Pamor Bukit Gantole Puncak sebagai destinasi wisata paralayang yang lokasinya nggak jauh-jauh amat dari Jakarta, sudah lama tersohor. Apalagi kan, kawasan Puncak Bogor, mahsyur sebagai daerah tujuan vakansai warga Jabodetabek kalau mau cari suasana sejuk khas pegunungan.
Sayangnya, banyak sudah pengalaman nggak menyenangkan yang Ka Acha alami, setiap kali liburan keluarga ke Puncak Bogor. Apalagi, seringnya pilihan waktu liburan yang jatuhnya di akhir pekan, membuat saya tahu betul kalau selalu ada risiko terjebak macet panjang yang sungguh menjemukan.
Mungkin ... sudah jadi pengetahuan hampir semua orang juga yang tinggalnya nggak jauh dari kawasan Puncak. Bila ingin pelesiran lihat kebun teh, naik kendaraan roda dua saja. Kalau mau beneran icip sensasi liburan khas Puncak Bogor, ambil cuti di hari kerja saja.
Memang sih, ada sistem buka tutup jalan yang diberlakukan. Tapi, tetap, ada masa-masa harus duduk diam di dalam mobil dalam waktu cukup lama sembari memperhatikan sekitaran, dan berdiam saja terus di jalan yang sama bermenit lamanya. Mau bilang, "nggak lagi deh", selalu ada momen saya balik lagi ke area wisata Bogor satu ini, ujung-ujungnya.
Berkunjung Ke Wisata Paralayang Di Puncak Bogor
Pada suatu malam, selepas menyelesaikan pekerjaan, obrolan dengan Mas Partner membawa saya menelusuri internet, mengulik kata kunci Bukit Paralayang Bogor. Sejauh pemahaman saya, lokasi terbang dengan parasut begini, namanya ya Bukit Gantole Puncak.
Dulu sekali, semasa bersekolah, beberapa teman saya sudah pernah membicarakan destinasi wisata Bogor satu ini. Hanya saja, saya nggak tertarik sebab harga yang harus saya bayarkan untuk sekali terbang, cukup lumayan bagi remaja yang beli buku di toko buku saja sudah susah, di jaman itu.
Poin lainnya, saya bukan gadis yang suka main-main sama adrenalin sendiri. Takut banget. Jadi saya sadar diri untuk nggak mengajukan diri dan bilang "ayok!" ke beberapa teman yang sempat mengajak.
Benar saja, lokasi yang dimaksud adalah tempat main paralayang yang itu. Destinasi yang bertahun lalu saya hindari.
Teuteup ngawasin Geng Bocil soalnya cukup riskan kalo lari-larian di lokasi kek begini |
Bahasan soal Bukit Gantole Puncak bermula dari adik bungsu cantiknya Mas Partner yang ingin menjajal sensasi terbang di udara. Berhubung minta ditemani sekeluarga -- lumayan kan, kita semua bisa sekalian jalan-jalan juga -- tentu saya lekas mengiyakan dan bersiap ikut serta.
Hingga di suatu pagi di hari Minggu, matahari belum lama menyapa. Saya dan keluarga sudah duduk manis di dalam mobil yang dikemudikan oleh Datuk -- papa mertua Ka Acha. Dengan kecepatan sedang, mobil menjelajah naik menuju area Puncak. Jalanan terpantau ramai lancar sejak di simpang Gadog.
Saya tentu saja gembira. Perkiraan saya, sebab akhir pekan kala itu juga bukan musim liburan, ditambah kami ke sana pagi sekali, macet nggak akan menyapa di perjalanan. Lancar jaya sampai tujuan.
Dari Cibinong, perjalanan pagi itu hanya butuh waktu kurang dari 1 jam saja untuk tiba di wilayah dekat Gunung Mas Puncak. Tak jauh dari Masjid Atta'awun Puncak yang sama terkenalnya, lokasi paralayang ini berada.
Jalan raya nampak ramai namaun lengang di beberapa ruas jalan. Mobil bisa melaju ngebut sesekali. Ditambah pemandangan hijau kebun teh yang baru saja diterpa cahaya matahari pagi. Luar biasa memanjakan mata.
Apa Saja yang Bisa Dinikmati Di Bukit Gantole Puncak?
Jam di ponsel saya baru menunjukkan pukul 6 pagi lewat sedikit. Rupanya, loket tiket masuk area Bukit Gantole Puncak Bogor belum dibuka. Iya, belum ada petugas yang berjaga.
Setelah adik kami -- adik bungsu dari Mas Parner saya -- turun dari mobil dan bertanya pada orang sekitar yang kebetulan lewat, kami dipersilakan masuk dengan membayar tarif tembak agar bisa parkir. Hal pertama yang mampir ke pikiran Ka Acha, "mungkin memang boleh begitu ya, karena belum jam buka juga nih kami datangnya".
Sisi kurang asiknya sih, kendaran kami jadi nggak dapat tiket sebagai bukti masuk ke area wisata paralayang ini saja. Kalau diingat lagi saat menuliskan cerita perjalanan ini sih, riskan juga ya. Kami kala itu berani saja ambil risiko.
