampah botol plastik, plastik kemasan, kardus bekas nasi kotak, atau kulit buah dan kulit telur nggak diletakkan di tempat yang bener. Susah bener siiiiiih ngebiasain orang rumah buat memilah sampah?
BalasHapusSalut buat kak acha... memang gak mudah mengedukasi orang lain meskipun keluarga sendiri tentang memilah sampah. Kadang banyak orang berfikir ini pekerjaan yang ribet, tinggal bungkus aja langsung buang jadi satu udah beres jadi lebih cepat bersihnya. hehehe...
BalasHapusAku jg sedang berusaha mulai memilah sampah di rumah nih. Kalau aku nantinya sampah yg udah dipilah dikasih ke Masjid sekolah buat sedekah. Jd ttp bs sedekah meski dgn sampah yg mau keliatan ga berguna.
BalasHapuskeren banget semangat kak Acha
BalasHapushiks, apalah aku yang bisa dibilang kurang perhatian sama urusan memilah sampah seperti ini, malah kalau dirumah yang milahin adalah tukang sampahnya, karena dia punya tujuan lain yaitu barang yang bisa diloakkan akan diloakkan sendiri sehingga menambah cuan mereka.
kalau dirumah tempat sampahku jadi satu kresek gitu mbak, ujung-ujungnya kadang dibongkar pemulung dan berantakan yang namanya tempat sampah, memangbikin kesel.
jadi udah ga pernah milah milah sampah, kadang sampah botol minuman sengaja kita ga buang, nunggu tukang loak tertentu lewat. Tapi ga selalu seperti ini
Saya sekarang sudah menyerah pilah sampah kak Acha.
BalasHapusDulu pas tinggal di Denpasar, saya pilah sampah, karena tuntutan lingkungan tempat tinggal saya.
Sekarang dah balik lagi ke Medan. Karena lingkungan sini tak pilah sampah, saya pun ikutan juga.
Kalau misal ada sampah atau pakaian bekas seperti fashion yang masih bagus tapi bingung mau digimanain bisa coba ikut Saling Silang kak di instagram. Nanti ikut grup yang bisa adopsi, beli, atau ambil barahg ka Acha
BalasHapusAku kapan hari sudah kepoin sih, Mba. Textile waste ini sih yang beneran PR banget dan bikin aku berubah jadi mengurangi beli produk fashion kalau cuma merasa produknya lucu tapi nggak bisa di-mix and match sama pakaianku yang lain di rumah. Makasih ya Kak udah menyarankan aku kepoin Saling Silang. Akan kulirik.
HapusDi rumahku juga sudah pilah-pilah sampah, karena ada bank sampah di dekat kompleks. Masalahnya bank sampahnya gak menerapkan aturan yang jelas soal seperti apa sampah yang bisa mereka terima. jadi bungkus makanan atau camilan tanpa dicuci pun tetap diterima.
BalasHapusPenerapan zero waste ini memang sangat menantang kak karena kita berhadapan dengan mindset orang. Apalagi gerakan pilah sampah masih menjadi sesuatu yg asing di Indonesia. Rasanya perlu dukungan dr pihak lain (pemerintah?), tidak cukup 'hanya' dengan menyediakan tempat sampah A, B, C tapi juga membetukan mindset yg kurang tepat, bahwa sampah kita adalah tanggung jawab kita.
BalasHapusSoal tas sponbound, wah PR baru lagi ya kaaa.. Butuh perasaan merasa cukup sih menurut saya.
