Novel Playing Victim Hadirkan Sebuah Permainan Mengerikan di Media Sosial dari Tiga Orang Gadis

Hey, Victim! Wanna play?

Sungguh ajakan bermain yang mengerikan. Demi apa, sepanjang membaca novel Playing Victim karya Eva Sri Rahayu, nggak habis-habis saya dibuat ternganga dengan segala rupa kegilaan ketiga tokoh utamanya. 

Sebegitu out of box tindakan mereka semua yang menghamba pada sebuah popularitas di media sosial. Demi viral, demi jumlah follower yang melimpah, mereka mengorbankan kewarasan. And of course, ketiga karakter utamanya benar-benar nggak waras. Ckckck ....

novel Playing Victim - Eva Sri Rahayu

Profil Novel Playing Victim

Judul                : Playing Victim

Penulis            : Eva Sri Rahayu

Penerbit          : Noura Books

Cetakan           : Pertama, Juni 2019

e-Book             : Rakata 

Tayang            : 27 Juli 2020

Tebal                : 400 halaman (29 bab)

ISBN                 : 978-602-385-888-0

Blurb dari Novel Playing Victim karya Eva Sri Rahayu

Berpura-pura menjadi korban, viral, dan musuh tersingkirkan. Tiga sahabat mencecap ketenaran dan terhanyut di dalamnya. Yang perlu mereka lakukan hanya mengunggah sesuatu di media sosial dan mendapatkan simpati netizen.

Intensitas permainan semakin tak terbendung. Menjadi korban kekerasan, dibuntuti penguntit, hingga disiksa orangtua sendiri. Skenario diperankan dan saat plot mencapai puncak, mereka menyadari satu hal: netizen menginginkan sesuatu yang dramatis. Akhir yang tragis.

Untuk menjadi yang terbaik, beranikah mereka menghalalkan segala cara? Bahkan berkorban nyawa?

Jebakan Social Media Anxiety Disorder pada Ketiga Tokoh Utamanya

Sampai di bab 18, Ka Acha makin intens merasakan momen speechless yang ampun-ampunan. Apa benar Afreen, Calya, dan Isvara, hanya berniat main-main saja? Permainan macam apa yang mengacaukan ketenangan hidup dan mengubah sosok ketiganya menjadi persis monster berwajah cantik?

Segalanya bermula dari rasa nggak suka mereka -- terutama Isvara -- pada Bu Rina, guru olahraga di sekolah mereka. Perasaan yang mencuatkan ide untuk menyingkirkan sang guru dari kehidupan SMA mereka yang tenang.

Berhasil? Tentu saja.

Cukup memainkan sebuah drama secara serius, menjadikan momen klimaks drama tadi sebagai tontonan di media sosial hingga viral, dan bummm ... karir Bu Rina sebagai tenaga pengajar, tamat sudah. Brilian, ya kan?

Isvara, Calya, dan Afreen, ketiga sahabat yang kompak tadi, sukses besar. Bukan hanya Bu Rina yang dibuat tenggelam, melainkan juga tantangan untuk naik level dari permainan yang mereka buat, seiring kehidupan mereka yang berubah dari pelajar menjadi mahasiswi.

Apakah itu? Endorsement.

Dengan dikenalnya nama Calya yang cantik dan Afreen yang berbakat di kancah media sosial, keduanya menanjak pelan namun pasti sebagai influencer. Tentunya, dengan personal branding masing-masing.

Namun, di sudut yang lain, Isvara yang merasa kalau segalanya bermula dari ide jeniusnya, namun kedua temannyalah yang dilirik brand-brand untuk turut menjadi pendengung, ia iri. Sakit hatinya menyadari kalau hanya Calya dan Afreen saja yang disinari lampu panggung, sementara dirinya dibiarkan menghuni sudut gelap sendirian.

Cemas berlebihan. Itulah yang terjadi pada Isvara. Pun rupanya, merasuk juga ke dalam pemikiran Calya, dan tentu saja Afreen juga.

Social media anxiety disorder bermakna suatu kecemasan yang ditimbulkan oleh perasaan ingin diperhatikan di lingkup dunia media sosial. Perasaan yang menciptakan suatu dorongan bagi seseorang untuk membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang tersaji melalui media sosial tadi.