Untuk nominal yang diminta dan diberikan, mohon maaf, saya kurang ingat berapa jumlahnya. Tapi nggak begitu memberatkan sih ya, terutama bagi yang mau menjajal nyali dengan terbang di udara dan melihat kawasan Cisarua, Puncak, dari atas sekitar 20 menitan.
Ketika mobil milik Datuk akhirnya terparkir tenang di sebuah sudut parkiran yang masih sepi, kami semua memilih turun. Udara sejuk khas Puncak, menerpa wajah saya. Pandangan Ka Acha pun lekas tertuju pada hamparan hijau dan jejeran pepohonan yang menyembunyikan rupa bulat mungil dari matahari yang perlahan meninggi.
Di area parkiran ini, terdapat sebuah toilet di sudut dekat pintu masuk dengan penanda yang cukup mudah ditemukan. Sementara di area seberangnya, jejeran tempat kulineran siap menunggu calon pembeli datang. Berbagai menu tersedia, mulai dari mie instan, mie ayam bakso, seblak, batagor, otak-otak, hingga jagung bakar.
Namun selayaknya jalan-jalan bersama orang tua, Bundo sudah siap sedia dengan menu bekal sarapannya. Alhamdulillah.
Sarapan tipis-tipis, kami lanjut mendaki anak tangga menuju ke Bukit Gantole Puncak, tempat para pengunjung yang menyengaja datang untuk terbang, biasanya menunggu. Di sekitar tangga naik pun tersedia beberapa warung makan juga.
Ada beberapa spot foto yang mengundang kami untuk bergiliran berpose. Bukankah belum afdol disebut jalan-jalan kalau nggak ada potret yang dijepret di lokasi wisata?
Hingga sebuah tangga naik yang lebih pendek, menjadi akhir petualangan super duper singkat -- tapi lama soalnya kebanyakan berhenti buat foto-fotonya -- kami sekeluarga untuk menjangkau puncak bukit yang menjadi lokasi take off.
Sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sudah lebih dulu datang untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Lagi dan lagi, belum ada petugas yang berjaga.
Sebuah warung mungil yang jadi tempat makan satu-satunya di atas yang sudah buka. Hasil penelusuran Ka Acha di dunia maya sih, harga makanan di sini cukup menguras kantong untuk porsi yang nggak terlalu banyak. Oke ... skip lagi kalau begitu.
Terbang Bersama Angin Di Atas Puncak Bogor dengan Paralayang
Adik cantik kami kala itu rupanya sudah janjian dengan dua orang temannya yang kemudian datang menyusul menggunakan sepeda motor. Pilihan tepat, sebab kemacetan di Puncak Bogor sering nggak bisa diprediksi di hari Sabtu dan Minggu.
Mereka bertiga kemudian mendaftarkan diri -- daftar ulang sebenarnya, karena sebelumnya sudah reservasi -- ke petugas paralayang Bukit Gantole Puncak. Selepas itu, ketiganya pun mengantre, menunggu giliran terbang dengan ditemani seorang pilot yang akan duduk di bagian belakang.
Salah satu teman dari adik cantik kami, mendapat giliran kedua. Sementara adik cantik kami menyusul paling akhir.
Keputusan tepat, sebab fotografer di Bukit Gantole Puncak menghampiri dan mengajak kami sekeluarga berpose bersama dulu sebelum si adik cantik kami lepas landas bersama parasutnya. Eh, nggak tahunya, saat mau cetak foto dan transfer foto-fotonya ke ponsel, dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 untuk satu foto. By the way, ini harga di 2024 ya.
Menurut cerita si adik cantik yang memang menjadi pencetus liburan singkat kami sekeluarga mengunjungi Bukit Gantole Puncak Bogor hari itu, rasanya saat berada di atas tuh seru. Angin menampar wajah berkali-kali, membuatnya berjuang untuk tetap tersenyum lebar di kamera. Padahal, beuh ... perjuangan juga. 😄
Kalau manyun atau "muka jelek" kan sayang ya. Sudah biaya terbangnya lumayan -- melewati angka 700 ribuan sekali terbang --, cuma itu pula kesempatan take video pake GoPro di udara yang kalau mau diulang kan harus bayar lagi.
Sangat nggak disarankan untuk mengantongi kamera sendiri sih, sebenarnya. Mengurangi risiko rugi karena ada saja kemungkinan ponsel jatuh saat terbang. Terutama bagi pemula atau yang memang menjajal paralayang niatnya buat sekali seumur hidup saja.
Its ok, ini jadi pengalaman berharga buat si adik cantik kami ini ke depannya. Sesekali, mumpung masih muda, jajal wahana pemacu adrenalin ala paralayang di Bukit Gantole.
Penerbangan singkat itu, membawanya mendarat di area sekitaran Gunung Mas Puncak, katanya. Dari sana, ada kendaraan yang disediakan untuk kembali ke Bukit Gantole Puncak alias balik ke tempat semula.