Memang tidak mudah mengubah kebiasaan pada diri sendiri apalagi orang lain ya kan. Karena untuk berubah lebih baik itu banyak tantangannya dan tidak semua orang mau keluar dari zona nyaman. Yang penting Ka Acha sudah punya niat mau memilah-milah sampah, dan karena sistem pengelolaan sampah di negara kita belum diolah secara mendetail jadi kendalanya banyak sekali. Semangat! :)
BalasHapusPermasalahan sampah plastik ini bisa jadi permasalahan lingkungan yang tidak kunjung diselesaikan apabila pemerintah tidak lekas mengambil langkah konkrit yang nyata untuk mengatasinya. Seharusnya pemerintah bisa mengambil contoh Singapura dalam pengelolaan sampah, khususnya plastik, yang kemudian diolah menjadi sumber energi panas yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik, lalu hasil pembakarannya bisa digunakan sebagai abu dan dijadikan pulau
BalasHapusKa Achaaa... kisahnya insighful.
BalasHapusAku jadi tau cara mengelola sampah bungkus susu, misalnya.
Aku sediiih banget.
Di saat aku mulai diet tisu, pilah sampah (meski masi sangaaaattt sederhana), dan hal-hal yang sekiranya bisa aku pakai berulang tanpa berakhir di TPA, tapi sepupuku dengan bangga menunjukkan usahanya mengenai pengolahan kayu yang dimanfaatkan menjadi bahan bakar pengganti fossil.
Ya bener, menggantikan fossil, tapi karena keterbatasan limbah kayu, akhirnya menebang pohon juga.
Kok jadi pen nangiisss..
Pohon yang ditebang pasti usianya uda gak muda dan bermanfaat untuk menyeimbangkan lingkungan. Dengan keserakahan manusia, ditebang dan jadi gundul. Apa bisa diganti dengan pohon pisang?
Otakku seakan berenti karena mereka mengagungkan ide pikiran daripada adab terhadap lingkungan.
Maaf jadi panjang.
Aku sekaligus curhat. Pen nangiisss bangeett.. soalnya.
Duhaduh, kalau ujungnya sudah tututan pasar yang tinggi, jadinya kesulitan untuk direm deh kerannya. Kok aku ikutan sedih ya, Teh. Niat awal baik, tapi karena demand tinggi, ujungnya begitu.
HapusUrusan memilah sampah memang bisa jadi ribet dna banyak drama ya mba. Hehehe. Tapi, kalo kita pikiran, ini salah satu cara paling sederhana buat ngebantu lingkungan. Mungkin terasa malas karena butuh sedikit ekstra effort. Tapi, klo kita coba pelan-pelan, kayak latihan gitu, kita mulai dari yang kecil dulu sampai jadi kebiasaan, siapa tahu nanti bisa jadi kebiasaan asyik yang bisa bantu bumi kita.
BalasHapusWah keren banget sudah mulai pilah pilih barang tidak terpakai/sampah. Saya malah belum kepikiran.
BalasHapusSaya juga semangatnya on off untuk pilah pilah sampah. Ditempat saya nerima sampah kering, cuma banyakan hanya botol plastik dan kardus. Barang - barang lainnya masih belum nih kayaknya
BalasHapusAku juga sedang belajar slow fashiom sii kak Acha. Lagi demen mix n match yang ada di lemari. Dan alhamdulillah lebaran ngga beli baju yayy. Tapi anak2 ya tetep aja dibeliin mbahnya wkwkk. Masalah pilah sampah dari rumah emang masih jadi PR juga huhu.
BalasHapusNah, karena masih suka dibeliin juga sih yang akhirnya jadi tantangan lain. Huhuhu ..kitanya sudah mau ngerem, eh orang terdekat gas terus. Ya kan perjuangan banget jadinya ya, Mba.
Hapuskereeennnn udah milah sampah. aku masih agak susah milah sampah di rumah. karena org rumah masih blm merasa ingin dan bagi mereka repot huhu. palingan cuma kalo aku masak atau misahin plastik2 dan botol yg aku pake aja. oh ya, sampah skincare jugaaa aku pisah buat setor di Sociolla hihi
BalasHapusKalau sampah organik diolah jadi kompos, masih proses sih Kak. Tapi malah lebih mudah, tinggal kumpulin di ember bekas cat & dilapis-lapis mengikuti cara komposter. Nah, kalo anorganik belum sampai dicuci dulu. Paling dikumpulin jadi satu semua...Saya belum telaten nih...
