Jonkira Ramen Halal di Depok dan Kuah Kaldu Ramennya yang Jago Bikin Kangen

Segala yang Berubah Ketika Belajar Tentang Menu Halal

Ketika sebuah ide fiksi muncul di kepala, lalu saya mulai riset, seketika itu pula saya disedot semesta untuk belajar tentang menu halal. Segalanya berubah dalam hidup saya. Ka Acha yang dulu gampang diajak wisata kulineran, mendadak jadi si picky eater.

Sudah lama sekali saya undur diri dari banyak kegiatan food reviewer ala ala. Bila diingat lebih jauh, hanya sebuah roti terkenal nan selalu muncul di rak-rak supermarket yang kala itu mengeluarkan varian baru, menjadi campaign makanan terdekat yang bekerjasama dengan saya. Di bulan ini, tepat setahun sudah.

halal food for halal lifestyle

Anggap saja, kalau Ka Acha ini banyak menahan diri untuk mengambil peluang yang sebenarnya tersaji di hadapan saya. Si paling pilih-pilih sekali. Boleh kok ... silakan saja kalau kamu pun bergumam tentang Ka Acha yang memilih bersikap demikian. 

Awal Mula Memilih Mengatur Jarak dari Banyak Campaign Brand Makanan dan Minuman untuk Akun Personal

Segalanya bermula dari sebuah riset yang saya lakukan. Mendapati kehebohan di media sosial kala itu mengenai standarisasi halal dari suatu brand tempat makan, berlanjut tentang pengetahuan baru bahwa no pork no lard no alcohol nggak sepenuhnya jadi jaminan aman konsumsi bagi muslim dan muslimah, hingga semuanya berubah menjadi perjalanan yang panjang bagi saya.

Hampir tiga tahun lalu, saya menulis sebuah novela berjudul Hilal Halal Ifthar sebagai karya fiksi yang tayang di platform Rakata, bersama beberapa karya dari penulis lainnya. Dari judulnya, kelihatan jelas kan, tema apa yang Ka Acha angkat di sana?

Tanpa saya sadari lebih lanjut, rupanya itulah gerbang yang mengubah banyak keputusan dalam hidup saya selaku muslimah, sekarang. Terutama, dalam memilih pekerjaan yang bersinggungan dengan makanan dan minuman.

Sekarang saya gentar tiap kali mau menjajal tempat makan baru dan belum pasang logo halal MUI. Bahkan sebelum menerima ajakan kumpul bersama untuk makan-makan pun, kepala saya lekas mempertimbangkan banyak poin. Termasuk, bila ada informasi lowongan campaign bertema promo tempat makan yang baru buka, saya nggak selalu tergerak untuk mendaftarkan diri.

Alasannya? Kepala saya lekas disambangi pertanyaan, "apakah tempat makan ini sudah tersertifikasi halal? Apakah halal karena self claim atau memang sudah halal MUI?"

Sementara, segalanya tentu berkejaran dengan waktu. Siapa cepat, dia dapat. Siapa aktif dan tepat, dia yang tentu diarik untuk merapat.

Sedih? Nggak. Diam-diam saya malah mensyukurinya.

Benak saya selalu menghibur dengan perasaan, kalau bisa jadi, apa yang nggak saya cicipi hari ini, nggak saya promosikan, atau saya nggak jadi bagian dari orang-orang yang riuh memperbincangkan, kelak menyelamatkan saya entah dari apa. Sesederhana, memang bukan rezeki saya di sana.

Sesuatu yang nggak berkah, nggak akan jadi darah. Ah ... ini quote dari novel Dompet Ayah Sepatu Ibu karya JS Khairen yang tengah saya baca.