Sementara si adik cantik menjadi penjelajah udara dadakan, saya tentu menikmati momen memotret di sekitaran. Memang Ka Acha ini punya kesenangan tersendiri kalau jumpa dengan bebungaan. Persis Mama banget, menurut cerita Pak Prof.
Maknanya, kalau di bawa traveling ke area perbukitan, saya paling gampang disenangkan. Cukup diberi kesempatan untuk memperhatikan sekitaran sembari memainkan kamera ponsel saja, sudah auto riang, Apalagi, kalau sepajang memotret, saya bisa dapat cerita, seperti waktu saya memotret bunga di tepi jalan Ponorogo, dulu sekali.
Pulang dari Bukit Gantole Puncak, Eh ... Terjebak Macet Panjang
Kegiatan terbang dengan paralayang si adik cantik kami, usai sekitar pukul 11 pagi. Itu pun kami sebelumnya sudah melakukan banyak kegiatan sampingan lainnya sebelum memutuskan untuk kembali turun bukit -- balik ke Cibinong, maksudnya 😅.
Mengingat hari itu hari Minggu, sistem buka tutup jalan dari dan ke Puncak Bogor tentu saja tengah diberlakukan. Kendaraan pun kelihatan berjalan pelan dari area parkir tempat kami menunggu.
Kami semua memperkirakan, kami akan tiba di rumah sebelum waktu Ashar. Toh, kami kan turunya sebelum Dzuhur. Bahkan sempat kami berencana untuk mampir ke lokasi wisata lain yang nggak begitu jauh, demi menyenangkan Geng Bocil. Lokasi jalan-jalan selanjutnya pun sudah dipilih dan disepakati secara dadakan hari itu.
Sayangnya, begitulah keadaan jalan raya Puncak Bogor di akhir pekan. Nggak bisa diprediksi, padahal sedang bukan musim liburan.
Belum jauh meninggalkan area parkit Bukit Gantole Puncak, mobil yang dikemudikan Datuk, menyiput bersama kendaraan roda empat lainnya. Pandangan Ka Acha yang duduk persis di belakang Datuk, tertuju para paralayang yang wara-wiri di langit di sisi kanan saya.
Langit perlahan mendung. Namun rupanya hujan sedang nggak berniat untuk turun. Udara panas dari luar ketika jendela mobil dibuka, menyerang ganas.
Hhh ... Puncak Bogor memang sudah banyak berubah ya. Pembangunannya kelewat masif hingga daerah resapan dan area hijau berkurang drastis. Jadi teringat kalau beberapa tahun lalu, Puncak Bogor pernah dilanda banjir, dari berita yang saya lihat tanpa sengaja di linimasa. Kalau kamu tahu cerita itu, sila sampaikan di kolom komentar ya.
Perjalanan Ka Acha ke Kebun Raya Cibodas bertahun lalu saja, pernah membuat saya dan Om Ayip yang menemani kala itu, sampai naik turun kendaraan diselingi jalan kaki padahal hari sudah jelang malam, saat berniat pulang. Macet saat akhir pekan di kawasan Puncak Bogor seolah sudah jadi keharusan.
Mundur lagi ke masa sekolah saya sekitar tahun 2010 ke bawah, macet di Puncak Bogor pernah buat saya gagal masuk sekolah di hari Senin, padahal Pak Prof membawa kami keluar dari penginapan di area Gunung Mas Puncak pukul 2 siang. Namun kami sampai rumah kami di Bogor hampir jam 8 pagi alias kami menginap di mobil yang stuck diam di tempat sepanjang malam.
Bayangkan saja lelahnya. Ya Allah, terkenang seumur hidup deh tuh pengalaman terjebak macet di Puncak Bogor.
Mungkin kemacetan di kawasan Puncak Bogor juga jadi musabab dari keputusan keluarga besar Ka Acha kalau sedang punya niat untuk kumpul keluarga sambil jalan-jalan, mulai beralih ke area Cijeruk. Seperti beberapa waktu lalu, ketika Ka Acha menginap di camping ground Balakosa Mountain Adventure.
Kemudian, di hari kami sekeluarga mengunjungi Bukit Gantole Puncak Bogor hari itu, kami ertahan sepanjang 6 jam pejalanan hingga tiba kembali ke kediaman kami di Cibinong. Segala drama nggak nyaman dan rewel dari Geng Bocil, tumpah ruah bikin perjalanan nggak lagi terasa menyenangkan sepanjang jalan pulang.
Jadi nih dears, saran Ka Acha, kalau mau mau menikmati wisata ke Puncak, pilihlah hari kerja dan naiklah kendaraan roda dua ya. Hhh ... semoga wisata di sekitaran Bukit Gantole Puncak tetap diminati, namun diperbaiki segala rupanya. Ah ya, saya mendapati ada petugas jaga di sana yang buang sampah di area bebungaan di tempat parkirnya. So sad. Duh ... jangan lagi, please.
Komentar
Posting Komentar