Life of Pi : Pemuda yang Hidup Di Sekoci Bersama Harimau

Demi apa … butuh waktu lebih dari 3 bulan untuk saya menuntaskan membaca novel Life of Pi. Dimulai dari awal bulan Juni, dan baru berakhir di jelang pertengahan bulan September. Sebuah novel yang mengombang-ambing saya, persis kisah Pi Patel yang mengapung di tengah Samudra Pasifik selama 227 hari.

Alasan saya cukup lama menuntaskan novel pemenang The Man Booker Prize yang juga sudah diangkat ke layar lebar ini, sebab ceritanya yang sungguh menguras emosi. Saya mencicipi rasanya tertekan hidup sebatang kara dengan seekor Harimau Bengal di sekoci sempit. Belum lagi latar belakang dari Pi Patel yang membawa saya banyak berpikir.

Jujur saja. Lebih mudah mencerna buku ini melalui filmnya yang berdurasi kurang lebih 2 jam saja. Namun pengalaman Pi Patel terasa lebih hidup saat membaca novel yang ditulis oleh Yann Martel ini.

Life of Pi - Yann Martel

Profil Buku Life of Pi

Judul                     : Life of Pi (Kisah Pi)

Penulis                 : Yann Martel

Alih Bahasa         : Tanti Lesmana

Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan               : Kedelapan, Mei 2013

Tebal                     : 448 halaman

ISBN                      : 978-979-22-8900-8

Blurb Life of Pi

Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Canada. Pada tanggal 2 Juli, kapal itu tenggelam di Samudra Pasifik. Hanya satu sekoci berhasil diturunkan, membawa penumpang seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seeokar orangutan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kilogram, dan Pi – anak lelaki India berusia 16 tahun.

Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang-ambing di Samudra Pasifik yang biru dan ganas. Di samudra inilah sebagian Kisah Pi berlangsung, Kisah yang luar biasa penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan.

Life of Pi Sudah Difilmkan

Dulu sekali, ketika film Life of Pi banyak dibicarakan, saya sudah memendam rasa penasaran. Ketika tahu kalau filmnya diangkat dari sebuah novel yang berdasarkan kisah nyata, saya putuskan untuk menunda menonton, sebab ingin membaca dulu bukunya.

Bayangkan! Bagaimana rasanya takdir membawamu terjebak dalam sebuah sekoci di tengah Samudra Pasifik, berbulan-bulan, bersama seekor hewan karnivora yang dari segi kekuatan, tentu bisa mengalahkanmu. Aduh … Ka Acha sudah merinding bulu roma duluan.

Saya paham betul, bagaimana bahasa dari sebuah buku yang mengajak pembacanya berimajinasi sedemikian luas, akan lekas berubah saat kisah di dalam buku tadi dialihwahanakan. Bukankah bahasa film memang mengubah imajinasi liar pembaca, menjadi terbungkus dalam segala sajian visual audio di layar?

Sesuatu yang kadang bikin pembaca banyak mau macam Ka Acha, jadi sedikit kecewa. Serupa saat saya dulu sekali menonton film Antologi Rasa. Padahal bukunya begitu saya gilai. Tapi Life of Pi ini paket lengkap sih. Kalau baca bukunya, wajib nonton filmnya.

Saat buku Life of Pi baru saya beli – ya, seperti biasa, saya beli lewat jastip langsung dari gudang buku jadi bisa dapat harga enak di kantong karena sedang cuci gudang dan masuk kategori buku lama – saya pernah mencoba membacanya. Sayang, macet di tengah jalan.

Kini setelah saya berhasil menamatkannya dalam hitungan bulan, saya paham kenapa waktu itu saya menjeda kemudian lupa. Soalnya Life of Pi butuh ketenangan ekstra jika ingin meresapi dan mencerna tiap babnya dengan baik. Iya deh iya, Ka Acha kan pembaca lambat makanya waktu menyelesaikannya jauh lebih panjang dari orang kebanyakan.

Pi Patel Si Anak yang Mempertanyakan Tuhan

Novel Life of Pi mengenalkan saya pada seorang anak bernama Piscine Molitor Patel yang besar di Pondicherry. Sebuah wilayah di India yang merupakan ibukota dari Tamil Nadu. Wilayah yang kehidupan masyarakatnya banyak terpengaruh budaya Prancis.

Pi adalah anak bungsu dari keluarga Patel yang hidup dari mengelola sebuah kebun binatang. Anak yang sedari kecil sudah dikenalkan pada air laut dan kolam renang oleh Mamaji. Mari sebut saja kalau Mamaji ini adalah pamannya Pi.

Bahkan, nama lengkapnya pun diambil dari nama sebuah kolam renang ternama di benua Eropa tepatnya di Paris, Piscine Molitor. Nama yang merupakan saran dari Mamaji, kemudian langsung disetujui oleh ayahnya Pi.

Besar di sebuah kebun binatang yang menjadi halaman depan dari rumah masa kecilnya di Pondicherry, mengajak Pi Patel muda banyak belajar mengenai pemahaman atas alam semesta. Tentang betapa hewan itu makhluk yang cantik lagi istimewa. Namun tak sepenuhnya aman untuk dijadikan teman bagi manusia.

sifat manusa di buku life of pi

Ibunya Pi Patel ini beragama Hindu, Keluarganya pun bisa disebut begitu. Namun kedua orangtuanya kebih banyak berpikir secara modern. Jadi, Hindu merupakan agama yang dianut Pi Patel karena keturunan.