Penguat saya untuk tetap bertahan dan belajar lebih jauh hingga kini, ada banyak. Termasuk dari beberapa influencer halal tanah air yang gencar menyuarakan seberapa pentingnya para pebisnis makanan dan minuman untuk bersikap jujur pada konsumennya. Apalagi kan, Indonesia ini negara mayoritas muslim yang sayang sekali, ternyata belum banyak yang memahami bahwa yang haram bukan hanya daging babi.

Banyak cerita yang sukses membuat saya bergidik, padahal proses riset saya untuk novela halal romance tersebut sudah usai. Cerita yang merasuk ke hati dan banyak menahan saya untuk nggak mudah jatuh hati pada tempat makan baru, termasuk menahan langkah saya tiap kali kangen wisata kuliner "asal pilih asal tempatnya ramai pengunjung" lagi. 

novel halal romance

Cerita Soal Pemahaman Halal Nan Harus Lebih Banyak Disuarakan Lagi di Indonesia

Seorang influencer yang jadi sumber riset Ka Acha, berkisah tentang dirinya yang di-bully banyak netizen di kota asalnya, karena membongkar keberadaan penjual nasi goreng legend di kotanya yang rupanya menggunakan bahan nggak halal. Padahal, konsumennya banyak yang muslim. Pembeli berhijab yang mampir pun, nggak ditegur atau diberitahu.

Saat itu, memperhatikan apa yang menimpa influencer ini, saya cuma bisa ternganga. Ya Allah, bisa-bisanya. Padahal hijab yang dikenakan perempuan muslimah adalah penanda sekaligus pembeda.

Di lain cerita, seorang pemengaruh halal lainnya menyuarakan alasan kuat mengapa pengetahuan soal halal dan sertifikasi halal MUI butuh semakin masif untuk disebar. Dirinya yang punya pengalaman tinggal di luar negeri -- sebut saja Malaysia --, pernah diperlakukan begitu baik sekali oleh pengelola tempat makan. 

Sebab dirinya berhijab, ia ditegur ramah untuk nggak makan di tempat tersebut karena menyediakan menu nggak aman muslim muslimah. Sesuatu yang rasanya belum pernah dirinya cicipi ketika  berada di tanah airnya sendiri, negeri yang masuk dalam jejeran negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak ini. 

Ada lagi kisah lain dari penyuara soal menu halal lainnya. Kali ini, suatu tempat makan yang menyatakan kalau menu-menu mereka halal lagi baik. Konsumennya membludak setiap waktu. Tersohor nama tempat makan ini di waktu yang panjang sekali.

Hingga sebuah video dari sese-reviewer merekam bagaimana keadaan real di tempat makan tersebut. Tentu, si reviewer ini tanpa niat apa-apa, dan bukan yang concern soal menu halal juga sebenarnya. Terselip di sana dalam detik ke sekian, kalau ada botol arak masak di deretan bumbu-bumbunya. 

Tayangan tersebut tentu menggerakkan sang penyuara menu halal untuk berkomentar, membuat video edukasi halal dari konten tersebut. Tujuannya kan edukasi, bukan untuk menjatuhkan bisnis tersebut. Anggaplah segmennya YTTA a.k.a yang tau tau aja.

Di kolom komentar dari akun milik si penyuara soal menu halal yang membagikan ulang video si reviewer tadi, ada netizen yang urun bercerita. Kisah tentang penjual menu-menu makanan yang menggunakan arak masak, namun menutupinya dengan nggak menggunakan botol aslinya agar konsumennya merasa aman-aman saja.

Arak masak atau yang biasa dikenal sebagai angciu, mirin, dan lainnya ini, mengandung alkohil ya. Artinya apa? 

Ngeri ya. Asli sih, saya yang seringnya enggan jadi si super kepo kalau sudah lapar ini, lebih memilih main aman saja jadinya. Menghindar, kalau memang belum ada jaminannya. Bertanya, kalau ada akun media sosialnya, sebelum bergerak untuk mampir ke tempat makannya.

Apa hanya sampai di sana? Jelas belum.