Melansir dari artikel di Kayross Consulting, ada beberapa poin yang bisa menunjukkan, apakah seseorang mulai terserang social media anxiety disorder atau bukan, yaitu:

  • Tak bisa lepas apalagi berjauhan dengan ponsel. Dalam hal ini sih, Ka Acha menangkapnya sebagai perasaan nggak bisa memberi jarak untuk terhubung dengan dunia internet walau hanya sebentar saja.
  • Ketika mengunggah konten di media sosial, selanjutnya akan berkali-kali memeriksanya lagi demi mengetahui sudah seberapa banyak orang yang melihat, like yang didapat, komentar yang diterima, bahkan berapa kali post tadi dibagikan, bahkan selama berjam-jam setelah posting. Kemudian, bila hasilnya ternyata nggak memuaskan, kamu akan merasa cemas atau sedih. Bertanya-tanya, apa yang salah atau kurang dari konten yang kamu sajikan.
  • Senang memeriksa jumlah follower di akunmu, lalu membandingkannya dengan pengikut yang mengikuti akun teman-temanmu. Ujungnya, kamu bisa kesal kalau jumlah pengikutmu nggak memenuhi standar yang kamu tetapkan atau inginkan.
  • Terbiasa tenggelam dengan kesibukan di media sosial bahkan saat kumul keluarga, bersama teman, dan lainnya.

Poinnya sih, kalau Ka Acha telaah ya, Dears ... jadinya tuh, individu yang terlewat aktif di media sosial mwmiliki kemungkinan besar yang dapat membuat seseorang tadi terganggu dalam kehidupan sosialnya. Artinya, fungsinya sebagai makhluk sosial dengan orang-orang yang nyata ada di sekitarnya jadi terganggu.

Orang-orang yang seperti ini kok rasanya nyata ada ya, Dears. Wajar bila sekarang tuh, ada ajakan yang menyuarakan untuk kita mulai bijak memanfaatkan media sosial yang dipunya.

Novel Playing Victim Pamer Sisi Kelam dari Keinginan untuk Jadi Pusat Perhatian

Sepanjang menjelajahi bab demi bab dari novel Playing Victim karya Eva Sri Rahayu ini melalui aplikasi Rakata, Ka Acha bergumam beberapa kali. "Duh, pikiran perempuan terkadang bisa buat orang lain bergidik ngeri sebegininya ya."

Gumaman serupa yang meluncur dari pikiran Ka Acha ketika menikmati sensasi tegang dalam novel Girls in the Dark. Memangnya ada apa sih sama pikirannya para oknum perempuan? Kenapa senang sekali jadi pusat perhatian, kemudian menyengaja bikin perkara biar semua mata tertuju sama dirinya?

Saya menyaksikan sendiri bagaimana sosial media itu bak pedang bermata dua dalam novel bergenre urban thriller satu ini. Sudah begitu, ketiga karakter utamanya memang "sakit" sih. Buktinya saja ... umm, kamu baca sendiri sampai tuntas kalau penasaran bagaimana jalinan ceritanya ya. 

Sepanjang membaca, seperti biasa ya, Ka Acha si penyuka romance dan gampang meleyot ini, berhasil menikmati novel Playing Victim dengan perasaan gembira sesekali. Ada satu tokoh yang green flag buat saya. Uwww ... naksir ish ish ish.

Sosoknya berhasil mengeplak kepala salah satu karakter utamanya -- sebut saja Calya soalnya memang sudah terbuka juga di kutipan kalimatnya ya -- dengan lembut, manis, tapi merasuk sampai ke hati. Walaupun lama ya, nggak serta-merta mengubah sikap si Calya jadi berubah waras. 

Sisi kelam dari seseorang untuk jadi pusat perhatian itu jugalah yang membawa saya memotret tampilan e-book Playing Victim karya Eva Sri Rahayu ini dengan memunculkan garpu dan pisau makan. Di balik tampilan cantik nan estetik, bisa saja kan, ternyata isi kepalanya "sakit"?

Sebab jelas tergambar kalau dunia media sosial itu bisa sebegitu mengerikan, karena bisa jadi ada saja orang-orang yang sengaja menjadikan berbagai konten dan branding yang sengaja dibangun untuk sebuah "permainan menyenangkan". Demi tenar, demi uang, demi kenyamanan dan kemudahan, bisa jadi ya kan?

Tuh kan, sekarang Ka Acha jadi kepikiran demikian semenjak menamatkan novel Playing VVictim karya Eva Sri Rahayu. Apa kamu sudah baca novel ini juga?



Komentar