Tentu, Pi Patel hingga dewasa, masih setia melakukan puja. Namun di sisi lain, ia pun membaca Al-kitab dan mengimani Yesus. Di waktu bersamaan, ia shalat selayaknya seorang muslim dan berdoa pada Allah SWT.

Ribet banget nggak tuh? Hhh … tapi cuma di filmnya saja nih, saya menemukan tambahan ajaran baru yang Pi Patel percaya, yaitu Yahudi. Padahal di novelnya, saya nggak menemukannya. Kalau kamu jumpa, kabari Ka Acha ada di halaman berapa ya.

Sepanjang membaca novel Life of Pi seri terjemahan bahasa Indonesia ini, saya sebagai muslim, berkali-kali sepakat dengan pemikiran Pi yang mempertanyakan soal pemahaman Kristen yang jelas terjawab logis dalam pemahaman Islam. Pun ragam dewa Hindu yang ternyata ada banyak sekali.

Pi Patel sering mempertanyakan kebenaran. Lebih tepatnya, mengenai alam semesta. Hal yang kemudian makin menguatkan jiwanya untuk percaya kalau Tuhan Maha Segala selepas jadi satu-satunya penumpang selamat dalam tragedi tenggelamnya kapal Tsimtsum di Samudta Pasifik.

Kisah Pi yang Bertahan Hidup Bersama Harimau Royal Bengal Di Atas Sekoci

Bisa kamu bayangkan bagaimana beratnya jalani hari di tengah lautan lepas? Ka Acha yang hanya paham rasanya naik kapal jalur Lembar - Pototano begini, terpikir kalau kesehariannya pasti berat.

Apalagi kan, saya sebelumnya pernah mendapati kisah serupa di novel Weeping Under This Same Moon yang menceritakan tentang manusia perahu. Ada bagian cerita yang cukup menaikkan ketakukan saya. Seseorang yang memilih bundir dengan nyemplung ke laut lepas akibat tak tahan sama beratnya hidup.

Pada akhir cerita, saya mensyukuri kalau tokoh Pi dalam Life of Pi ini menjalani harinya di sekoci bersama beberapa ekor hewan, kemudian berakhir jadi berdua saja dengan harimau yang diberi nama Richard Parker. Kalau sendirian saja, mungkin tak akan ada kisah yang Yann Martel tuliskan, bukan?

quote adaptasi makhluk hidup

Dari Life of Pi juga, saya menyadari kalau ilmu pengetahuan manusia, belum sanggup sepenuhnya mempelajari alam semesta. Bahkan soal lautan. Misteri yang tersembunyi terlalu tebal. Hanya setitik saja yang manusia ketahui.

Tak pernah sampai ke imajinasi saya kalau di tengah samudra sana, ada ratusan ribu ganggang hijau yang bersatu dan mengapung mencipta sebuah pulau. Kemudian di pulau tadi, dihuni hewan meerkat jinak. Kemudian, pulau yang tadinya aman dan ramah pada Pi di pagi hingga sore hari, berubah ganas selepas malam bertandang. Demi apa, Ka Acha belum sanggup memahami sampai sini.

Penggambaran detail pulau apung dari ganggang hijau yang digambarkan di dalam bukunya, lebih gila dibanding apa yang tampil di filmnya. Ka Acha paham kok sama tuntutan durasi. Makanya, saya saranin, akan lebih seru kalau kamu baca buku Life of Pi dulu sebelum memutuskan mencari filmnya di platform streaming legal.

Ah ya … di buku Kisah Pi ini juga ada tokoh gurunya Pi Patel yang nggak percaya keberadaan Tuhan sama sekali alias agnostik. Hal apapun, asumsinya pakai logika. Sesuatu yang segera terpatahkan oleh Pi Patel ketika ia hidup setengah sekarat dan hanya mengandalkan keyakinannya pada Sang Pencipta. Benar-benar novel yang nabok pembaca.

Apa cukup sampai di situ saja? Belum, gengs.

Intinya, selepas membaca beberapa halaman pada bagian yang menceritakan Pi di tengah lautan, saya lekas tepekur. Betapa laut adalah wilayah yang luar biasa.

Badai datang dan mengamuk hingga mengancam nyawa Pi dan Richard Parker. Sulitnya mendapat makanan. Matahari yang ganas dan langit malam yang gulita sempurna. Belum lagi pertemuan dengan manusia lain yang ternyata ingin menyantap Pi dengan alasan kedaruratan dan butuh bertahan hidup alias berniat kanibal. Hhh … saya yang memang gampang mengimajinasikan bacaan ini, hampir mau menyerah.

Ngeri. Mungkin ini juga alasan Ka Acha lama sekali baru sukses menamatkan Life of Pi, ya. Worth banget buat kamu baca juga.

Dalam bukunya pun ada kisah bagaimana Yann Martel akhirnya bisa berjumpa langsung dengan Piscine Molitor Patel ini. Secuplik perjalanan seorang penulis yang mencari bahan cerita, namun terkendala dana riset. Eh, tahunya, malah berjumpa dengan narasumber yang membawa karyanya laku dibaca dimana-mana. Masih belum percaya juga sama takdir yang Maha Kuasa?

Akhir kata, Life of Pi juga jadi buku yang layak kamu koleksi sih. Buat Ka Acha ya. Kalau buatmu, bagaimana?

Komentar