Ada lagi cerita tentang roti bakar yang setelah diperhatikan secara saksama, kuas oles yang digunakan rupanya terbuat dari bulu babi. Sehingga, menu yang semula halal, dari bahan-bahan yang baik, seketika berubahlah statusnya.

Kuas dari bulu babi biasanya memiliki label: bristle, hoag, pig, atau boar. Warnanya enderung hitam atau putih gading. Teksturnya lebih halus. Ada juga yang mengatakan kalau ujung bulunya bercabang, dan warna bulu kuasnya kadang nggak merata.

Bahkan bila mengenang kasus suatu tempat makan yang sudah tersertifikasi halal, memilih untuk menghancurkan segala alat makan yang mereka miliki karena ada pengunjung yang datang membawa makanan non halal dari luar, lalu di makan di sana, ini sama sekali bukanlah tindakan lebay. Inilah langkah tepat untuk mempertahankan bahwa tempat makan tersebut benarlah menjunjung kehalalan.

Saya lupa saya belajar dari sesi kajian di mana. Di sana, saya dapat pengetahuan baru kalau pada masa Rasulullah, nggak ada babi yang hidup di tanah Arab. Lalu mengapa bisa-bisanya hewan ini diharamkan, padahal dijumpai di sana saja nggak? Maka jelaslah, pesan tersebut untuk kita yang hidup di masa globalisasi saat ini. Mohon koreksi kalau Ka Acha kurang tepat ya. 

belajar masak

Pengetahuan lainnya, tentang produk turunan dari babi yang banyak sekali, membawa saya makin berhati-hati. Maka sebagai muslimah Indonesia, kemana lagi saya bisa menemukan perlindungan dan rasa nyaman sebagai konsumen, kalau bukan dari sertifikasi halal MUI yang proses pengajuannya katanya lebih ribet daripada self claim yang dipegang oleh kementerian itu lho. Boleh, kan?

Soalnya nih, pernah ada kasus jus anggur yang dapat sertifikasi self claim halal dari pihak non MUI, lalu setelah diteliti ternyata produknya mengandung alkohol dalam jumlah cukup tinggi dan sesungguhnya masuk ke golongan wine. Khamr dong, jadinya. Nggak halal dong ya. Duh ... si oknum ish.

Dampak Belajar Tentang Menu Halal yang Mengubah Keseharian

Kadang Ka Acha tersadar, banyak hal yang berubah dari diri saya sekarang. Sampai saya sering merasa jadi sosok yang berbeda dari beberapa teman terdekat. Bukan berniat jaga jarak, tapi ya ... sulit rasanya untuk menjelaskan banyak soal apa yang tengah saya pelajari lebih jauh saat ini secara blak-blakan alias depan-depanan. In other hand, saya nggak betah debat kusir berujung bantah-bantahan.

Secara pribadi, perubahan yang terasa sekali itu, mulai dari :

  • Berhenti FOMO sama tempat makan baru
  • Lebih selektif dan kritis saat makan di luar rumah
  • Jadi sosok membosankan karena pilihan tempat makan seringnya itu dan itu saja akibat mencari yang sudah punya sertifikat halal MUI
  • Jadi loyal saya brand yang support halal pakai banget
  • Menahan diri untuk nggak tergoda besaran fee dari campaign yang diselenggarakan tempat makan yang belum jelas menunjukkan di akunnya kalau tempat tersebut benarlah menjamin kehalalan produknya
  • Jadi makin punya niat kuat belajar masak
  • Di pertemukan di media sosial dengan banyak penggerak soal halal lifestyle 
  • Masih banyak lagi
Gara-gara menulis novela, mungkin berkah yang saya dapat saat ini, belum sampai ke titik Hilal Halal Ifthar berjumpa dengan pembaca yang jumlahnya berjuta-juta. Tentu, pemasukan yang saya terima dari menulis fiksi, belum sampai tahap saya bisa beli apa saja tanpa melirik price tag alias jadi kaya dari karya.