BalasHapusSemoga bisa lebih rajin lagi deh...
Aku malah belum punya kesanggupan untuk mengolah yang organik nih, Mba Hani. Mba keren.
HapusCoba di setiap rumah punya kesadaran memilah sampah seperti kakak. Kan lingkungan jadi bersih deh. Ga bakalan ada banjir/wabah penyakit akibat kerusakan lingkungan. Yuk mulai dari diri kita sendiri dulu yuk. Baru sebarkan ke keluarga terdekat. Lama2 ntar jg masyarakat akan tahu sendiri. Semoga sih.
BalasHapusKalau hari libur saya luangkan waktu untuk memilah-milah sampah juga. Yaaa walau masih sebatas organik dan anorganik. Nyuci-nyuci plastik bekas kemasan juga. Lumayan buat hiburan hehe..
BalasHapusIni penting nih, kalau bukan dari rumah sampah bakal susah dipiliah. Selain itu juga bisa meringankan petugas sampah di pembuaangan akhir
BalasHapusAduh beneran sih ini bakal jadi drama banget karenaa aku tipe yang suka buang2 barang wkwkw sementarfa suami suka "nyimpen" barang dan ga betahan deh kalo ada barang menarik buat dia terus dibeli
BalasHapusMemang gak mudah ya, mengajak semua isi rumah melakukan pilah sampah. Pasti aja ada yang males hahaha
BalasHapusSalut deh dengan Kak Cha yang rajin dan terus memilah sampah di rumah
mengedukasi orang lain untuk memilah dan memilih sampah itu memang lumayan srtuggle, termasuk orang satu rumah, pasti banyak dramanya, dan hal ini perlu diberikan pemahaman kepada mereka mengenia pentingnya memilah dna memilih sampah sebelum dibuang
BalasHapusWah rajin sekali kak sampai bungkus susu aja dicuci bersih loh sebelum dibuang. Kalau aku ya buang aja. Gak pernah ngelipet sampah. Aiih jd malu sendiri
BalasHapusSayang sekali kak Acha .. memang untuk pilah sampah gak bisa kerjaan satu orang di rumah. Tapi memang untuk generasi baby boomers ini bikin sakit mata kalo kita ngumpulin barang begini. Mereka susah diajak bikin kebiasaan baru. Tapi kita bisa ajak anak di bawah kita.
BalasHapusMemang awalnya merepotkan. Tapi akhirnya mereka akan mengerti bahwa yang begini ni bisa menyelamatkan kehidupan banyak binatang yang terdzolimi akibat sampah kita yang mungkin masuk ke laut.
Apalagi plastik multi layer. Duh saya dengar dari pegiat bank sampah yang mengolahnya sendiri, itu sama sekali gak ada keuntungan ketika mereka mengolah. Cuma sebagai bentuk tanggungjawab saja kata mereka.
Banget. Susah luar biasa memang kalau memengaruhi generasi di atas kita tuh. Kadang mereka pun baru disampaikan paginya, eh sorenya sudah lalai lagi. Huhuhu ... sudah begitu kan karena usia lebih muda, agak bagaimanaa gitu ngingetinnya.
HapusBener banget, memang susah memulai hal yang belum mejadi kebiasaan. Aku juga merasakan saat pilah sampah di rumah ada aja kendalanya. Tetapi, tidak menyerah tetap berproses. Agar yang tidak biasa menjadi kebiasaan.
BalasHapusHaduhhh, PR ku juga nih. Sejak beberapa bulan lalu ada rencana untuk pilah sampah, nunggu suami libur. Eh suami libur, malah jadi keluyuran bareng, tertunda lagi deh pilah sampahnya. Bentar lagi sudah nabrak jadwal mudik, makin tertunda...
BalasHapus