Terlebih saya enggan sok-sokan berbelok jadi influencer halal, karena memang basic-nya kan Ka Acha blogger merangkap copywriter yang juga menulis fiksi. Berat untuk mendadak mengganti personal branding kan ya?

Dampak belajar tentang menu halal lebih ugal-ugalan menghantam langsung ke kehidupan saya di keseharian. Alhamdulillah, pengetahuan begini, semoga jadi jalan untuk saya berjumpa dengan banyak ketenangan dan keberkahan sepanjang nyawa masih di badan.









Komentar

  1. alhamdulillah kita samaan Kak, gak yang fomo dengan tempat makanan yang viral, tapi gak dijelaskan ada label halal-nya atau nggak.
    Sempet mau diajak sama teman ke salah satu resto. Daku ceki² dari ulasan yang ada, sayangnya menu makanannya ada yang ditambahkan wine. Jadilah daku urung ikutan ke acara tersebut.
    Memang dari kitanya ya yang sebisa mungkin jaga diri, biar hisabnya lebih aman.

    BalasHapus
  2. Menarik sekali mengikuti cerita terkait menu halal ini di tengah maraknya dunia kuliner dengan para Influencernya

    BalasHapus
  3. Aku msh berusaha juga utk bisa begitu mba. Kalo di Indonesia, aku usahain, walau mungkin blm maksimal utk makan di resto halal. Cuma memang ga semuanya halal MUI. Terutama yg pinggir jalan. Susah utk cari yg begitu.

    Tp kalo sedang di LN, terutama negara2 yg memang bukan mayoritas muslim, aku agak longgar sedikit. Pake prinsipnya udh yg penting bukan babi. Secara kayak di Belarus, mau cari resto yg bener halal ga dapat kayaknya 😅. Sementara aku ga suka masak . Masak pun blm tentu Nemu yg pake label halal di sana. JD darurat aja, pokoknya bukan pork

    Beda cerita kalo di negara muslim. Ini aku usahain pasti cari yg halal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, kalau misal kita memang sedang berada di negeri yang bukan mayoritas muslim, maka asasnya kan darurat. Jadi cari aman yang penting bukan babi.

      Aku pun akan sama dengan Mba Fanny kalau sedang beada di tempat yang mau cari menu halal tuh sesusah itu pakai banget.

      Hapus
  4. Tentu dong sebagaia umat muslim kita wajib mengonsumsi makanan dan minuman halal terutama tempat belinya wajib halal juga. Tapi belum semua tempat makan ada logo halal MUI-nya. Memang ga mudah memperoleh sertifikat tersebut, butuh waktu dan proses panjang. Makan di kaki lima biasanya rata-rata ga ada label halal. Di resto2 biasanya sudah. Ya pandai2nya kita aj deh jangan fomo ya. TFS kak Acha.

    BalasHapus
  5. sama halnya kayak mbak Fanny, kalau di kotaku memang ada tempat makan yang nggak dikasih logo Halal, tapi hampir semua orang tau kalau diresto itu jual menu Babi
    terus kalau pas ke luar negeri, memang agak susah mencari resto atau tempat makan halal, meskipun dalam satu resto menjual dua menu, ada babi dan non babi, tapi kita juga nggak tau gimana penggunaan alat-alat dapurnya
    sama kayak waktu aku trip ke Flores, yang mayoritas di sana non muslim, nyari resto yang pure halal juga susah, akhirnya makan di resto yang jual dua menu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba. Kalau opsi untuk cari menu halalnya sesusah payah itu, aku pun akan cari jalan tengahnya dengan konsumsi yang non babi.

      Hapus
  6. Seperti kisah teman yang pernah kuliah di Ausie, kata dia malah lebih mudah mendapatkan makanan yang berlabel halal di sana

    BalasHapus

Posting Komentar